Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Pangkuan Bunda (Karya Rustam Effendi)

Puisi "Pangkuan Bunda" karya Rustam Effendi bercerita tentang kenangan masa kecil penyair ketika berada di pangkuan ibunya. Ia mengingat bagaimana ...
Pangkuan Bunda

    Tahu dikau
secabik tempat yang kukasihi?
    Tumpak yang sakti,
di dalam dada kuhormati?
    Dalam kenangan
    terayan ayan?

    Tahu dikau
sebidang kasur tempatku tidur?
    Tempat yang makmur.
Sedang lasak menjulur-julur,
    waktu mengemis
    menangis-nangis?

    Tahu dikau
di mana aku dipujuk-pujuk?
    Sebab merajuk
mehausi susu nyaman sejuk?
    Suling menyuling
berguling-guling?

    Kenal dikau
mana yang tidak boleh kaulupa?
    di ukup dupa.
Kasih tak putus, tak kan lupa
    santun sayangku
    ke inang ibu.

    Wahai sah’bat,
kurang aksara putus penyebut.
    Hulu menangkut
mata sabak airnya rurut.
    Hilang tepian
    di mata tolan.

    Dang pembaca
sudahlah tahu mana kumaksud
    Sudah disebut
diterka kalbu, lurus tunjuk.
    Sakti bunyinya:
    "Haribaan Bunda".

Sumber: Puitika Roestam Effendi dan Percikan Permenungan (2013)

Analisis Puisi:

Puisi "Pangkuan Bunda" karya Rustam Effendi adalah salah satu karya sastra yang sarat makna dan nuansa emosional. Meski menggunakan bahasa lama dan struktur yang khas, karya ini memancarkan kehangatan, nostalgia, serta penghormatan terhadap sosok ibu.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kasih sayang dan kehangatan seorang ibu. Penyair menggambarkan pangkuan ibu sebagai tempat yang aman, nyaman, dan penuh cinta, menjadi sumber kebahagiaan sekaligus kenangan tak tergantikan sejak masa kecil. Tema ini mengajak pembaca untuk merenungkan kembali arti rumah, bukan sekadar bangunan fisik, tetapi sebuah ruang hati yang dipenuhi cinta seorang ibu.

Puisi ini bercerita tentang kenangan masa kecil penyair ketika berada di pangkuan ibunya. Ia mengingat bagaimana ibu memeluk, memanjakan, dan menenangkan dirinya saat menangis atau merajuk. Dalam bait-baitnya, penyair mengajak pembaca menelusuri kembali ruang-ruang kenangan itu: tempat tidur yang hangat, belaian lembut, hingga suasana damai di pelukan seorang ibu. Semua itu disampaikan dengan repetisi pertanyaan “Tahu dikau” atau “Kenal dikau” seolah menguji apakah pembaca masih mengingat pengalaman serupa.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah pesan tentang pentingnya menghargai dan mengingat kasih sayang seorang ibu, sekaligus menyadari bahwa waktu terus berjalan dan kenangan masa kecil tak akan terulang. Rustam Effendi ingin menegaskan bahwa kehangatan seorang ibu adalah kekuatan yang membentuk jati diri seseorang. Selain itu, ada kesan bahwa kehidupan dewasa sering membuat seseorang lupa akan kesederhanaan dan ketulusan kasih sayang yang pernah ia terima di awal kehidupannya.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini cenderung hangat, teduh, dan melankolis. Pembaca seakan dibawa masuk ke ruang kenangan masa kecil yang lembut, penuh sentuhan kasih, namun juga diselimuti rasa rindu dan haru karena semua itu kini hanya tinggal memori.

Amanat / Pesan yang disampaikan puisi

Amanat puisi ini adalah agar kita tidak melupakan jasa, kasih sayang, dan pengorbanan seorang ibu. Dalam kehidupan yang terus berjalan, sebaiknya kita selalu menghormati dan menyayangi ibu, karena pelukan dan pengorbanannya adalah hal yang membentuk siapa kita hari ini.

Imaji

Imaji yang muncul dalam puisi ini sebagian besar adalah imaji taktil dan visual. Imaji taktil terlihat pada penggambaran “mehausi susu nyaman sejuk” yang menghadirkan sensasi kehangatan dan kenyamanan fisik. Imaji visual hadir pada “suling menyuling berguling-guling” yang memunculkan gambaran gerak dan suasana riang masa kecil. Kedua jenis imaji ini bekerja sama membentuk gambaran konkret yang membuat pembaca dapat membayangkan suasana yang dimaksud.

Majas

Beberapa majas yang digunakan Rustam Effendi dalam puisi ini antara lain:
  • Repetisi – Pengulangan frasa seperti “Tahu dikau” dan “Kenal dikau” di awal bait untuk menegaskan pesan dan menciptakan ritme puitis.
  • Personifikasi – Misalnya pada frasa “lasak menjulur-julur” yang memberi sifat seolah-olah waktu dapat bergerak secara fisik.
  • Metafora – Frasa “haribaan bunda” menjadi simbol kasih sayang dan kenyamanan yang tak tergantikan, bukan sekadar arti literal.

Rustam Effendi
Puisi: Pangkuan Bunda
Karya: Rustam Effendi

Biodata Roestam Effendi:
  • Rustam Effendi lahir pada tanggal 13 Mei 1903 di Padang, Sumatra Barat.
  • Rustam Effendi meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1979 (pada usia 76) di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.