Rumah
Malam kelam telah datang
Langit menyanyikan keheningan
Tidurlah, kekasihku, tidurlah
Biar lelahmu kian merebah
Kau tak perlu menceramahi
Tentang bagaimana mencintai
Kau bahkan tak tahu pasti
Seperti apa mencintai
Kau hanya ingin memiliki!
Kau cepat sekali terlelap
Kau terlalu banyak berharap!
Aku menari sunyi di langit
Sambil mengirimkan kasih
Untuk menyelimuti lelapmu
Biar hadirlah mimpi indahmu
Apa yang aneh dari perpisahan?
Bukankah itu terjadi berulang
dalam setiap kisah kehidupan?
Mengapa air matamu berlinang
seakan hujan tak lagi menggenang?
Sebenarnya aku ingin memelukmu
Seraya kau tidur, seperti dulu
Tapi aku enggan melakukannya
Tubuhku membatu dengan lara
Tak usah dikenang
Walau terasa dalam
Biar dendam melayang
Biar langkah terbebaskan
Ketika kau terbangun esok pagi
Mungkin kau akan mencium wangi melati
Nikmatilah
Itu yang sengaja kutinggalkan
Untuk apa mencaci yang telah mati?
Untuk apa mengharap yang tak pasti?
Kuburan tersedia di mana-mana
Tapi kau masuk ke liang yang sama
Akankah senyummu merekah karenanya?
Tak ada keyakinan yang memastikan
Semuanya terasa hanya perkiraan
Kita pun mungkin hanya perkiraan
Tersesatkah kita?
Selalu ingin kembali
Setelah terlanjur pergi
Tidakkah kau lelah
melahirkan gundah?
Kita harus mencari jalan sendiri
Tapi tak harus pulang kembali
28 Mei 2009
06:40 WIB
Analisis Puisi:
Puisi “Rumah” karya Iman Budhi Santosa merupakan perenungan puitik yang menyentuh tema relasi manusia—baik terhadap sesama maupun terhadap dirinya sendiri—dalam kerangka perpisahan, cinta, kehilangan, dan pencarian makna pulang. Dalam gaya khas Iman Budhi Santosa yang kontemplatif dan lirikal, puisi ini menyajikan semacam dialog batin yang terbelah antara hasrat untuk kembali dan keengganan untuk menoleh ke belakang.
Tema
Puisi ini mengusung tema utama perpisahan dan pergulatan batin pasca hubungan yang kandas. Namun, lebih dari sekadar perpisahan romantis, puisi ini menyentuh aspek yang lebih universal: pulang dan tidak pulang, memiliki dan melepaskan, mencintai dan dimiliki, serta keraguan atas makna eksistensi.
Puisi ini bercerita tentang seorang aku-lirik yang berbicara kepada seseorang—yang bisa jadi mantan kekasih, mantan pasangan, atau metafora dari masa lalu—yang telah terlelap, entah karena kelelahan fisik atau secara simbolis karena lelah batin. Aku-lirik mencoba meredakan suasana dengan kelembutan, tetapi perlahan muncul nada getir dan kritik terhadap pemahaman cinta yang keliru dari lawan bicara. Konflik antara cinta, keterikatan, dan keinginan untuk bebas menjadi pusat cerita.
Makna Tersirat
Puisi ini menyimpan banyak makna tersirat:
- Cinta bukan tentang memiliki. Dalam bait “Kau hanya ingin memiliki!”, penyair menegaskan bahwa cinta yang benar tidak sekadar tentang penguasaan atau keterikatan obsesif.
- Kepedihan itu personal dan tak selalu bisa dibagi. Perpisahan yang digambarkan tidak didramatisasi, melainkan dipandang sebagai hal wajar dalam perjalanan hidup: “Apa yang aneh dari perpisahan?”
- Pulang adalah pilihan batin, bukan sekadar rute fisik. Meski judul puisi adalah "Rumah", pesan akhirnya menyiratkan bahwa tak semua perjalanan harus berakhir dengan kembali ke tempat semula. Rumah tidak selalu identik dengan tempat, melainkan bisa berupa keadaan batin.
