Sisa Cium di Alun-Alun
Suatu masa, angin kesiur di buritan, geladak sesak
Di amis laut, aku menitip kemelut, saat aroma kapal
Jokotole dan nafas nelayan tak mampu mengusik
Perjalanan peradaban, masa lalu ke masa depan
Perahu ikan berbaris-baris menanti jantung gerimis
Jalanan panjang membelah pulau, menuju ujung
Sumenep, tempat leluhur menyimpan jejak hingga
tedas waktu pada takdir bergulir
Karapan, lebaran ketupat membius luka batin
Isak membasah, beban rindu tak pernah usai
Ingatan sisa cium di alun-alun, kerap melambai
Kini puisi menyelusuri jalan kembali ke kotaku
Aroma kapal dan amis nelayan pudar
Kenangan lantak oleh Suramadu, aspal yang kekar
Ingatan pingsan di kepala
Sepasang pecut melecut kabut di mataku
2014
Sumber: Sisa Cium di Alun-Alun (2016)
Analisis Puisi:
Puisi "Sisa Cium di Alun-Alun" karya Weni Suryandari mempersembahkan narasi yang menghadirkan aroma masa lalu, perjalanan, dan kerinduan terhadap tempat-tempat yang memiliki makna emosional.
Perjalanan dan Nostalgia: Puisi membawa pembaca dalam perjalanan yang melibatkan aroma kapal, buritan, dan kegiatan nelayan. Ada nuansa nostalgia yang kuat, menyoroti perjalanan zaman dari masa lalu ke masa depan.
Jejak Peradaban dan Leluhur: Merujuk pada Sumenep, puisi menyentuh jejak peradaban dan leluhur yang disimpan di ujung kota. Ini menambah dimensi sejarah dan warisan budaya dalam puisi.
Karapan dan Tradisi Lokal: Puisi mengaitkan perasaan beban rindu dengan peristiwa lokal, seperti tradisi lebaran ketupat dan perayaan karapan. Ini memberikan kedalaman pada pengalaman puitis.
Rindu dan Isak Batin: Sentuhan emosional dalam puisi tercermin melalui rindu yang tak pernah usai dan isak batin. Penggunaan kata-kata ini menciptakan suasana hati yang penuh kepedihan.
Sisa Cium di Alun-Alun: Metafora "sisa cium di alun-alun" menjadi simbol kehadiran romansa yang terdahulu. Alun-alun sebagai ruang publik, menjadi saksi bisu bagi kenangan yang lekat di hati penyair.
Suramadu dan Pemisahan: Suramadu dan aspal yang kekar melambangkan pemisahan atau perubahan. Puisi menciptakan pergeseran dari kenangan indah ke realitas yang mungkin sulit atau berbeda.
Percikan Emosi dan Kabut di Mata: Puisi ditutup dengan gambaran pecutan emosi dan kabut di mata, menggambarkan intensitas perasaan yang menghantui dan mengaburkan visi.
Puisi "Sisa Cium di Alun-Alun" adalah persembahan puisi yang menggabungkan elemen-elemen alam, sejarah, dan emosi personal. Weni Suryandari menciptakan kanvas puitis yang memperkenalkan pembaca pada perjalanan melalui ruang dan waktu, sambil mempertahankan kekuatan kenangan yang terukir dalam alam dan jiwa penyair.
Karya: Weni Suryandari
Biodata Weni Suryandari:
- Weni Suryandari lahir pada tanggal 4 Februari 1966 di Surabaya, Indonesia.
