Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Mei (Karya Acep Zamzam Noor)

Puisi "Mei" karya Acep Zamzam Noor bercerita tentang kedatangan seorang tokoh yang kembali ke Bandung—sebuah kota yang pernah menjadi saksi cinta ...

Mei


Kau datang dari sebuah ujung yang jauh
Datang dengan tas punggung serta sungging senyum
Yang tergantung ngungun. Pada subuh yang dingin itu
Bandung bagaikan kuburan "Ke sini aku hanya berziarah
Di mana cinta lama pernah dikebumikan," ucapmu
Sambil mengenangkan seorang lelaki, dengan anting perak
Dengan rambut yang dipotong cepak

Kau datang dari sebuah kalimat yang ditinggalkan
Hurup-hurupnya. Datang dari sebuah bandar yang risau
Tempat gelombangnya panjang masih kerap terdengar
Di selatan pulau. "Mayat tak perlu dihidupkan kembali
Tapi aku akan menziarahi kuburnya sesekali," ucapmu lagi
Bandung seakan berkabung, dengan paras subuhnya
Yang penuh bintik-bintik embun

2006

Sumber: Menjadi Penyair Lagi (2007)

Analisis Puisi:

Puisi "Mei" karya Acep Zamzam Noor adalah sebuah karya yang sarat makna, menghadirkan pertemuan antara kenangan masa lalu dengan suasana batin yang muram. Penyair menggambarkan seseorang yang datang dengan niat berziarah, bukan ke makam jasad, melainkan ke makam cinta yang telah lama terkubur. Melalui larik-lariknya, puisi ini membuka ruang tafsir mengenai perasaan kehilangan, kerinduan, dan kesadaran bahwa waktu tidak dapat memutar kembali kisah yang telah usai.

Tema

Tema utama puisi ini adalah ziarah pada kenangan cinta yang telah mati. Acep Zamzam Noor menempatkan kisah cinta yang sudah berlalu sebagai sesuatu yang terkubur, namun masih menyisakan jejak emosional yang kuat. Kehadiran tokoh yang datang dengan “tas punggung” dan “sungging senyum yang tergantung ngungun” menjadi simbol perjalanan batin yang getir, menandai kembalinya seseorang ke ruang lama yang penuh kenangan.

Puisi ini bercerita tentang kedatangan seorang tokoh yang kembali ke Bandung—sebuah kota yang pernah menjadi saksi cinta masa lalunya. Ia datang tidak untuk memulai kembali kisah yang telah berakhir, melainkan untuk berziarah, mengingat, dan merasakan kembali suasana kehilangan. Bandung dalam puisi ini digambarkan bagaikan kuburan, menekankan bahwa cinta yang dulu hidup kini telah menjadi sesuatu yang mati.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kesadaran akan kefanaan cinta dan waktu. Penyair ingin menyampaikan bahwa masa lalu tidak dapat dihidupkan kembali, sebagaimana mayat tidak bisa dibangkitkan. Namun, manusia tetap punya kecenderungan untuk mengenang, menziarahi, dan bahkan merasakan duka dari apa yang pernah hilang. Cinta yang terkubur tetap menyisakan bayangan emosional, dan ziarah menjadi jalan untuk merawat kenangan itu.

Selain itu, ada juga sindiran halus tentang bagaimana manusia kerap hidup dalam nostalgia, meskipun sadar bahwa nostalgia tidak bisa mengubah kenyataan yang ada.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi Mei terasa muram, sendu, sekaligus reflektif. Bandung digambarkan seperti kota yang berkabung, seakan seluruh ruangnya menjadi saksi bisu atas cinta yang telah mati. Subuh yang dingin, embun, dan kesenyapan menghadirkan atmosfer yang pekat dengan rasa kehilangan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang bisa ditangkap dari puisi ini adalah belajarlah menerima kenyataan bahwa masa lalu tak bisa dihidupkan kembali. Meskipun kenangan cinta lama begitu kuat membekas, kita hanya bisa menziarahinya, bukan mengulanginya. Cinta, seperti halnya kehidupan, tunduk pada hukum waktu: ada saat lahir, ada saat mati.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan suasana. Misalnya:
  • “Bandung bagaikan kuburan” → membangkitkan imaji visual kota yang muram dan penuh kesenyapan.
  • “Dengan paras subuhnya yang penuh bintik-bintik embun” → menghadirkan gambaran pagi yang dingin, penuh kesegaran namun juga duka.
  • “Dengan anting perak, dengan rambut yang dipotong cepak” → melukiskan sosok yang dikenang dengan detail fisik yang masih membekas.
Imaji tersebut memperkuat kesan bahwa puisi ini bukan hanya tentang perasaan batin, tetapi juga menghidupkan suasana nyata melalui detail konkret.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “Bandung bagaikan kuburan” dan “Bandung seakan berkabung” → kota diberi sifat manusia yang bisa berduka.
  • Metafora: “Kau datang dari sebuah kalimat yang ditinggalkan hurup-hurupnya” → sosok yang hadir digambarkan seperti sisa kalimat yang telah kehilangan makna.
  • Simbolisme: ziarah sebagai simbol mengenang cinta yang mati; mayat sebagai simbol masa lalu yang tak bisa dihidupkan kembali.
Puisi "Mei" karya Acep Zamzam Noor adalah potret puitis tentang perjalanan batin manusia dalam menghadapi cinta yang telah mati. Melalui larik-larik yang padat dengan imaji, suasana muram, dan simbol-simbol yang mendalam, penyair menghadirkan refleksi tentang kefanaan dan ketidakmungkinan untuk menghidupkan kembali masa lalu. Puisi ini menyadarkan pembacanya bahwa yang bisa dilakukan hanyalah menziarahi, mengenang, dan menerima, bukan menghidupkan kembali sesuatu yang telah tiada.

Acep Zamzam Noor
Puisi: Mei
Karya: Acep Zamzam Noor

Biodata Acep Zamzam Noor:
  • Acep Zamzam Noor (Muhammad Zamzam Noor Ilyas) lahir pada tanggal 28 Februari 1960 di Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia.
  • Ia adalah salah satu sastrawan yang juga aktif melukis dan berpameran.
© Sepenuhnya. All rights reserved.