Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kepodang (Karya Piek Ardijanto Soeprijadi)

Puisi “Kepodang” karya Piek Ardijanto Soeprijadi bercerita tentang seekor burung kepodang yang hinggap di pelepah pisang dengan keindahan warna ...
Kepodang

burung kepodang di pelepah pisang
hinggap tenang memandang sawang
dukakah menyambut fajar cerah cerlang
dukakah bersiul sendiri di awal siang
kuningnya ah kuningnya
bersihnya ah bersihnya
bunyi nyaring
memecah pagi bening

burung kepodang bersarang seperti mangkuk
bulu poleng-hitam di mata tengkuk
kuning keemasan
pemakan serangga buahan
paruh kaki merah-jambu
amat menarik hatiku

kan kutangkap kau burung di pelepah pisang melengkung
dagingmu untuk isteriku sedang mengandung
biar ayu bayi perempuan yang akan datang
atau bagus bila lahir lanang
buat kebanggaan keluarga
tambatan cinta seluruh desa
semoga bayi yang lahir nanti
wanita atau lelaki
wajahnya segar berseri
matanya tajam menentang hari
senyumnya manis mengerling padi
tangan terulur pada tetangga
membagi suka pada saudara
menampung duka seluruh keluarga

Sumber: Horison (November, 1971)

Analisis Puisi:

Puisi “Kepodang” karya Piek Ardijanto Soeprijadi merupakan karya yang sederhana namun penuh makna. Melalui gambaran seekor burung kepodang yang hinggap di pelepah pisang, penyair menyelipkan refleksi tentang kehidupan, harapan keluarga, serta ikatan sosial di tengah masyarakat pedesaan. Burung kepodang yang indah dan bersuara merdu dijadikan simbol, bukan hanya tentang keindahan alam, melainkan juga tentang cita-cita terhadap masa depan anak keturunan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kehidupan dan harapan akan kelahiran generasi penerus. Burung kepodang menjadi pintu masuk untuk menggambarkan doa dan keinginan seorang ayah agar anak yang lahir kelak membawa kebanggaan, cinta, dan kebahagiaan bagi keluarga maupun masyarakat.

Puisi ini bercerita tentang seekor burung kepodang yang hinggap di pelepah pisang dengan keindahan warna bulu serta kicauannya. Namun, keindahan itu kemudian dihubungkan dengan kehidupan manusia. Lirik berikut menunjukkan peralihan dari penggambaran burung ke harapan manusia:

“kan kutangkap kau burung di pelepah pisang melengkung / dagingmu untuk isteriku sedang mengandung / biar ayu bayi perempuan yang akan datang / atau bagus bila lahir lanang.”

Bagian ini menggambarkan doa dan permohonan kepada alam agar bayi yang lahir kelak menjadi anak yang menawan, sehat, dan menjadi kebanggaan keluarga serta masyarakat desa.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah hubungan erat antara manusia, alam, dan doa bagi masa depan. Burung kepodang tidak hanya dilihat sebagai makhluk indah, tetapi juga dijadikan simbol harapan atas lahirnya generasi yang baik. Ada keyakinan bahwa alam dapat memberi restu, dan doa yang dipanjatkan melalui simbol-simbol alam memiliki kekuatan.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini terasa tenang, penuh kekaguman, dan sarat dengan harapan. Pada awalnya, pembaca dibawa pada suasana pagi yang jernih dengan burung kepodang yang bersiul, lalu suasana berubah menjadi penuh doa dan cita-cita terhadap bayi yang sedang dikandung. Suasana tenang dan kagum ini berkembang menjadi suasana penuh kasih dan optimisme.

Amanat / Pesan yang disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah bahwa kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari alam dan doa untuk generasi penerus. Seorang ayah atau orang tua selalu berharap agar anak-anaknya kelak tumbuh menjadi pribadi yang sehat, berkarakter, bermanfaat bagi keluarga, serta membawa kebahagiaan bagi masyarakat. Selain itu, puisi ini juga memberi pesan agar manusia menghargai alam yang menjadi bagian penting dari hidup dan harapan.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan imaji auditif. Contoh imaji visual tampak pada penggambaran burung kepodang:
  • “kuningnya ah kuningnya / bersihnya ah bersihnya”
  • “paruh kaki merah-jambu / amat menarik hatiku”
Imaji auditif hadir melalui bunyi siulan kepodang yang memecah pagi:
  • “bunyi nyaring / memecah pagi bening”
Kedua jenis imaji ini membuat pembaca dapat merasakan suasana nyata dari gambaran alam sekaligus keindahan burung kepodang.

Majas

Penyair juga menggunakan sejumlah majas dalam puisinya, antara lain:
  • Majas personifikasi – misalnya pada penggambaran suara burung kepodang yang terasa menyambut pagi: “bunyi nyaring / memecah pagi bening”
  • Majas repetisi – terdapat pada pengulangan kata “kuningnya ah kuningnya / bersihnya ah bersihnya” untuk menekankan keindahan bulu burung kepodang.
  • Majas simbolik – burung kepodang dijadikan simbol doa, harapan, dan tanda bagi kelahiran generasi baru yang penuh kebaikan.
Puisi “Kepodang” karya Piek Ardijanto Soeprijadi bukan hanya menghadirkan keindahan seekor burung di alam, melainkan juga menyiratkan doa mendalam tentang lahirnya seorang anak yang kelak menjadi kebanggaan keluarga dan masyarakat. Dengan tema harapan dan kehidupan, puisi ini berhasil memadukan keindahan imaji alam dengan makna simbolis tentang regenerasi manusia. Imaji yang kuat, suasana yang penuh harap, serta majas yang indah menjadikan puisi ini kaya makna dan layak direnungkan.

Piek Ardijanto Soeprijadi
Puisi: Kepodang
Karya: Piek Ardijanto Soeprijadi

Biodata Piek Ardijanto Soeprijadi:
  • Piek Ardijanto Soeprijadi (EyD Piek Ardiyanto Supriyadi) lahir pada tanggal 12 Agustus 1929 di Magetan, Jawa Timur.
  • Piek Ardijanto Soeprijadi meninggal dunia pada tanggal 22 Mei 2001 (pada umur 71 tahun) di Tegal, Jawa Tengah.
  • Piek Ardijanto Soeprijadi adalah salah satu sastrawan angkatan 1966.
© Sepenuhnya. All rights reserved.