Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Lalu Kita Bertemu (Karya Abdul Ghafar Ibrahim)

Puisi "Lalu Kita Bertemu" karya Abdul Ghafar Ibrahim bercerita tentang momen kelahiran seorang anak ke dunia, yang disambut bukan hanya oleh alam ...

Lalu Kita Bertemu


Selamat datang 4.25 isyak
isyak membawa debar
debar bertenaga
tenaga isyak menimpa tubuh subuh
1 Jamadilawal 1392-12 Jun 1972
beburung terbang ke gerbang maya
menampi impi di hujung hari
melayap embun merayap ke tahap
is        nin
isnin bening memangkumu bersama
rerumput tak melutut        bersama
bebatu tak kaku
langit memataimu bersama puitik
hem        bu        san        pagi
tam        paran        mentari
meja alam menghidangmu dengan
tugas siang tugas malam
menantikan program memulakan dialog
mengenali
rumah siang        gua malam
ayahmu        ibumu
cukup bulan menyambutmu bersama
takwa waktu        bersama
resah agenda
perjalanan        malam yang dekat
di ini simpang dunia
kau dari padang hayat
tempat turunmu kutahu ada
entah di mana
geminimu berlangsung        atas
kegelisahan laut tak bertepi
kesengsaraan jalan wibawa
kebenaran perjuangan hakiki
mengembar mencari bunga hidup
dari daun ke daun
ke dinding batu waktu
lewat lantai sawah        melangkau
bumbung getah bertele        menanti
dari pagi ke pagi
ke senja tak sepi        bersama
sungai amin di dada        dada        norgibran agi
putra pagi ayah bonda.

Sumber: Horison (Desember, 1990)

Analisis Puisi:

Puisi "Lalu Kita Bertemu" karya Abdul Ghafar Ibrahim adalah karya yang sarat simbol, nuansa spiritual, dan refleksi waktu. Ditulis dengan gaya eksperimental dan fragmentatif, puisi ini membuka ruang bagi pembacaan yang luas: mulai dari kelahiran seorang anak, pertanyaan tentang eksistensi, hingga perjalanan spiritual manusia dalam kehidupan dunia.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah kelahiran dan perjalanan hidup manusia di dunia. Puisi ini juga mengangkat tema waktu, pertemuan spiritual, serta kesadaran akan tugas dan tanggung jawab hidup. Waktu yang dicatat secara rinci dalam puisi, seperti “4.25 isyak” dan “1 Jamadilawal 1392 – 12 Jun 1972”, menandai momentum penting—kemungkinan besar merujuk pada kelahiran seorang anak atau kelahiran spiritual seseorang.

Puisi ini bercerita tentang momen kelahiran seorang anak ke dunia, yang disambut bukan hanya oleh alam dan waktu, tetapi juga oleh realitas yang kompleks dan tugas kehidupan yang menantinya. Penulis menyambut kelahiran ini dengan penuh kesadaran akan dunia yang tidak sederhana, yang penuh dengan “resah agenda”, “perjalanan malam”, “kesengsaraan jalan wibawa”, dan “kebenaran perjuangan hakiki.”

Bayi yang lahir bukan sekadar tubuh baru di dunia, melainkan “putra pagi ayah bonda”, yang sudah mengemban makna, sejarah, dan potensi untuk menapaki jalan hidup yang panjang dan berat.

Makna Tersirat

Puisi ini penuh dengan makna tersirat yang mendalam dan puitik. Beberapa di antaranya:
  • Kelahiran bukan hanya peristiwa biologis, tapi spiritual dan eksistensial. Hal ini ditunjukkan lewat penanda waktu yang sakral (“isyak membawa debar”), serta kontras antara “rumah siang” dan “gua malam” sebagai simbol dualitas hidup.
  • Hidup adalah perjalanan antara kesunyian dan kesibukan, antara “sawah” dan “bumbung getah”, antara waktu subuh dan senja. Manusia hadir di dunia dengan misi—yang belum jelas namun mendesak untuk dijalani.
  • Pertemuan yang dimaksud dalam judul puisi bukan sekadar pertemuan fisik, tetapi pertemuan dengan eksistensi, takdir, dan tugas kehidupan.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dibangun dalam puisi ini cukup kompleks: sakral, reflektif, dan penuh renungan eksistensial. Ada kesan spiritual yang kental, terutama dalam bagian awal puisi, di mana waktu-waktu salat (seperti “isyak” dan “subuh”) disebut dengan kontras dan ketegangan.

