Riwayat Waktu
"8 Desember 1996
sendirian dari desa Kedu"
Apa bedanya dengan batu-batu di galengan?
Pada riwayat panjangmu
Juga tersandar batang jagung kering.
Awan juga seperti kabut!
Membakar rambut manusia.
Sindoro-Sumbing tanpa puncak,
Hujan merawat sekumpulan kijing
Lalu menghilang.
Tak ada kata-kata besar hari itu!
Seperti paranormal
Pohonan menyusun wujud hijau
Dan sebersit rindu dalam hati
Hari serasa sudah larut malam.
Bersama istri ngeloni anak.
Tapi gemuruh ombak pantai selatan
Belum meruntuhkan batu-batu pikiranku.
Berombongan orang turun gunung.
Pipi tergores dingin kaca.
Seorang wanita tua nggendong
Seikat kacang panjang.
Hidup pun baru akan
Dan boleh tidak segelas penuh.
1996
Sumber: Horison (September, 2000)
Analisis Puisi:
Puisi "Riwayat Waktu" karya Badruddin Emce adalah sebuah karya yang merekam fragmen kehidupan dengan bahasa yang sederhana namun sarat makna. Lahir dari pengalaman sehari-hari, puisi ini menghadirkan percampuran antara alam, kenangan, serta perenungan terhadap kehidupan yang berjalan apa adanya.
Tema
Tema utama puisi ini adalah perjalanan hidup manusia dalam kesederhanaan dan keterikatan dengan alam serta waktu. Badruddin Emce tidak menuliskan kehidupan dalam bentuk yang megah, melainkan dalam detail kecil yang akrab: batu, jagung kering, hujan, pegunungan, hingga suara ombak. Tema tersebut menegaskan bahwa kehidupan manusia selalu terkait erat dengan ruang dan alam di sekitarnya.
Puisi ini bercerita tentang keseharian manusia di desa dengan kesunyian, kesederhanaan, serta perenungan yang muncul dari hubungan dengan alam. Penyair menyinggung batu-batu galengan, batang jagung kering, hujan yang merawat kijing (nisan), hingga pegunungan Sindoro-Sumbing yang agung. Di sisi lain, kehidupan personal juga dihadirkan dengan adegan keluarga: “Bersama istri ngeloni anak.” Fragmen ini memberi sentuhan manusiawi bahwa waktu bukan hanya tentang alam yang bergerak, tetapi juga tentang momen-momen intim yang sederhana.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kesadaran bahwa hidup berjalan dalam siklus alam dan keseharian kecil, tanpa perlu dihiasi kata-kata besar atau pencapaian yang monumental. Hidup dapat dipahami dari bagaimana seseorang mendengarkan hujan, merasakan dingin, melihat wanita tua membawa kacang panjang, atau sekadar menikmati kebersamaan dengan keluarga. Pesan yang mengendap adalah bahwa riwayat manusia sesungguhnya sederhana, penuh detail kecil, dan justru di sanalah letak keindahannya.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini adalah hening, kontemplatif, dan penuh perenungan. Ada rasa kesepian, misalnya ketika disebut “hari serasa sudah larut malam”, tetapi ada juga kehangatan keluarga yang membuat suasana menjadi teduh. Sementara itu, bunyi ombak pantai selatan dan dingin gunung menghadirkan suasana alam yang kuat dan kontras.
Amanat / pesan yang disampaikan
Amanat yang bisa ditangkap dari puisi ini adalah belajarlah memahami hidup dari hal-hal sederhana yang ada di sekitar kita. Alam, keluarga, dan keseharian adalah bagian dari perjalanan waktu yang membentuk manusia. Tidak selalu perlu mengejar hal-hal besar untuk menemukan makna hidup; justru detail kecil, kedekatan dengan keluarga, dan keterhubungan dengan alam yang menyimpan arti terdalam.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji, terutama imaji visual dan imaji perasaan. Beberapa contohnya:
- “Sindoro-Sumbing tanpa puncak” (imaji visual tentang gunung yang tampak redup tertutup kabut).
- “Hujan merawat sekumpulan kijing” (imaji visual dan emosional yang menghubungkan hujan dengan makam).
- “Pipi tergores dingin kaca” (imaji perasaan yang menggambarkan sensasi fisik dingin).
- “Seorang wanita tua nggendong seikat kacang panjang” (imaji visual keseharian pedesaan).
Imaji ini memberi kekuatan puisi dengan menghadirkan pengalaman konkret yang bisa divisualisasikan pembaca.
Majas
Badruddin Emce menggunakan sejumlah majas untuk memperkuat puisinya:
- Personifikasi: “Hujan merawat sekumpulan kijing” (hujan dipersonifikasikan memiliki sifat merawat).
- Metafora: “Batu-batu pikiranku” (pikiran digambarkan seperti batu, kuat dan keras).
- Hiperbola: “Sindoro-Sumbing tanpa puncak” (seolah gunung kehilangan puncaknya karena kabut).
- Simbolik: sosok wanita tua dengan kacang panjang melambangkan kehidupan yang sederhana namun tetap berjalan.
Puisi "Riwayat Waktu" karya Badruddin Emce menampilkan perenungan sederhana tentang hidup yang menyatu dengan alam dan keseharian. Dengan tema perjalanan waktu dan makna tersirat tentang kesederhanaan hidup, puisi ini menghadirkan suasana hening sekaligus hangat. Imaji dan majas yang digunakan memperkaya pengalaman membaca, membuat pembaca seolah ikut merasakan keheningan desa, dinginnya gunung, dan hangatnya keluarga.
Puisi: Riwayat Waktu
Karya: Badruddin Emce
Biodata Badruddin Emce:
- Badruddin Emce lahir di Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, pada tanggal 5 Juli 1962.