Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Opera Kota Terbakar (Karya Edhy Lyrisacra)

Puisi "Opera Kota Terbakar" mengingatkan pembaca untuk tidak terjebak dalam ilusi kemajuan teknologi dan materialisme, yang sering kali ...
Opera Kota Terbakar

Jeritnya meraung di pusat jasat yang mati
Manusia-manusia menjelma binatang baja
Menjangkar mimpinya dengan komputer dan parabola
Nyawa hanya hiasan yang diperjualbelikan.

Kota itu melayang di cakrawala
Di setiap detik melengkingkan derita
Para buruh dan petani dibunuh janji-janji
Di tengah penganggur yang jiwanya berdarah
Ditinggal ratu adil, diguyur mahma programa
Dirajab tipudaya, dan jejaknya dihapus dengan
Tank-tank baja

Kota terbakar peperangan mencari kekalahan
Adalah korban zaman yang digiling menjadi iklan
Banyak penguasa menjadi singa berbulu domba
Banyak pendeta kehilangan kitabnya
Banyak petapa gugur tapanya
Segenap suara menjadi pasar mimpi
Yang direkam dengan pita-pita neraka
Kemudian secara bersama-sama manusia menjadi baja
Dan mengubur jiwanya di tengah kota terbakar.

Yogyakarta, 1989

Sumber: Astana Kastawa (2015)

Analisis Puisi:

Puisi "Opera Kota Terbakar" karya Edhy Lyrisacra adalah sebuah karya sastra yang menyuarakan kritik tajam terhadap modernitas dan dehumanisasi. Dengan gaya bahasa yang penuh simbol dan metafora, puisi ini menghadirkan gambaran suram tentang kondisi sosial, politik, dan moral manusia dalam masyarakat modern yang teralienasi dari nilai-nilai kemanusiaan.

Modernitas yang Mengasingkan

Puisi ini dibuka dengan gambaran mengerikan:

Jeritnya meraung di pusat jasat yang mati / Manusia-manusia menjelma binatang baja

Ungkapan ini mencerminkan bagaimana manusia modern kehilangan jati dirinya. Mereka berubah menjadi “binatang baja,” sebuah metafora untuk sifat mekanistik dan tidak berperasaan yang muncul akibat dominasi teknologi dan materialisme. Kehidupan manusia digambarkan sebagai sesuatu yang hampa, di mana nyawa hanya menjadi “hiasan yang diperjualbelikan.”

Frasa “komputer dan parabola” mempertegas bahwa teknologi, meskipun membawa kemajuan, justru menjadi jangkar mimpi yang mengikat manusia pada realitas semu. Teknologi yang seharusnya mempermudah kehidupan malah menjadikan manusia kehilangan kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Kota sebagai Simbol Kehancuran

Kota dalam puisi ini tidak hanya menjadi tempat fisik, tetapi juga simbol kehancuran moral dan sosial. Kota melayang di cakrawala, menggambarkan keterasingan dari realitas kehidupan yang nyata:

Kota itu melayang di cakrawala / Di setiap detik melengkingkan derita

Gambaran ini menyoroti bagaimana kota modern, dengan segala hiruk-pikuknya, menjadi pusat penderitaan. Buruh dan petani, yang merupakan simbol rakyat kecil, menjadi korban janji-janji palsu. Mereka diabaikan oleh penguasa yang sibuk mempertahankan kekuasaannya dengan tipu daya dan kekuatan militer:

Dirajab tipudaya, dan jejaknya dihapus dengan / Tank-tank baja.

Konflik kelas dan ketimpangan sosial menjadi tema utama dalam bagian ini. Kota terbakar bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara moral dan spiritual, akibat dominasi penguasa yang menindas rakyat kecil.

Korban Zaman dan Kritik terhadap Penguasa

Puisi ini juga menggambarkan korban zaman modern yang digiling menjadi komoditas:

Kota terbakar peperangan mencari kekalahan / Adalah korban zaman yang digiling menjadi iklan.

Manusia dipaksa untuk tunduk pada logika kapitalisme, di mana segala sesuatu, termasuk jiwa manusia, menjadi bagian dari mesin produksi dan konsumsi. Penguasa, yang digambarkan sebagai “singa berbulu domba,” menipu rakyat dengan janji-janji manis yang tidak pernah ditepati.

Selain itu, Edhy Lyrisacra juga menyoroti kemerosotan nilai-nilai agama dan spiritualitas:

Banyak pendeta kehilangan kitabnya / Banyak petapa gugur tapanya.

Pendeta dan petapa, yang seharusnya menjadi penjaga moral dan spiritual, kehilangan arah dan integritasnya. Mereka ikut terjerat dalam dinamika kota yang penuh dengan tipu daya dan kerakusan.

Manusia Baja dan Kehilangan Jiwa

Di bagian penutup, Edhy Lyrisacra memberikan gambaran yang lebih gelap:

Kemudian secara bersama-sama manusia menjadi baja / Dan mengubur jiwanya di tengah kota terbakar.

Metafora manusia baja menegaskan bahwa manusia modern telah kehilangan empati, emosi, dan jiwa kemanusiaannya. Mereka berubah menjadi entitas mekanis yang hanya mementingkan kepentingan material. Kota terbakar menjadi kuburan simbolis bagi jiwa-jiwa yang telah mati karena tergerus oleh sistem yang tidak manusiawi.

Puisi "Opera Kota Terbakar" adalah refleksi mendalam tentang dampak negatif modernitas terhadap manusia. Dengan bahasa yang penuh metafora, Edhy Lyrisacra menyampaikan kritik terhadap dehumanisasi, ketimpangan sosial, dan kerusakan moral yang terjadi di masyarakat.

Puisi ini mengingatkan pembaca untuk tidak terjebak dalam ilusi kemajuan teknologi dan materialisme, yang sering kali mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Opera Kota Terbakar adalah seruan untuk merenungkan kembali makna kemajuan dan kemanusiaan di tengah kehidupan modern yang semakin kompleks.

Puisi Edhy Lyrisacra
Puisi: Opera Kota Terbakar
Karya: Edhy Lyrisacra

  • Edhy Lyrisacra lahir pada tanggal 28 Oktober 1958 di Yogyakarta.
  • Edhy Lyrisacra meninggal dunia pada tanggal 27 Juli 2014.
© Sepenuhnya. All rights reserved.