Analisis Puisi:
Puisi pendek berjudul “Rumah Warisan” karya Sugiarta Sriwibawa adalah komposisi tiga bagian (I, II, dan III) yang menampilkan potongan-potongan kehidupan keluarga yang berselimut kenangan, kematian, dan penyesalan. Meski singkat, puisi ini padat akan emosi, simbol, dan pembacaan tentang trauma rumah sebagai warisan, bukan hanya fisik tetapi juga emosional dan spiritual.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kenangan pahit dalam rumah keluarga yang diwariskan, yang menyimpan jejak masa lalu—baik dalam bentuk hubungan yang renggang, kehilangan orang tua, hingga kesedihan yang diam-diam mengendap. Warisan, dalam konteks puisi ini, bukan hanya berarti rumah sebagai benda fisik, tetapi juga warisan luka, trauma, dan perasaan-perasaan tak terselesaikan.
Puisi ini bercerita tentang tiga momen dalam kehidupan tokoh lirik di rumah keluarganya. Masing-masing bagian menampilkan peristiwa yang sederhana secara naratif, tetapi kaya akan emosi:
- Bagian I: Seorang adik bermain sembunyi-sembunyian (mungkin secara metaforis “menghilang”), sementara si aku lirik merasa ditinggalkan dan hanya bisa melongok dari luar. Ia disiul “kerabat lalu”—mungkin simbol dari generasi yang meninggalkan.
- Bagian II: Saat kematian sang bapak, kamar tamu diisi orang baru. Ada nuansa asing, seolah rumah kini menjadi tempat persinggahan yang tak lagi intim.
- Bagian III: Jendela kamar berpaling dari bunga mawar yang biasanya cantik. Tapi karena musim kering (dan mungkin musim batin yang kering pula), yang tumbuh adalah sesal.
Makna Tersirat
Puisi ini menyimpan banyak makna tersirat:
- Keluarga sebagai ruang kehilangan dan keterasingan. Rumah warisan justru menjadi tempat di mana ingatan tentang hubungan yang longgar, kematian, dan kekecewaan tumbuh.
- Perubahan peran rumah dari tempat berlindung menjadi ruang asing. “Orang baru” dan “pintu pergi” menyiratkan bahwa rumah kini lebih mirip terminal ketimbang tempat kembali.
- Penyesalan sebagai hasil dari waktu yang kering. Dalam metafora “musim kering”, kita bisa membaca kondisi emosional atau spiritual yang tandus dan tidak subur lagi.
- Kematian sebagai pemicu keterasingan. Kematian bapak tampaknya menjadi titik balik di mana rumah kehilangan sentralitasnya sebagai tempat kehangatan keluarga.
Suasana dalam Puisi
Puisi ini bernuansa melankolis, dingin, dan sunyi, seakan-akan rumah itu bukan lagi tempat pulang yang hangat, tapi ruang kosong penuh gema kenangan. Tidak ada suara riang dalam rumah ini, hanya desahan pelan dari waktu dan perasaan ditinggalkan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
- Rumah bukan hanya soal tembok dan atap, tetapi juga kenangan dan relasi yang pernah hidup di dalamnya.
- Kematian atau kepergian orang-orang yang kita cintai mengubah makna rumah.
- Penyesalan bisa tumbuh jika kita tidak menyiram hubungan saat masih bisa.
- Warisan tak selalu berbentuk harta, tapi juga bisa berupa kesedihan yang kita warisi tanpa sadar.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji visual dan emosional, meskipun penyampaiannya sangat hemat:
- “Main sembunyi kubu” → membangkitkan memori masa kecil yang tak selesai, menciptakan imaji bermain dan ditinggal.
- “Jendela kamar / kecewa berpaling” → jendela sebagai simbol pandangan dan harapan, yang kini menolak melihat.
- “Kembang mawar latar / Sesal tanam musim kering” → imaji yang sangat puitik dan simbolik, menghadirkan suasana kering dan penuh penyesalan di ladang kenangan.
Majas
Puisi ini memanfaatkan berbagai majas yang memperdalam lapisan maknanya:
Personifikasi
- “Jendela kamar kecewa berpaling” → jendela digambarkan memiliki perasaan dan kehendak.
- “Sesal tanam musim kering” → penyesalan diperlakukan seperti tanaman yang tumbuh dari tanah kering emosional.
Metafora
- “Musim kering” sebagai metafora dari kondisi batin atau hubungan keluarga yang meranggas.
- “Burung-burung pergi” secara implisit bisa ditafsirkan melalui narasi “pintu pergi” dan “orang baru” sebagai simbol keterasingan di ruang yang dulunya akrab.
Elipsis
- Kalimat-kalimat yang pendek dan seperti “putus” memberi kesan penghilangan atau ketimpangan, yang sejalan dengan tema keterputusan keluarga.
Puisi “Rumah Warisan” karya Sugiarta Sriwibawa adalah elegi pendek yang kuat dan getir. Dalam baris-baris hemat, ia menyuarakan suara-suara yang tak terucap dalam rumah keluarga—perasaan ditinggalkan, keasingan, dan penyesalan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat nyaman justru hadir sebagai ruang yang membekaskan luka-luka kecil yang tak sembuh. Dengan gaya bahasa sederhana namun tajam, puisi ini mengajak kita merenungkan apa arti rumah sebenarnya—dan apa yang kita wariskan di dalamnya.