Sumber: Yogya dalam Nafasku (2015)
Analisis Puisi:
Puisi "Ruang Kerja Ayah" karya Tjahjono Widarmanto adalah sebuah karya yang sarat makna, menghadirkan gambaran tentang sosok ayah yang berprofesi sebagai penyair. Melalui sudut pandang seorang anak, puisi ini membuka tabir ruang privat seorang ayah sekaligus menghadirkan paradoks antara sosok penyair yang dianggap “mencipta” layaknya Tuhan dengan realitas keseharian yang penuh dengan kekurangan manusiawi.
Tema
Tema utama puisi ini adalah gambaran sosok ayah sebagai penyair dalam ruang kerja privatnya, serta bagaimana dunia kepenyairan dipersepsi oleh anak dan keluarga. Puisi ini juga menyentuh tema tentang misteri penciptaan, kekuasaan kata, serta paradoks manusia yang mencipta sekaligus berkuasa namun tetap penuh kelemahan.
Puisi ini bercerita tentang ruang kerja seorang ayah di loteng lantai dua, tempat ia menulis dengan mesin ketik tua atau komputer. Dari sudut pandang anak, ruang kerja itu menjadi simbol misterius karena ayah melarang siapa pun masuk. Sang ibu menyebut ayah sebagai penyair, bahkan disamakan dengan “tuhan kecil” yang sanggup mencipta kata-kata, emosi, dan makna. Namun di balik penciptaan yang agung itu, terselip sisi manusiawi: ayah bekerja hanya dengan celana dalam, menggerakkan kaki, komat-kamit seperti dukun, bahkan sesekali marah dengan rotan saat ditanya soal tagihan rumah tangga. Anak akhirnya mengungkapkan keinginannya: ingin menjadi penyair seperti ayah, karena pekerjaan itu tampak penuh kuasa dan bebas.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah ambivalensi peran penyair. Di satu sisi, penyair dipandang sakral, memiliki kuasa untuk “mencipta” seperti Tuhan, menuliskan kata-kata yang bisa menjadi sabda atau firman. Namun di sisi lain, penyair tetap manusia biasa, penuh kelemahan, terkadang kasar, emosional, bahkan tidak peduli soal kebutuhan praktis seperti uang dan tagihan. Dari sini tersirat kritik terhadap romantisasi profesi penyair sekaligus pengakuan bahwa penciptaan seni selalu berada di antara kemuliaan dan kelemahan manusiawi.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah campuran antara kekaguman, misteri, dan humor satir. Ada nuansa kagum dari anak kepada ayahnya yang dianggap seperti Tuhan kecil, namun juga ada ironi yang ditampilkan secara jenaka, misalnya ketika ayah digambarkan bekerja hanya dengan celana dalam atau bersikap otoriter terhadap ibu. Suasana ini menghadirkan kesan realistis, hangat, sekaligus menyindir.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah bahwa penciptaan seni bukan hanya tentang kemuliaan, tetapi juga tentang kontradiksi dalam diri manusia. Penyair, seagung apa pun karyanya, tetaplah manusia biasa dengan segala kelemahan. Puisi ini juga menyampaikan bahwa dunia kreatif sering kali tak bisa diukur dengan logika praktis seperti uang atau pekerjaan formal, melainkan merupakan panggilan batin yang tak semua orang pahami.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan auditif. Misalnya:
- “tik tak tuk mesin ketik tua setua ubannya” — menghadirkan imaji bunyi yang nostalgis.
- “diam-diam aku pernah mengintipnya saat bekerja: ternyata saat menekuri komputernya ayah hanya mengenakan celana dalam” — menghadirkan imaji visual yang jenaka.
- “mulut komat-kamit seperti presiden pidato atau dukun baca mantra” — menghadirkan imaji auditif sekaligus komparatif.
Imaji-imaji ini memperkaya pengalaman pembaca, menjadikan ruang kerja ayah terasa nyata sekaligus penuh humor.
Majas
Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
- Simile (perbandingan): “mulut komat-kamit seperti presiden pidato atau dukun baca mantra”.
- Metafora: “ayah adalah penyair. seolah tuhan kecil yang sanggup mencipta apa saja” — membandingkan penyair dengan Tuhan kecil.
- Personifikasi: “mesin ketik tua setua ubannya” — mesin ketik dipersonifikasikan seakan memiliki usia seperti manusia.
- Ironi: ayah digambarkan begitu berkuasa dalam penciptaan kata, tetapi dalam rumah tangga masih disibukkan dengan urusan tagihan listrik dan pajak.
Puisi "Ruang Kerja Ayah" karya Tjahjono Widarmanto berhasil menghadirkan gambaran tentang penyair yang penuh paradoks: diagungkan sebagai pencipta kata namun juga tetap manusiawi dengan segala kelemahannya. Dengan menghadirkan tema misteri penciptaan, bercerita tentang ruang kerja ayah yang penuh rahasia, serta memunculkan imaji dan majas yang kuat, puisi ini menyampaikan makna tersirat bahwa seni adalah pertemuan antara sakralitas dan keseharian, antara kuasa dan keterbatasan.
