Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Selepas Senja (Karya Abdul Ghafar Ibrahim)

Puisi "Selepas Senja" karya Abdul Ghafar Ibrahim bercerita tentang seorang tokoh yang memimpin pekik kemerdekaan, menggalang semangat massa, dan ...

Selepas Senja

yang dia tahu waktu itu hanyalah memekik:
        merdeka
lantas memanjat cepat-cepat kapal udara
        mengadap
si rani kepala di seberang benua. kemudian
        memohon:
pohon merdeka

kami mahu merdeka, setuju kepala-kepala, dia
menyampaikannya. kalian mahu merdeka? pura-
        pura
bertanya si rani kepala. kami mahu merdeka

merdeka, merdekalah.

Merdeka
aaaaaaaaaa
dia memekikkannya dengan kepala tinju di udara.
kepala-kepala mengikutnya dengan kepala-kepala
tinju di udara.

kita sudah berjaya, katanya pula.
berjaya
berjaya, pekiknya. (aaa-gema dari kepala-kepala)
berjaya, pekiknya. (aaa-gema dari kepala-kepala)
berjaya, pekiknya. (aaa-gema dari kepala-kepala)
dia memekikkannya dengan kepala tindu di udara
kepala-kepala mengikutnya dengan kepala-kepala
tindu di udara.

kemudian kepala-kepala tidak mahu ambil tahu
tentang dirinya. lagi. Kepala-kepala sudah tahu
nilai merdeka. kepala-kepala sudah tahu nilai
berjaya. kata kepala-kepala kepada si dia:
        turun kau si agitator
        turun kau si diktator
        turun kau si-si-si
        turun-run-run-run
        (unnnn suruh gemuruh
        kepala-kepala)

dari utara meluru kata-kata, ditepisnya. dari timur
meluru kata-kata, ditepisnya. dari selatan meluru
kata-kata, ditepisnya. dari barat meluru kata-
kata, ditepisnya dia berlagak gladiator. dia
berlagak penyelamat. aku tak mahu turun, katanya.
aku tak mau turun, pekiknya, pantang aku undur
sebelum kalah, dia menambah.

kepala-kepala gemuruh menyuruh teguh:
        turun-run-run-run
        run-run-run
        ununun
nnn
nn
n
waktu itu baru selepas senja. dengan linangan air
        mata

dia terpaksa berkata: aku sedia turun (dalam hati
besarnya tak sedia)
        tepuk sorak
                tepuk sorak
                        tepuk & sorak
                                tepuk - sorak
                                        tepuk -- sorak
                                                tepuk + sorak
                allah-hu-akbar

Sumber: Horison (Desember, 1990)

Analisis Puisi:

Puisi "Selepas Senja" karya Abdul Ghafar Ibrahim adalah karya yang memadukan kekuatan narasi sejarah, ironi politik, dan simbolisme sosial. Melalui gaya penulisan yang repetitif, ritmis, dan penuh tekanan bunyi, penyair menghadirkan kisah yang tidak hanya berbicara tentang euforia kemerdekaan, tetapi juga tentang pergeseran makna merdeka ketika dihadapkan pada realitas kekuasaan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perjuangan, kemerdekaan, dan ironi kekuasaan. Penyair membentangkan gambaran bagaimana semangat revolusi yang awalnya murni berubah menjadi permainan politik, di mana pemimpin yang dulu dielu-elukan kemudian ditolak oleh rakyatnya sendiri. Ada kritik tajam terhadap perubahan sikap massa dan bagaimana kekuasaan dapat mengubah persepsi terhadap seorang tokoh.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh yang memimpin pekik kemerdekaan, menggalang semangat massa, dan mengangkat simbol kebebasan bersama rakyatnya. Pada awalnya, ia dielu-elukan sebagai pahlawan — agitator yang menyuarakan kemerdekaan dengan penuh keberanian. Namun, setelah kemerdekaan tercapai, rakyat (disebut "kepala-kepala" dalam puisi) mulai melihatnya berbeda. Mereka menuduhnya sebagai diktator dan mendesaknya untuk turun dari kekuasaan.

