Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Penatah Batu Dukuh Udanawu (Karya Iman Budhi Santosa)

Puisi “Penatah Batu Dukuh Udanawu” karya Iman Budhi Santosa bercerita tentang seorang penatah batu di Dukuh Udanawu yang berkarya dengan penuh ...
Penatah Batu Dukuh Udanawu

Melalui serat batu, ia berkisah
ada celah yang membuat dunia terbelah

Melalui tatah terasah, ia menakar otot palu
mengolah lekuk-liku, getar sukma pertapa
penjaga setua ribuan batu lembah Udanawu

Dengan tangkas mereka membuat cadas-beras
berbicara, batu hitam memasuki dunia
tapi, ia tetap bersila (seperti gunung Perahu)
mengukir hidup serupa meru
menunggu wangsit
dalam kidung yang wingit
seperti pohon randu
menggugurkan daunnya
menyongsong bunga yang segera terbit

1997

Sumber: Dunia Semata Wayang (2005)

Analisis Puisi:

Puisi “Penatah Batu Dukuh Udanawu” karya Iman Budhi Santosa adalah salah satu karya yang sarat dengan simbol, metafora, dan nuansa mistis khas tradisi Jawa. Sang penyair menghadirkan dunia batu, tatah, palu, dan kisah-kisah yang berkelindan dengan spiritualitas, sejarah, dan kearifan lokal. Melalui bahasa yang puitis, puisi ini menyingkap pertemuan antara kerja keras manusia, alam, dan dimensi gaib yang menyelubunginya.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perpaduan antara kerja manusia, alam, dan spiritualitas. Penatah batu digambarkan bukan sekadar pekerja, melainkan perantara yang menghadirkan makna hidup melalui pahatan. Ia tidak hanya menciptakan bentuk, tetapi juga mengolah getaran sukma, menunggu wangsit, dan berhubungan dengan dimensi mistik yang ada di balik batu-batu Udanawu.

Puisi ini bercerita tentang seorang penatah batu di Dukuh Udanawu yang berkarya dengan penuh kesungguhan, ketekunan, dan spiritualitas. Ia menggunakan palu dan tatah, namun setiap pukulan dan pahatan mengandung makna lebih dalam daripada sekadar menciptakan benda. Karyanya merekam kisah dunia, membelah batas antara yang nyata dan gaib. Ia menjadi simbol manusia yang “mengukir hidup” seperti gunung atau pohon, dengan keteguhan, kesabaran, dan kesadaran akan waktu.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kehidupan manusia ibarat mengukir batu, membutuhkan kekuatan, kesabaran, dan ketekunan. Batu yang keras melambangkan tantangan hidup, sementara palu dan tatah adalah usaha serta ikhtiar manusia. Ada pula dimensi spiritual yang ditunjukkan: kehidupan bukan hanya kerja keras jasmani, tetapi juga pencarian makna, keselarasan dengan alam, dan keterhubungan dengan yang gaib. Penatah batu di sini menjadi metafora dari manusia yang setia menempuh jalan hidup, menunggu petunjuk, dan menyatu dengan alam semesta.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah hening, sakral, dan mistis. Gambaran tentang pertapa, wangsit, kidung wingit, hingga pohon randu yang menggugurkan daun menghadirkan atmosfer yang penuh ketenangan, namun juga menyimpan aura gaib dan kebijaksanaan. Suasana ini seolah membawa pembaca pada ruang meditatif di mana kehidupan dipandang dengan penuh kesadaran spiritual.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat puisi ini adalah hidup harus dijalani dengan keteguhan, kesabaran, dan kesadaran spiritual. Seperti penatah batu yang tekun dan bersila menunggu wangsit, manusia pun harus menjalani hidup dengan kesabaran, kebijaksanaan, dan keterhubungan dengan alam. Puisi ini juga menyiratkan pesan bahwa setiap pekerjaan, sekecil apa pun, memiliki nilai spiritual jika dikerjakan dengan tulus dan penuh makna.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan imaji simbolis. Contoh imaji visual tampak pada:
  • “serat batu” → membangkitkan bayangan detail pahatan di permukaan batu.
  • “mengolah lekuk-liku” → menghadirkan imaji tentang pahatan yang membentuk rupa.
  • “pohon randu menggugurkan daunnya” → imaji alam yang konkret, melambangkan siklus hidup.
Imaji simbolis hadir pada:
  • “mengukir hidup serupa meru” → meru adalah gunung suci, melambangkan spiritualitas.
  • “menunggu wangsit dalam kidung wingit” → menghadirkan suasana mistis penuh simbol.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – “mengukir hidup serupa meru” → hidup diibaratkan sebagai sebuah pahatan gunung suci.
  • Personifikasi – “batu hitam memasuki dunia” → batu digambarkan seolah-olah hidup dan mampu berbicara.
  • Simbolisme – batu, palu, tatah, dan pohon randu bukan sekadar benda konkret, tetapi juga simbol ketekunan, kehidupan, siklus waktu, dan spiritualitas.
  • Repetisi – penggunaan kata “melalui” di awal bait menekankan proses kerja penatah yang terus berlangsung.
Puisi “Penatah Batu Dukuh Udanawu” karya Iman Budhi Santosa memperlihatkan bahwa kehidupan, sebagaimana batu yang dipahat, adalah proses panjang yang menuntut kesabaran, ketekunan, dan penghayatan spiritual. Penatah batu bukan hanya seniman, tetapi juga seorang “pertapa” yang menyatukan tenaga, jiwa, dan doa dalam setiap karya.

Dengan imaji yang kuat dan majas yang indah, puisi ini mengingatkan pembaca bahwa dalam kesunyian, kesabaran, dan kerja keras, terdapat makna hidup yang lebih dalam.

Iman Budhi Santosa
Puisi: Penatah Batu Dukuh Udanawu
Karya: Iman Budhi Santosa

Biodata Iman Budhi Santosa:
  • Iman Budhi Santosa pada tanggal 28 Maret 1948 di Kauman, Magetan, Jawa Timur, Indonesia.
  • Iman Budhi Santosa meninggal dunia pada tanggal 10 Desember 2020 (pada usia 72 tahun) di Dipowinatan, Yogyakarta, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.