Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Rumah (Karya Doel CP Allisah)

Puisi “Rumah” karya Doel CP Allisah bercerita tentang relasi intim seseorang dengan rumahnya, yang dipersonifikasikan sebagai makhluk yang setia, ...
Rumah

Rumah adalah surga, yang setia mendekapmu
ketika kau tidur atau mengucap: tinggal dulu ya?
kepadanya, entah siapa tentram mengangguk
setiap kali kau melangkah, wajahmu tersenyum
bagai bayang-bayang di langit
ketika kau kembali membawa penat
ranjang hangat sandaran resah

Rumah adalah surga katamu, dan aku selalu pulang
merapikan selimut atau membersihkan potret kita
setelah semalaman mengembara di negeri asing
dengan gema suara yang menyesatkan
selamat malam, igaunya padamu, mungkin juga buatku
kita pun bergandengan tangan ke dalam-Nya.

Analisis Puisi:

Puisi “Rumah” karya Doel CP Allisah merupakan perenungan yang menyentuh mengenai makna rumah—bukan sekadar bangunan fisik, melainkan ruang batin yang menghadirkan ketenteraman, kedekatan spiritual, dan cinta yang tak bersyarat. Dalam baris-baris lembut dan kontemplatif, penyair menyuguhkan rumah sebagai tempat perlindungan dari hiruk-pikuk dunia, sekaligus titik balik yang sakral untuk kembali.

Tema

Tema utama puisi ini adalah rumah sebagai simbol ketenangan, cinta, dan tempat kembali yang spiritual. Rumah dihadirkan bukan hanya sebagai ruang fisik, tetapi juga sebagai citra keabadian dan surga batin, tempat jiwa-jiwa lelah menemukan sandaran. Ia menyentuh tema universal tentang kepulangan, kerinduan, dan keterikatan emosional yang dalam.

Puisi ini bercerita tentang relasi intim seseorang dengan rumahnya, yang dipersonifikasikan sebagai makhluk yang setia, hangat, dan penuh kasih. Sosok lirik menggambarkan bagaimana rumah selalu menunggu, menyambut, dan menerima dirinya, baik ketika ia pergi dengan penat, maupun ketika ia kembali dalam diam, bahkan dalam kesendirian yang melankolis. Rumah menjadi saksi kehidupan dan kerinduan, serta tempat melepas lelah dan merekatkan kembali ingatan yang tercerai.

Makna Tersirat

Beberapa makna tersirat dari puisi ini antara lain:
  1. Rumah sebagai bentuk cinta yang tak bersyarat. Rumah tidak menuntut, tidak bertanya, tidak menghakimi. Ia hanya menyambut.
  2. Pulang sebagai bentuk penyembuhan spiritual. Dalam kalimat “kita pun bergandengan tangan ke dalam-Nya”, tersirat bahwa pulang bukan hanya kembali ke rumah fisik, tetapi juga kembali pada Tuhan, cinta, dan ketulusan.
  3. Kerinduan akan stabilitas emosional dan ketenangan batin. Dalam dunia yang kacau, rumah menjadi ruang suci tempat kita mengenali kembali diri sendiri.
  4. Keberadaan pasangan atau kenangan yang mungkin sudah tiada, namun tetap dihadirkan lewat aktivitas membersihkan potret dan merapikan selimut. Rumah juga bisa dimaknai sebagai memori bersama yang masih hidup.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini hangat, melankolis, sekaligus sakral. Ada ketenangan yang mendalam ketika penyair menyebut rumah sebagai “surga”, tapi juga ada nuansa kerinduan dan kesedihan yang menyusup, terutama saat kata “selamat malam, igaunya padamu” muncul—seperti percakapan dengan seseorang yang mungkin sudah tiada, atau mungkin hanya hidup dalam mimpi dan kenangan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa:
  1. Rumah adalah tempat paling setia dan tulus yang akan selalu menerima kita kembali, apa pun kondisi kita saat datang.
  2. Jangan lupakan untuk kembali—pulang ke rumah, pulang ke cinta, pulang ke diri sendiri.
  3. Pulang adalah bentuk penghormatan terhadap cinta dan kenangan, dan kadang, ia juga menjadi ibadah batin: kembali kepada yang Maha Menerima.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan emosional yang menyentuh:
  • “Rumah adalah surga, yang setia mendekapmu” → menciptakan gambaran rumah seperti pelukan hangat.
  • “Wajahmu tersenyum bagai bayang-bayang di langit” → imaji halus dan puitik yang menggabungkan keindahan visual dengan perasaan rindu.
  • “Ranjang hangat sandaran resah” → menghidupkan suasana intim dan menghibur dalam kesendirian.
  • “Merapikan selimut atau membersihkan potret kita” → menciptakan visual yang melankolis, seolah sedang menjaga memori yang nyaris pudar.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:

Personifikasi
  • “Rumah adalah surga yang setia mendekapmu” → rumah digambarkan memiliki sifat manusia yang bisa mendekap.
  • “Tentram mengangguk” → menggambarkan suasana tenang dengan gerak seperti manusia.
  • “Selamat malam, igaunya padamu” → rumah digambarkan bisa berbicara, mengigau, memberi sapaan.
Metafora
  • Rumah sebagai “surga” menjadi metafora dari ketenangan dan keabadian.
  • “Gema suara yang menyesatkan” → menjadi metafora dari kebingungan, godaan, atau gangguan dari dunia luar.
  • “Kita pun bergandengan tangan ke dalam-Nya” → metafora spiritual menuju akhir, atau ketenangan abadi bersama Tuhan.
Simile
  • “Wajahmu tersenyum bagai bayang-bayang di langit” → simile yang memperkuat nuansa rindu dan keindahan.
Puisi “Rumah” karya Doel CP Allisah adalah sebuah elegi tentang pulang dan keabadian. Rumah digambarkan bukan hanya sebagai bangunan, tapi sebagai penjelmaan cinta dan penerimaan yang sempurna. Dalam dunia yang sering menyesatkan, rumah menjadi oasis spiritual dan emosional yang tidak hanya merangkul tubuh, tapi juga jiwa.

Puisi ini tidak hanya menyentuh, tapi juga menyadarkan: bahwa yang paling setia menunggu kita pulang bukanlah gemerlap dunia, melainkan rumah—tempat di mana kasih dan kenangan bersemayam, mungkin selamanya.

Doel CP Allisah
Puisi: Rumah
Karya: Doel CP Allisah
© Sepenuhnya. All rights reserved.