Narasi ini mencerminkan siklus umum dalam sejarah: pemimpin revolusi yang diangkat menjadi simbol harapan, tetapi kemudian digulingkan ketika dianggap mengkhianati atau menyimpang dari cita-cita awal.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap dinamika kekuasaan dan ingatan kolektif masyarakat. Penyair ingin menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan tidak berhenti pada pekik "merdeka", melainkan harus diikuti dengan pemeliharaan nilai-nilai tersebut. Ada ironi di sini: rakyat yang dulu bersatu di bawah satu seruan, kini bersatu pula untuk menjatuhkan tokoh yang mereka angkat.

Makna lain yang dapat ditangkap adalah sindiran terhadap sifat manusia yang mudah berubah — dari pengikut setia menjadi penentang, dari penyokong hingga penuduh. Penyair juga menyinggung bagaimana kemerdekaan dapat direduksi menjadi sekadar slogan ketika nilai-nilainya tidak dijaga.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini berubah secara dinamis. Pada awalnya, suasana penuh semangat dan heroik, ditandai dengan pekikan "Merdeka" dan "Berjaya" yang bergema berulang-ulang. Namun, suasana kemudian bergeser menjadi tegang dan konfrontatif saat rakyat mulai menuntut pemimpin tersebut untuk turun. Di bagian akhir, nuansa berubah lagi menjadi pilu dan penuh kepasrahan, ketika tokoh itu akhirnya berkata ia sedia turun, meskipun hatinya sebenarnya belum rela.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat dipetik dari puisi ini adalah bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya soal membebaskan diri dari penjajah, tetapi juga menjaga agar kekuasaan tidak menjadi penindas baru. Pemimpin harus tetap berpihak pada rakyat, sementara rakyat harus kritis dan tidak terjebak pada kultus individu.

Puisi ini juga mengingatkan bahwa euforia kemenangan harus diikuti dengan kesadaran politik dan moral yang matang, agar cita-cita perjuangan tidak dikhianati oleh pihak mana pun.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji bunyi dan imaji visual. Imaji bunyi hadir melalui pengulangan kata-kata seperti "merdeka", "berjaya", "tepuk sorak", dan tiruan gema "run-run-run", yang membangun atmosfer massa dan orasi. Imaji visual muncul pada gambaran "kepala tinju di udara", "linangan air mata selepas senja", dan tokoh yang "memanjat kapal udara". Semua ini menghadirkan adegan yang mudah divisualisasikan pembaca.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Repetisi: Pengulangan kata "merdeka", "berjaya", dan "run-run-run" untuk menegaskan suasana euforia sekaligus tekanan massa.
  • Metafora: "Kepala-kepala" sebagai simbol rakyat atau massa, "si agitator" dan "si diktator" sebagai label yang diberikan rakyat kepada tokoh utama.
  • Onomatope: Bunyi-bunyi tiruan seperti "aaa" atau "run-run-run" untuk menciptakan efek bunyi orasi dan sorakan.
  • Hiperbola: Gambaran tokoh yang "berlagak gladiator" dan "penyelamat", yang melebih-lebihkan sikap heroik sang tokoh.
Puisi "Selepas Senja" tidak hanya menjadi catatan sastra, tetapi juga sebuah refleksi sosial-politik. Abdul Ghafar Ibrahim menyusunnya dengan kekuatan ritme dan pengulangan yang mencerminkan siklus euforia dan kekecewaan dalam sejarah. Melalui bahasa yang lugas namun penuh simbol, pembaca diajak memahami bahwa merdeka bukan hanya peristiwa, melainkan tanggung jawab yang terus hidup dalam kehidupan berbangsa.

Abdul Ghafar Ibrahim
Puisi: Selepas Senja
Karya: Abdul Ghafar Ibrahim

  • Abdul Ghafar Ibrahim lahir pada tanggal 31 Agustus 1943 di Kampung Sesapan Batu Minangkabau, Beranang, Selangor, Malaysia.
  • Disamping menulis puisi, Abdul Ghafar Ibrahim juga melukis.
© Sepenuhnya. All rights reserved.