Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Rumah Gunung (Karya Abdul Wachid B. S.)

Puisi "Rumah Gunung" karya Abdul Wachid B. S. bercerita tentang sepasang insan yang sedang mencari arti pertemuan dan kebersamaan, namun dihadapkan ..
Rumah Gunung

Apa yang kau cari
Di gunung teduh
Di hati gaduh
Hari-hari ditusuki duri

Sudah tersingkap cinta
Pukaunya menyilaukan mata
Sepertinya gerimis tak usai-usai
Mengembalikan kau aku di sini

Tapi kau adalah kau
Dan aku adalah aku
Kau aku bersepakat dalam kita
Hingga tak berjarak surga-realita

Apa yang kau cari
Di gunung sejuk ke seluruh
Di tubuh kita tak saling sentuh
Mengapa diri demikian meninggi?

Mengawan di antara
Jeruk hangat, sate terhidang
Pelayan manis ke-Arab-an berdendang
Kau aku masih juga dipisahkan meja

Tapi hari belum lagi 
Abu-abu
Kau aku sama menunggu
Untuk yang mungkin pasti.

2003

Analisis Puisi:

Puisi "Rumah Gunung" karya Abdul Wachid B. S. merupakan salah satu karya yang kaya akan lapisan makna. Dengan bahasa sederhana namun penuh simbol, penyair menghadirkan refleksi tentang hubungan manusia, cinta, jarak, sekaligus pergulatan batin antara harapan dan kenyataan. Dalam puisinya, pembaca diajak menelusuri ruang batin yang terhubung dengan suasana gunung—sebagai lambang keteduhan sekaligus kesunyian.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pencarian makna cinta dan kebersamaan di tengah jarak dan perbedaan. Gunung dijadikan simbol tempat yang teduh, tinggi, sekaligus jauh, yang melukiskan kondisi batin dua sosok yang terikat oleh cinta, tetapi masih dipisahkan oleh batas-batas tertentu.

Puisi ini bercerita tentang sepasang insan yang sedang mencari arti pertemuan dan kebersamaan, namun dihadapkan pada jarak emosional dan sosial yang memisahkan mereka. Mereka hadir bersama, merasakan ruang dan waktu yang sama, tetapi tetap ada batas yang membuat cinta mereka tidak sepenuhnya menyatu. Gambaran seperti meja yang memisahkan, pelayan yang berdendang, hingga suasana gerimis, menunjukkan bahwa ada rindu, ada kebersamaan, tetapi tidak tanpa halangan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah perjalanan cinta tidak hanya soal pertemuan fisik, tetapi juga soal keselarasan hati dan jiwa. Gunung dapat dimaknai sebagai simbol idealitas, tempat tinggi yang ingin dicapai, sedangkan suasana meja yang memisahkan menggambarkan realitas kehidupan yang penuh batas. Ada paradoks antara “kau dan aku” yang berbeda, tetapi tetap ingin menyatu dalam “kita”. Penyair seakan ingin menyampaikan bahwa cinta membutuhkan perjuangan, kesabaran, dan kesepakatan hati, bukan sekadar kedekatan raga.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini adalah gabungan antara teduh, sendu, dan penuh harap. Ada rasa damai yang ditawarkan oleh gunung, tetapi juga ada kegelisahan batin akibat jarak. Suasana teduh itu diracik dengan perasaan ambigu: antara harapan akan bersatunya cinta dengan kenyataan yang belum bisa sepenuhnya menyatukan.

Amanat / Pesan yang disampaikan

Amanat yang dapat dipetik dari puisi ini adalah bahwa cinta sejati menuntut pemahaman, kesabaran, dan keteguhan hati untuk menyeberangi jarak serta perbedaan. Hubungan bukan hanya tentang kebersamaan secara fisik, tetapi tentang kesediaan hati untuk menunggu dan menjaga. Penyair juga ingin menegaskan bahwa meskipun ada rintangan, cinta tetap memiliki kemungkinan untuk menjadi “yang pasti”.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang menggugah perasaan.
  • Imaji visual: “gunung teduh”, “hari-hari ditusuki duri”, “gerimis tak usai-usai”, “warna abu-abu”. Semua menghadirkan pemandangan yang konkret dan menyentuh mata batin.
  • Imaji pendengaran: “pelayan manis ke-Arab-an berdendang” menambah suasana musikal, seakan cinta mereka dibingkai oleh bunyi dan nyanyian.
  • Imaji perasaan: perasaan gelisah, rindu, dan menunggu tergambar kuat melalui diksi-diksi seperti “tak saling sentuh”, “masih juga dipisahkan meja”, dan “menunggu untuk yang mungkin pasti”.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
  • Majas personifikasi: “hari-hari ditusuki duri” memberi kesan waktu seakan memiliki kuasa menyakiti.
  • Majas metafora: “gunung teduh” dan “gunung sejuk” sebagai lambang dari keteduhan, idealitas, dan tempat pencarian makna.
  • Majas paradoks: “kau adalah kau, dan aku adalah aku, kau aku bersepakat dalam kita” yang menegaskan adanya perbedaan, tetapi tetap ada upaya menuju kebersamaan.
  • Majas simbolik: “meja” sebagai simbol jarak yang memisahkan dua insan, bukan sekadar benda fisik.
Melalui puisi "Rumah Gunung", Abdul Wachid B. S. menghadirkan sebuah refleksi mendalam tentang cinta yang dipenuhi jarak, rindu, dan harapan. Gunung dijadikan metafora untuk menggambarkan kesejukan sekaligus tantangan dalam perjalanan hati. Puisi ini mengingatkan kita bahwa cinta adalah jalan yang harus ditempuh dengan kesabaran, pengertian, dan keyakinan, meski terkadang terhalang oleh batas-batas realitas.

Abdul Wachid B. S.
Puisi: Rumah Gunung
Karya: Abdul Wachid B. S.
© Sepenuhnya. All rights reserved.