- Kita hanya perkiraan. Salah satu bagian paling reflektif dari puisi ini adalah kesadaran bahwa hidup penuh ketidakpastian. “Kita pun mungkin hanya perkiraan” menyiratkan bahwa eksistensi manusia sendiri bisa jadi ilusi, atau paling tidak belum sepenuhnya dipahami.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini cenderung muram, reflektif, dan penuh luka batin yang ditahan dalam diam. Meski diawali dengan kelembutan dan keheningan malam, nuansanya berkembang menjadi getir, pedih, dan diwarnai sinisme. Namun, menjelang akhir, muncul semacam penerimaan dan kelegaan—walau bukan tanpa keraguan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan utama puisi ini adalah:
- Jangan terjebak dalam romantisasi masa lalu atau keterikatan yang salah kaprah. Cinta yang sejati bukan tentang memiliki, bukan tentang memaksa seseorang kembali, dan bukan pula tentang menyiksa diri dalam kenangan. Kadang, jalan terbaik adalah menemukan arah sendiri—meski tidak harus pulang.
Puisi ini juga menyiratkan nilai keikhlasan dan kebijaksanaan dalam menghadapi perpisahan: “Tak usah dikenang / Walau terasa dalam / Biar dendam melayang / Biar langkah terbebaskan.”
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual dan emosional yang menggugah:
- “Langit menyanyikan keheningan” — imaji puitik yang menampilkan suasana malam sebagai ruang meditasi dan kesunyian.
- “Kau cepat sekali terlelap” — menyiratkan ketidaksadaran atau ketidakpedulian dari lawan bicara.
- “Aku menari sunyi di langit” — metafora tentang kesepian yang mencari makna di tengah kehampaan.
- “Mungkin kau akan mencium wangi melati” — imaji lembut yang menggambarkan kehadiran kenangan atau sisa cinta yang ditinggalkan.
Majas
Puisi ini menggunakan beberapa majas secara efektif untuk memperkuat emosi dan makna:
Personifikasi:
- “Langit menyanyikan keheningan” — langit digambarkan seolah bisa bernyanyi dan menyampaikan suasana batin.
- “Aku menari sunyi di langit” — sunyi dipersonifikasikan sebagai tarian, membentuk gambaran betapa sendirinya aku-lirik.
Paradoks:
- “Tidakkah kau lelah melahirkan gundah?” — kontradiksi antara tindakan melahirkan (penciptaan) dan gundah (kesedihan), menekankan kecenderungan untuk menciptakan derita sendiri.
Metafora:
- “Kuburan tersedia di mana-mana / Tapi kau masuk ke liang yang sama” — menggambarkan pilihan hidup yang stagnan, penuh repetisi luka, walau banyak alternatif.
- “Rahim malam” (implisit dalam bagian tidur dan lelap) — malam sebagai ruang aman atau mungkin jebakan dari pelarian batin.
Repetisi:
- Pengulangan “Untuk apa…” dan “Selalu ingin kembali…” memperkuat retorika dan penekanan pada kebingungan serta keraguan eksistensial.
Retorika:
- Banyak pertanyaan retoris seperti “Apa yang aneh dari perpisahan?”, “Untuk apa mencaci yang telah mati?”, dan “Tersesatkah kita?” — semua digunakan untuk menggugat cara berpikir yang sentimentil, serta mengajak pembaca merenung.
Puisi “Rumah” karya Iman Budhi Santosa bukanlah puisi yang memberi pelipur lara atau kesimpulan yang nyaman. Ia mengajak pembacanya untuk menerima kenyataan bahwa pulang tidak selalu perlu, bahwa perpisahan adalah bagian tak terhindarkan dalam cinta, dan bahwa kehidupan mungkin hanya kumpulan perkiraan, bukan kepastian.
Dalam puisinya, Iman Budhi Santosa tidak sekadar membahas cinta dan kehilangan, tetapi menggali sisi terdalam dari luka, harapan, dan kebebasan jiwa. Rumah, dalam konteks puisi ini, bisa jadi bukan tempat untuk kembali—melainkan tempat yang harus dilepaskan agar kita dapat tumbuh dan menemukan jalan sendiri.
