Ketika Terlempar ke Hutan Belukar
sudah sejauh inikah
aku terlempar
dari jalan raya
beredar dalam lingkar
hutan belukar
kehilangan utara
kehilangan mana
segala pantang
jadi terbuang
ular pun jadi santapan
yang nyaman
demi mengharap hidup
yang lebih panjang
cuma satu yang terlarang
menyerah
kepada lelah
akan panjangkah
menyeret langkah
jika sedikit lengah
akan terkapar
diterkam belukar
sedang tiap jengkal tanah
tak rela
membisikkan arah
ke jalan raya
demi pohon-pohon yang rindang
demi ranting-ranting yang melingkar
demi daun-daun yang merimbun
demi semak-semak yang menjebak
demi burung
demi cacing
demi monyet
dan segala binatang hutan
demi rasa kecut
dalam terasing
demi rasa bimbang
dalam terbuang
demi Tuhan
demi kian
rindunya aku pada sebuah
celah
Makassar, Maret 1974
Sumber: Horison (April, 1975)
Analisis Puisi:
Puisi "Ketika Terlempar ke Hutan Belukar" karya Husni Djamaluddin adalah salah satu karya yang menghadirkan perenungan eksistensial melalui simbol alam. Dengan bahasa yang padat dan penuh metafora, puisi ini menggambarkan perjalanan manusia yang terlempar dari jalur kenyamanan menuju sebuah ruang asing yang penuh tantangan: hutan belukar. Di dalamnya, pembaca dapat menemukan lapisan makna tentang kehidupan, perjuangan, dan kerinduan akan arah.
Tema
Tema utama puisi ini adalah perjuangan hidup dalam keterasingan dan pencarian arah. Hutan belukar menjadi simbol situasi sulit yang menguji manusia, sementara jalan raya melambangkan kehidupan yang teratur dan penuh kepastian.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang merasa terlempar jauh dari jalur utama (jalan raya) dan harus bertahan hidup di tengah hutan belukar. Dalam kondisi terasing, ia menghadapi godaan untuk menyerah, namun tetap bertekad untuk tidak tunduk pada rasa lelah. Melalui pengalaman tersebut, muncul kerinduan mendalam terhadap sebuah “celah”, yakni harapan untuk keluar dari keterjebakan dan kembali menemukan jalan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah perjalanan batin manusia ketika menghadapi ujian hidup yang berat. Hutan belukar melambangkan masalah, keterasingan, dan keraguan. Namun di tengah segala kesulitan, penyair ingin menegaskan bahwa menyerah bukanlah pilihan. Justru dari keterasingan itu lahirlah kerinduan mendalam akan cahaya, kebebasan, dan arah yang lebih jelas. Ada pula dimensi spiritual: menyebut “demi Tuhan” seakan menegaskan bahwa di balik keterbuangan manusia, masih ada harapan yang dijaga oleh iman.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang tergambar dalam puisi ini adalah mencekam, terasing, sekaligus penuh pergulatan batin. Kehadiran belukar, ular, semak, hingga binatang hutan menghadirkan atmosfer yang gelap dan penuh tantangan. Namun di sela-sela suasana tegang itu, muncul pula nada harapan lewat kerinduan pada sebuah celah yang membawa cahaya.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah pentingnya keteguhan hati dalam menghadapi kesulitan hidup. Meski manusia bisa tersesat atau terlempar dari jalur yang biasa dilalui, tetap ada harapan untuk keluar asalkan tidak menyerah. Puisi ini juga memberi pesan bahwa penderitaan dapat menjadi jalan untuk menemukan kembali arah hidup, bahkan menguatkan hubungan spiritual dengan Tuhan.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji alam dan hutan. Contohnya:
- “ular pun jadi santapan yang nyaman” → menghadirkan imaji visual dan rasa tentang kondisi bertahan hidup.
- “ranting-ranting yang melingkar” → memberi kesan terjebak dan sulit keluar.
- “daun-daun yang merimbun” dan “semak-semak yang menjebak” → membangun gambaran hutan yang rapat, gelap, dan menyesakkan.
- “demi burung, demi cacing, demi monyet” → menghadirkan suasana kehidupan liar hutan yang lengkap dengan detail suara dan geraknya.
Imaji ini membuat pembaca dapat merasakan ketegangan, keterasingan, sekaligus keindahan simbolis dari hutan belukar.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Metafora – Hutan belukar sebagai simbol kesulitan dan keterasingan hidup, jalan raya sebagai simbol kehidupan yang teratur.
- Personifikasi – “tiap jengkal tanah tak rela membisikkan arah ke jalan raya” seolah tanah memiliki kehendak untuk menolak memberi petunjuk.
- Repetisi – Kata “demi” yang diulang-ulang memberikan penekanan emosional dan retoris.
- Hiperbola – Penggambaran kondisi terjebak yang sangat menyesakkan sehingga seolah semua unsur hutan bersekongkol menahan langkah.
Puisi "Ketika Terlempar ke Hutan Belukar" karya Husni Djamaluddin bukan hanya sebuah gambaran tentang keterlemparan fisik ke dalam hutan, tetapi juga simbol dari keterlemparan manusia dalam kehidupan. Tema perjuangan, makna tersirat tentang keteguhan hati, suasana mencekam, imaji hutan yang pekat, serta majas yang kuat menjadikan puisi ini sarat makna. Dari sini, pembaca diajak untuk merenungkan bahwa meskipun hidup penuh belukar, selalu ada celah cahaya yang bisa ditemukan jika manusia tidak menyerah.
Karya: Husni Djamaluddin
Biodata Husni Djamaluddin:
- Husni Djamaluddin lahir pada tanggal 10 November 1934 di Tinambung, Mandar, Sulawesi Selatan.
- Husni Djamaluddin meninggal dunia pada tanggal 24 Oktober 2004.
