Analisis Puisi:
Puisi "Pantai Itu, Pasca Tsunami" karya Doel CP Allisah adalah salah satu karya yang lahir dari luka sejarah besar, yaitu bencana tsunami Aceh tahun 2004. Melalui rangkaian kata yang kuat, penyair menggambarkan bagaimana gelombang raksasa itu menghancurkan banyak tempat, merenggut kehidupan, dan sekaligus menjadi peringatan bagi manusia akan kekuasaan Tuhan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah bencana alam tsunami sebagai peringatan Ilahi. Tsunami tidak hanya dilihat sebagai tragedi fisik, tetapi juga simbol murka Tuhan terhadap manusia yang terlalu larut dalam kemaksiatan.
Puisi ini bercerita tentang pantai-pantai di Aceh yang hancur diterjang tsunami. Tempat-tempat yang dulu menjadi saksi kehidupan dan bahkan kemaksiatan kini lenyap dilanda gelombang. Namun, di tengah kehancuran itu, masjid dan surau justru tetap berdiri kokoh—sebagai tanda kebesaran Tuhan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah ajakan untuk kembali kepada kesucian, meninggalkan perbuatan maksiat, dan menyadari kebesaran Tuhan. Bencana dipahami bukan sekadar fenomena alam, melainkan teguran keras agar manusia tidak lagi lalai dan sombong di hadapan Sang Pencipta.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang hadir dalam puisi ini adalah mencekam, penuh duka, sekaligus religius. Ada kepedihan melihat kehancuran, tetapi juga ada getaran spiritual yang menuntun manusia untuk bertobat dan memperbaiki diri.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang bisa ditangkap adalah bahwa manusia harus mengambil pelajaran dari bencana. Kehancuran bukan hanya penderitaan, tetapi juga tanda kasih Tuhan yang masih memberi kesempatan agar manusia kembali kepada fitrah-Nya.
Imaji
Puisi ini menghadirkan imaji yang kuat, misalnya:
- “Dengan sekali hempasan dia hancurkan pantai-pantai itu” → menghadirkan gambaran visual tentang gelombang tsunami yang meluluhlantakkan kawasan pesisir.
- “jadi bersih dari segala kenangan dari segala desah kasih para arjuna dan shinta zaman ini” → memunculkan imaji emosional sekaligus kritik sosial.
- “dan dia tinggalkan rumah-rumah sucinya dengan kokoh” → imaji visual sekaligus religius tentang masjid yang tetap berdiri di tengah kehancuran.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
- Hiperbola: “Dengan sekali hempasan dia hancurkan pantai-pantai itu” menggambarkan kedahsyatan tsunami dengan penguatan makna.
- Personifikasi: “pantai-pantai itu menjadi saksi kejalangan kita” memberikan sifat manusiawi pada pantai.
- Metafora: “azab menjadi nyata” sebagai gambaran tsunami yang dimaknai sebagai murka Tuhan.
Puisi "Pantai Itu, Pasca Tsunami" bukan hanya catatan duka tentang sebuah bencana besar, melainkan juga renungan moral dan spiritual. Doel CP Allisah menuliskan tragedi ini sebagai teguran agar manusia tidak lupa pada Tuhan dan tidak terjebak dalam kemaksiatan. Dengan kekuatan imaji, suasana religius, dan pesan moral yang mendalam, puisi ini mengingatkan kita bahwa di balik musibah selalu ada pelajaran yang harus direnungkan.
Karya: Doel CP Allisah