Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Sesudah Pesta (Karya I Nyoman Wirata)

Puisi "Sesudah Pesta" mengangkat tema refleksi batin dan pertarungan diri seorang penyair setelah melalui pengalaman sosial atau pertunjukan yang ...
Sesudah Pesta

Sesudah pesta "mengunyah geram"
Aku memungut mata dari sajak-sajak yang dibaca
Sebuah kata berteriak
Menyeruak dari tubuhku
Malamnya 
Aku tak bisa tidur
Sebab mengunyah jantungku
Mengadili sajak-sajakku

Setelah pesta
Aku bersungut bimbang sebab
Kata selalu akan pulang
Seperti bumerang

Setiap kata yang gagal menjadi kalimat
Akan mengejar kemana pun pergi
Memenjarakan 
Mengadili
Bahkan
Menjadi belati
Dan mengutuk kedunguanku

Sesudah selesai pertunjukan 
Tubuhku jadi panggung sepi
Sebelumnya belantara riuh binatang liar
Dan fatamorgana

Aku memungut sumpah serapah 
Ketika seorang bisu
Dan yang lainnya menyanyi
Di panggung pertunjukan
Ketika seorang aktor kawakan diadili

Sejak itu aku ingin melupakan seluruh kejadian
Tapi tak mungkin
Sebab di kepalaku meraung jutaan kata
Mengadiliku
Yang memilih bungkam

Di hari ini
Aku memungut buah 
Dari sisa pesta kelelawar
Pesta para pencuri
Seekor di antaranya kutemui diriku
Dan akupun terbang 
Dari satu pohon ke pohon lain
Dan suatu ketika 
Tentu
Aku menikmati buah karma 
Yang kelak matang di tubuhku

Dan tahulah kalian 
Sekumpulan kelelawar mudah nian
Menjadi sekumpulan pencuri
Dan membuat pesta di kebun yang subur.

19/12/2017

Analisis Puisi:

Puisi "Sesudah Pesta" mengangkat tema refleksi batin dan pertarungan diri seorang penyair setelah melalui pengalaman sosial atau pertunjukan yang penuh hiruk-pikuk. Di balik gemerlap pesta, terdapat rasa gelisah, introspeksi, dan kesadaran akan konsekuensi dari kata-kata yang diucapkan atau ditulis.

Puisi ini bercerita tentang perasaan seorang penyair setelah menghadiri pesta atau pertunjukan yang sarat dinamika sosial. Seusai pesta, ia merenungkan kata-kata yang pernah terucap, sajak-sajak yang dibacakan, dan dampaknya terhadap diri sendiri maupun orang lain. Kata-kata diibaratkan seperti bumerang: jika tidak digunakan dengan bijak, ia akan kembali dan melukai pemiliknya. Dalam perjalanan reflektif itu, penyair menemukan bahwa dirinya pun bagian dari lingkaran kesalahan dan “pesta para pencuri”, yang pada akhirnya akan menuai buah karma.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah pesan moral bahwa setiap kata yang diucapkan atau dituliskan memiliki konsekuensi. Kata-kata yang tajam dapat menjadi senjata yang melukai orang lain maupun diri sendiri. Selain itu, ada kritik sosial terhadap perilaku manusia yang memanfaatkan kesempatan untuk mengambil keuntungan dari situasi, diibaratkan sebagai “pesta kelelawar” atau “pesta para pencuri”. Penyair juga mengakui keterlibatannya dalam pusaran kesalahan tersebut, sehingga menyiratkan kejujuran dan kesadaran diri.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa mencekam, gelisah, dan penuh introspeksi. Ada nuansa tegang yang muncul dari metafora “mengunyah geram”, “mengadili sajak-sajakku”, hingga “buah karma”. Meski awalnya menggambarkan suasana pesta yang ramai, nada puisi berubah menjadi hening namun berat, seperti beban batin yang menekan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Puisi ini menyampaikan amanat bahwa kata-kata harus digunakan dengan bijak karena memiliki kekuatan untuk membangun maupun menghancurkan. Ia mengingatkan pembaca bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, akan membawa konsekuensi—baik itu berupa pujian atau karma. Selain itu, puisi ini mengajak kita untuk melakukan refleksi diri, mengakui kesalahan, dan memahami bahwa kita pun mungkin bagian dari masalah yang kita kritik.

Imaji

Imaji dalam puisi ini kuat dan memadukan unsur visual, perasaan, dan suasana. Contoh imaji yang muncul:
  • Visual: “pesta kelelawar”, “pesta para pencuri”, “terbang dari satu pohon ke pohon lain”.
  • Perasaan: “mengunyah geram”, “tak bisa tidur”, “mengadili sajak-sajakku”.
  • Suasana: “tubuhku jadi panggung sepi”, “belantara riuh binatang liar”.
Imaji tersebut membangun kontras antara keriuhan pesta dan kesunyian setelahnya, menciptakan efek dramatik yang kuat.

Majas

Beberapa majas yang digunakan antara lain:

Metafora:
  • “Kata selalu akan pulang seperti bumerang” – kata diibaratkan benda yang kembali melukai.
  • “Tubuhku jadi panggung sepi” – tubuh sebagai simbol ruang batin yang kosong.
  • “Pesta kelelawar” – metafora untuk perilaku gelap atau curang.
Personifikasi:
  • “Sebuah kata berteriak” – memberi sifat manusia pada kata.
  • “Jutaan kata mengadiliku” – kata dipersonifikasikan sebagai hakim.
Hiperbola:
  • “Jutaan kata” – untuk memperkuat gambaran beban pikiran yang berlebihan.
Simile:
  • “Kata selalu akan pulang seperti bumerang” – perbandingan langsung menggunakan kata “seperti”.
Puisi "Sesudah Pesta" adalah puisi yang menyelami refleksi seorang penyair tentang kekuatan kata-kata dan konsekuensinya. Dengan penggunaan imaji yang tajam dan majas yang kuat, I Nyoman Wirata menghadirkan suasana batin yang gelisah sekaligus penuh kesadaran moral. Puisi ini menjadi pengingat bahwa setiap kata adalah tanggung jawab, dan pesta dunia kadang menyisakan sepi yang mengadili.

I Nyoman Wirata
Puisi: Sesudah Pesta
Karya: I Nyoman Wirata
© Sepenuhnya. All rights reserved.