Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sampai Masa Tuaku (Karya Fridolin Ukur)

Puisi “Sampai Masa Tuaku” karya Fridolin Ukur bercerita tentang seorang tokoh lirik yang tengah merenungkan umurnya yang telah mencapai angka 69, ...
Sampai Masa Tuaku

Adalah hari ini
dua angka saling bercumbu
dalam satu lingkaran: 69
tanda perbatasan
sebelum menyandang usia
tujuh puluhan

        Di kedalaman batin,
        ada risau mengusik rasa
        mungkinkah aku sempat mengagumi
        mentari pagi di musim hujan
        senja menyala di musim kemarau?

                Masihkah aku sempat mendengar
                suara tekukur di semak belukar
                berlagu menyambut pagi?

Akan kesejukan yang sangat ramah
menyentuh hati yang resah
seperti kuntum bunga merekah
mengantar usia yang kian menua;
sebuah sumpah setia
sebuah janji menyayang:

        "Sampai masa tuamu
        Aku tetap Dia
        dan sampai putih rambutmu
        Aku menggendong kamu
        Aku telah melakukannya
        dan mau menanggung kamu terus;
        Aku mau memikul kamu
        dan menyelamatkan kamu."

Sumber: Wajah Cinta (2000)

Analisis Puisi:

Puisi “Sampai Masa Tuaku” karya Fridolin Ukur adalah refleksi kontemplatif seorang manusia yang menua, penuh permenungan tentang waktu, kefanaan, dan harapan akan penyertaan kasih Tuhan yang abadi. Dalam sajak ini, penyair menggambarkan momen transisi menuju usia senja bukan sekadar peristiwa biologis, tetapi pengalaman spiritual yang mendalam. Ia menyatukan kegelisahan batin dengan harapan akan kehadiran Ilahi, mengajak pembaca untuk menyelami makna hidup dan cinta yang tak lekang oleh waktu.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perjalanan usia menuju masa tua dan ketergantungan total kepada kasih Tuhan. Beberapa subtema yang mendukung meliputi:
  1. Ketakutan terhadap ketidakpastian di usia senja.
  2. Kecemasan akan kefanaan.
  3. Keinginan untuk tetap merasakan keindahan hidup.
  4. Penghiburan dalam janji penyertaan Tuhan.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh lirik yang tengah merenungkan umurnya yang telah mencapai angka 69, sebuah batas psikologis sebelum memasuki usia 70-an. Di usia ini, ia mempertanyakan apakah masih ada waktu untuk menikmati hal-hal kecil yang membahagiakan seperti mentari pagi, senja menyala, atau nyanyian tekukur di semak.

Namun di tengah kegelisahan itu, muncul sebuah suara penghiburan, yang menyatakan janji setia Tuhan: “Sampai masa tuamu, Aku tetap Dia… Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.”

Ini bukan hanya kisah pertambahan usia, tetapi kisah iman dan harapan. Penyair menunjukkan bahwa dalam segala keraguan manusia, selalu ada pegangan kokoh yang tak berubah.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini sangat mendalam dan sarat spiritualitas. Di antaranya:
  1. Penuaan adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan, namun bukan akhir dari segalanya. – Ada harapan untuk tetap melihat keindahan, meski usia bertambah.
  2. Keresahan manusia pada akhirnya harus ditanggungkan kepada yang Mahakuasa. – “Aku tetap Dia… Aku mau memikul kamu” menandakan kasih Tuhan yang konstan dan personal.
  3. Pikiran tentang masa tua kerap membawa kekhawatiran, tapi bisa ditenangkan oleh iman. – Dalam keheningan batin, penyair menemukan suara janji yang menenteramkan.

Suasana dalam Puisi

Puisi ini memiliki suasana yang:
  1. Hening dan kontemplatif → Pembaca seolah diajak duduk merenung bersama penyair.
  2. Melayang antara kegundahan dan penghiburan → Batin penyair yang semula gelisah karena usia, akhirnya merasa tenang setelah mendengar janji ilahi.
  3. Hangat dan penuh keintiman spiritual → Ucapan Tuhan di akhir puisi mengandung kehangatan, kedekatan, dan cinta tak bersyarat.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa amanat yang dapat ditarik dari puisi ini antara lain:
  1. Hidup harus terus disyukuri, bahkan di usia tua, karena masih banyak keindahan yang bisa dinikmati.
  2. Ketika fisik menua dan melemah, biarlah iman yang menguatkan.
  3. Kasih Tuhan bersifat abadi dan personal: Ia yang memulai, akan menanggung, memikul, dan menyelamatkan kita.
  4. Kecemasan manusia adalah hal wajar, tapi jangan lupa bahwa ada tempat untuk berlindung.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji-imaji lembut dan menyentuh, antara lain:
  1. “Mentari pagi di musim hujan” → Imaji keindahan yang jarang tapi sangat menyejukkan hati.
  2. “Senja menyala di musim kemarau” → Imaji tentang kecantikan hari yang menyala di tengah kekeringan, simbol kekuatan dan pengharapan.
  3. “Suara tekukur di semak belukar” → Imaji kealamian yang sederhana namun menenteramkan jiwa.
  4. “Kuntum bunga merekah” → Menyimbolkan kelahiran kembali, keindahan dalam masa tua, serta harapan baru.

Majas

Penyair menggunakan berbagai majas (gaya bahasa) untuk memperindah dan memperdalam makna puisi ini:
  • Personifikasi: “dua angka saling bercumbu” → Angka 6 dan 9 dipersonifikasikan seolah memiliki interaksi emosional, untuk menyampaikan rasa dekatnya usia tua.
  • Metafora: “mentari pagi di musim hujan” atau “senja menyala di musim kemarau” → Digunakan sebagai metafora dari keindahan hidup yang langka namun mungkin dirasakan jika diberi waktu.
  • Simile (perumpamaan): “seperti kuntum bunga merekah” → Mengibaratkan hati yang tenang dan penuh kasih sebagai bunga yang mekar di usia senja.
  • Repetisi: Ulangan frasa dalam bagian akhir: “Aku tetap Dia... Aku mau menanggung kamu terus... Aku mau memikul kamu...” → Penekanan pada kekekalan dan konsistensi kasih Tuhan.
Puisi “Sampai Masa Tuaku” karya Fridolin Ukur adalah puisi yang lirih namun penuh harapan. Ia merangkum kekhawatiran manusia akan penuaan, lalu menghadirkan penghiburan dari Tuhan yang selalu setia menyertai hingga akhir usia.

Melalui perpaduan imaji alam, refleksi batin, dan penguatan spiritual, puisi ini tidak hanya menjadi ungkapan pribadi seorang yang menua, tetapi juga bisa menjadi cermin dan pelipur bagi siapa pun yang merenungkan waktu hidupnya.

Di tengah dunia yang semakin cepat dan penuh kegelisahan, puisi ini mengajak kita semua untuk tenang, percaya, dan berserah—karena kasih yang memikul kita tak pernah berubah.

Fridolin Ukur
Puisi: Sampai Masa Tuaku
Karya: Fridolin Ukur

Biodata Fridolin Ukur:
  • Fridolin Ukur lahir di Tamiang Layang, Kalimantan Tengah, pada tanggal 5 April 1930.
  • Fridolin Ukur meninggal di Jakarta, pada tanggal 26 Juni 2003 (pada umur 73 tahun).
© Sepenuhnya. All rights reserved.