Manusia, Senantiasa Pergi
*
Kita berpisah. Tinggal hari pertama
Di bukit hutan itu:
Tiada lagi bekas. Dan bersama kita
Cinta masing-masing lepas ke sini sana
Di tengah-tengah dunia
*
Tiada yang kembali. Manusia hanya meninggalkan jejak
Pada bumi, di mana sepi disentuh angin
Manusia, senantiasa pergi. Dari arah tidak pasti, meraba
Yang tidak berbicara
*
Lagi, angin merintih
Di pohonan. Di mana tiada terjumpa dewa
Dan tiada lagi tuntutan padamu kekasih
Yang tinggal di mana, tapi menyahut di sepi jiwa
(1967, 1968, 1969)
Sumber: Basis (Oktober, 1972)
Analisis Puisi:
Puisi "Manusia, Senantiasa Pergi" karya Abrar Yusra mengangkat tema tentang kefanaan manusia dan perpisahan yang tak terhindarkan dalam hidup. Puisi ini menyampaikan pandangan filosofis yang dalam mengenai makna keberadaan dan pergerakan manusia dalam kehidupan yang fana.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kepergian dan kefanaan manusia. Puisi menggambarkan bagaimana manusia pada akhirnya akan meninggalkan jejak-jejaknya di dunia, tapi tidak pernah kembali ke titik awal. Hidup manusia adalah perjalanan menuju arah yang tidak pasti, dan keberadaan menjadi sesuatu yang sementara.
Puisi ini bercerita tentang sebuah perpisahan yang terjadi di sebuah “bukit hutan,” melambangkan momen awal dari sebuah kehilangan. Setelah perpisahan itu, cinta yang ada pun dilepaskan dan tersebar di tengah dunia yang luas dan sepi. Selanjutnya, puisi menegaskan bahwa manusia tidak pernah kembali, melainkan selalu pergi meninggalkan jejak di bumi. Ada suasana kosong dan sepi yang mengiringi perjalanan manusia yang meraba dan mencari tanpa kepastian.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini adalah tentang keterbatasan dan ketidakpastian kehidupan manusia. Kehidupan adalah sebuah perjalanan yang tak berujung dengan banyak perpisahan dan kehilangan. Meski manusia meninggalkan bekas, pada akhirnya semua akan terlepas dan hilang. Ada pula kesan bahwa dalam kesendirian dan keheningan, manusia harus menerima kenyataan bahwa tidak ada dewa atau kekuatan ilahi yang selalu hadir untuk memberikan tuntunan secara langsung.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini terasa sunyi, sendu, dan penuh kerinduan. Angin yang merintih di pohonan, sepi yang disentuh angin, dan panggilan tanpa jawaban menciptakan atmosfer melankolis dan sedikit magis.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa kehidupan adalah perjalanan yang penuh ketidakpastian dan kefanaan. Manusia harus menerima bahwa perpisahan dan kehilangan adalah bagian dari eksistensi. Dalam kesunyian dan sepi, manusia harus tetap bertahan dan meraba arah hidupnya meski tanpa tuntunan pasti.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji alam yang simbolik, seperti:
- Bukit hutan sebagai tempat perpisahan dan awal kehilangan.
- Angin merintih menggambarkan kesedihan dan suara alam yang menyertai kesepian.
- Jejak di bumi sebagai lambang bekas keberadaan manusia yang fana.
- Sepi yang disentuh angin menciptakan gambaran sunyi yang hidup.
Majas
Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini adalah:
- Personifikasi: “angin merintih” memberikan sifat manusia pada angin, memperkuat nuansa kesedihan.
- Metafora: “manusia senantiasa pergi” sebagai simbol perjalanan hidup manusia menuju takdirnya.
- Simbolisme: “bukit hutan” dan “jejak di bumi” sebagai simbol fisik perjalanan dan keberadaan manusia.
Puisi "Manusia, Senantiasa Pergi" mengajak pembaca merenungkan kefanaan dan perjalanan hidup manusia yang sarat dengan perpisahan dan ketidakpastian. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna, Abrar Yusra menyampaikan sebuah pesan universal tentang eksistensi dan kesendirian manusia di dunia yang fana ini.
Puisi: Manusia, Senantiasa Pergi
Karya: Abrar Yusra
Biodata Abrar Yusra:
- Abrar Yusra lahir pada tanggal 28 Maret 1943 di Lawang Matur, Agam, Sumatra Barat.
- Abrar Yusra meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus 2015 di Bogor, Jawa Barat (pada umur 72 tahun).