Kata-kata seperti “beburung terbang ke gerbang maya”, “embun merayap ke tahap”, dan “meja alam menghidangmu” menciptakan suasana metafisis yang mempertemukan antara dunia fisik dan dunia ruhani.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyiratkan pesan bahwa setiap manusia lahir dengan waktu yang ditentukan dan tanggung jawab yang menantinya, yang harus dijalani dengan ketakwaan, kesadaran, dan perjuangan. Kelahiran bukan sekadar permulaan, tetapi awal dari dialog panjang antara diri dan semesta.

Kehidupan adalah medan di mana manusia harus mengenali dirinya, asal-usulnya, dan jalan yang mesti ditempuh. Ada pula dorongan untuk mengenali rumah dan gua kehidupan, simbol dari keseimbangan antara terang dan gelap, kerja dan kontemplasi.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji-imaji visual dan spiritual, yang memperkaya pengalaman pembacaan. Beberapa imaji mencolok antara lain:
  • “beburung terbang ke gerbang maya” → gambaran ruh-ruh atau makhluk spiritual yang menuju alam kelahiran.
  • “melayap embun merayap ke tahap” → visualisasi waktu fajar dan kelahiran yang halus.
  • “meja alam menghidangmu dengan tugas siang tugas malam” → metafora yang menggambarkan dunia sebagai panggung tugas-tugas manusia.
  • “dari daun ke daun / ke dinding batu waktu” → imaji perjalanan dan pencarian makna hidup.
  • “ke senja tak sepi bersama sungai amin di dada” → gambaran peristirahatan spiritual setelah perjalanan panjang.

Majas

Gaya bahasa dalam puisi ini sangat khas dan penuh majas, di antaranya:

Personifikasi
  • “isyak membawa debar” → waktu salat diberi sifat seperti makhluk hidup yang membawa perasaan.
  • “langit memataimu bersama puitik” → langit digambarkan bisa mengawasi atau menyaksikan.
Metafora
  • “rumah siang gua malam” → metafora tentang kehidupan yang terbagi antara realitas eksternal (rumah) dan kontemplasi atau ketenangan batin (gua).
  • “dari daun ke daun ke dinding batu waktu” → perumpamaan perjalanan manusia dalam mencari makna atau "bunga hidup".
Elipsis dan enjambemen
  • Penempatan kata-kata secara acak atau tersekat seperti “hem bu san pagi” dan “tam paran mentari” menciptakan ritme visual dan bunyi, serta menyimbolkan potongan-potongan waktu dan peristiwa.
Simbolisme
  • “sungai amin di dada” → bisa ditafsir sebagai aliran spiritualitas dalam diri.
  • “padang hayat” → simbol kehidupan luas dan terbuka.
Puisi “Lalu Kita Bertemu” bukan sekadar puisi tentang pertemuan literal, melainkan pertemuan spiritual antara manusia dan kehidupan itu sendiri. Abdul Ghafar Ibrahim menggunakan pendekatan fragmentatif, simbolik, dan mistis untuk menyampaikan pengalaman kelahiran sebagai momen sakral dan penuh tanggung jawab.

Melalui penggunaan waktu-waktu religius, imaji alam, dan fragmentasi bahasa, puisi ini mengajak pembaca merenungkan arti hadir ke dunia, arti perjuangan, dan arti tugas kehidupan yang menanti sejak detik pertama manusia “bertamu” ke dunia.

Abdul Ghafar Ibrahim
Puisi: Lalu Kita Bertemu
Karya: Abdul Ghafar Ibrahim

  • Abdul Ghafar Ibrahim lahir pada tanggal 31 Agustus 1943 di Kampung Sesapan Batu Minangkabau, Beranang, Selangor, Malaysia.
  • Disamping menulis puisi, Abdul Ghafar Ibrahim juga melukis.
© Sepenuhnya. All rights reserved.