Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Merasuk Malam (Karya Motinggo Boesje)

Puisi "Merasuk Malam" karya Motinggo Boesje bercerita tentang perenungan seorang manusia tua yang berbicara kepada Tuhan mengenai kematiannya.
Merasuk Malam

Saatnya tiba untuk berbisik perlahan
pada Tuhan
aku sudah siap tapi ingin
tahu
bilakah saat diriku
Kau ambil
Agar kurasakan nikmat maut menjemput
dalam terang tanpa berkabut
dan inilah kata ketika
aku merasuk dalam malam

sulit tidur adalah kebiasaan setelah tua
tapi sungguh tak ada takutku pada maut
hari-hari ini tiba untuk berbisik perlahan
membujuk Engkau untuk memberitahuku
soal yang penting itu

aku ingin mengalaminya sendiri
dan menikmati mati
sehingga menjadi indah tanpa cadar
dan ketika itu tiada pemberontakan
kecuali suka
sama suka

1999

Sumber: Horison (September, 1999)

Analisis Puisi:

Puisi "Merasuk Malam" karya Motinggo Boesje merupakan salah satu karya yang menggambarkan kedalaman batin seorang manusia dalam menghadapi kematian. Dalam puisi ini, penyair dengan lirih menyampaikan kegelisahan, penerimaan, sekaligus kerinduan untuk mengetahui kapan ajal akan tiba. Seperti kebanyakan karya Motinggo Boesje yang sarat dengan refleksi eksistensial, puisi ini memperlihatkan pergulatan manusia dengan takdir yang tak terhindarkan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kematian dan penerimaan manusia terhadap ajal. Bukan sekadar takut atau menolak, penyair menampilkan sikap pasrah sekaligus penasaran tentang momen perpisahan dengan kehidupan. Tema ini menghadirkan nuansa kontemplatif yang mendalam, memperlihatkan sisi manusiawi ketika berhadapan dengan misteri akhir hayat.

Puisi ini bercerita tentang perenungan seorang manusia tua yang berbicara kepada Tuhan mengenai kematiannya. Ia merasa sudah siap untuk mati, namun tetap ingin mengetahui kapan waktunya tiba. Dalam narasi puitis ini, ada keinginan untuk mengalami sendiri bagaimana rasanya “nikmat maut menjemput” dengan penuh kesadaran, tanpa ketakutan, tanpa pemberontakan, dan justru dengan perasaan suka cita.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah ajakan untuk melihat kematian bukan sebagai sesuatu yang menakutkan, melainkan sebagai perjalanan alami yang juga bisa dinikmati. Ada filosofi hidup yang ditawarkan: bahwa kematian bukanlah akhir yang menakutkan, tetapi sebuah pengalaman yang bisa dirasakan dengan damai apabila manusia sudah berdamai dengan dirinya sendiri dan dengan Tuhannya.

Puisi ini juga menyinggung realitas usia tua yang ditandai dengan insomnia (“sulit tidur adalah kebiasaan setelah tua”), seakan menegaskan bahwa semakin menua, semakin dekat pula manusia dengan momen kematian, dan karenanya wajar untuk menyiapkan diri secara batin.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang ditampilkan dalam puisi ini adalah hening, kontemplatif, sekaligus pasrah. Ada nuansa lirih ketika penyair menyebut “berbisik perlahan pada Tuhan”, seolah menciptakan ruang intim antara manusia dengan Sang Pencipta. Suasana itu juga bercampur dengan ketenangan dan penerimaan, tidak lagi ada ketakutan pada maut, hanya ada dialog batin yang jujur.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan yang harus diterima dengan lapang dada. Tidak perlu melawan atau takut, karena pada akhirnya semua manusia akan menghadapinya. Dengan kesiapan batin, kematian bisa menjadi sesuatu yang indah, tanpa cadar kepalsuan, tanpa pemberontakan, melainkan penuh kerelaan.

Imaji

Puisi ini menghadirkan sejumlah imaji yang kuat:
  • Imaji religius: “berbisik perlahan pada Tuhan” yang menggambarkan komunikasi batin.
  • Imaji visual: “nikmat maut menjemput dalam terang tanpa berkabut” memberikan bayangan kematian yang bukan gelap atau menakutkan, melainkan terang dan jelas.
  • Imaji rasa: “menikmati mati” yang menghadirkan pengalaman emosional penuh kedamaian.
Imaji-imaji ini membuat pembaca ikut merasakan bagaimana penyair memandang kematian secara damai.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi – “nikmat maut menjemput” seakan-akan maut hadir sebagai sosok yang bisa membawa manusia.
  • Metafora – “merasuk dalam malam” menggambarkan kematian sebagai sebuah malam yang dalam dan penuh keheningan.
  • Eufemisme – penggunaan kata “menikmati mati” sebagai penghalusan untuk menegaskan kematian bukanlah penderitaan, melainkan sesuatu yang bisa dihayati.
Puisi "Merasuk Malam" karya Motinggo Boesje menghadirkan sebuah permenungan mendalam tentang kematian. Dengan bahasa yang sederhana namun kuat, penyair menunjukkan bagaimana manusia bisa berdamai dengan ajal. Tema, makna tersirat, suasana, imaji, dan majas yang digunakan semuanya berpadu untuk menyampaikan pesan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang mesti ditakuti, melainkan bisa diterima dengan ketenangan batin.

Motinggo Boesje
Puisi: Merasuk Malam
Karya: Motinggo Boesje

Biodata Motinggo Boesje:
  • Motinggo Boesje (Motinggo Busye) lahir di Kupang Kota, pada tanggal 21 November 1937.
  • Motinggo Boesje meninggal dunia di Jakarta, pada tanggal 18 Juni 1999 (pada usia 61 tahun).
  • Nama lahir Motinggo Boesje adalah Bustami Djalid.
© Sepenuhnya. All rights reserved.