Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Suluk Nyiur Melambai (Karya Aprinus Salam)

Puisi "Suluk Nyiur Melambai" karya Aprinus Salam bercerita tentang tokoh liris yang merenungi keberadaan dirinya dalam relasi dengan pohon, nyiur, ...
Suluk Nyiur Melambai

Pohon-pohon lahir karena air, bersama daun
berguguran ke tanah, dipoles matahari. Di mataku,
pohon bertelur, bersama ranting-ranting

Tak ada lambai yang mengemas diriku
Pucuk-pucuk tumbuh begitu saja. Menggapai awan
riang berlari karena hasrat yang tertahan
hingga bulan menghampiri, siluet pun terbayang

Tak ada yang memintaku menjadi lancip
menyuruh menjadi akar, pohon-pohon hadir
mengasah hari dari kesunyian dan desau angin

Di kejauhan, di kedekatan, akulah nyiur itu. Suara
melodi, mengetuk detak jantung dan langkah kaki.
Menjadi tubuhmu, dalam lambaimu.

Analisis Puisi:

Puisi "Suluk Nyiur Melambai" karya Aprinus Salam adalah sebuah meditatif lirikal yang menyerap keheningan dan keharmonisan alam untuk menyampaikan renungan eksistensial manusia. Seperti dalam tradisi suluk—sebuah bentuk pencarian spiritual dalam Islam tasawuf—puisi ini mengalir pelan, penuh kontemplasi, dan dibingkai oleh simbol-simbol alam seperti pohon, nyiur, ranting, angin, dan bulan. Melalui bahasa puitik yang subtil, puisi ini menggambarkan perjalanan batin dan keterhubungan manusia dengan alam semesta.

Tema

Puisi ini mengangkat tema tentang pencarian jati diri dan keterhubungan antara manusia dan alam. Ada juga tema lain yang bisa ditafsirkan, yakni hasrat tersembunyi dan kerinduan untuk menjadi bagian dari semesta tanpa dipaksa menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Kata “suluk” pada judul merujuk pada pencarian spiritual, sebuah perjalanan sunyi menuju makna yang lebih dalam tentang eksistensi.

Puisi ini bercerita tentang tokoh liris yang merenungi keberadaan dirinya dalam relasi dengan pohon, nyiur, dan fenomena alam lainnya. Ia menggambarkan dirinya sebagai bagian dari nyiur yang melambai, namun tidak ditentukan oleh kehendak luar. Pohon-pohon lahir tanpa diminta, pucuk-pucuk tumbuh tanpa arahan, dan semuanya seolah bergerak karena dorongan alamiah—bukan paksaan.

Dalam konteks itu, "aku lirik" merasakan dirinya sebagai bagian dari harmoni alam, tak perlu menjadi akar atau lancip karena perintah siapa pun. Namun, dalam diam dan melodi yang tersembunyi, ia tetap hadir—sebagai getar, sebagai suara, sebagai nyiur yang melambai dari kejauhan maupun dari kedekatan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah penolakan terhadap penyeragaman dan keharusan sosial, sekaligus pengakuan akan kekuatan alami dalam pertumbuhan dan eksistensi. Frasa seperti “tak ada yang memintaku menjadi lancip / menyuruh menjadi akar” menolak determinasi eksternal dan menyiratkan bahwa setiap entitas tumbuh menurut kodratnya sendiri.

Ada pula makna spiritual bahwa dalam kesendirian, dalam suara sunyi nyiur, kita bisa merasakan denyut semesta dan menjadi bagian dari irama kehidupan yang lebih besar. “Menjadi tubuhmu, dalam lambaimu” dapat dimaknai sebagai bentuk penyatuan antara aku dan kekasih, atau lebih luas, antara manusia dan alam.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini kontemplatif, sunyi, dan intim. Tidak ada ledakan emosi, tidak pula suara keras. Yang ada adalah bisikan daun, desau angin, siluet bulan, dan getaran halus yang terasa lebih spiritual daripada fisikal. Suasana seperti ini mengajak pembaca untuk masuk dalam renungan yang tenang, jauh dari hiruk pikuk dunia luar.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah:
  • Setiap makhluk memiliki jalan tumbuhnya sendiri, dan kita tidak harus tunduk pada tuntutan bentuk atau fungsi dari luar.
Puisi ini juga memberi pesan tentang menghargai sunyi, memeluk kesendirian, dan menyadari bahwa dalam keheningan pun, kita bisa menjadi suara yang berarti—seperti nyiur yang melambai namun mengetuk langkah kaki dan detak jantung.

Imaji

Puisi ini sarat dengan imaji alam yang menyatu dengan batin:
  • "Pohon bertelur, bersama ranting-ranting": menghadirkan gambaran metaforis yang aneh tapi menggugah, seolah pohon adalah makhluk hidup yang terus melahirkan kehidupan.
  • "Pucuk-pucuk tumbuh begitu saja. Menggapai awan": imaji pertumbuhan yang bebas, indah, dan alami.
  • "Bulan menghampiri, siluet pun terbayang": citraan visual yang lembut dan romantik, menciptakan perasaan malam yang syahdu.
  • "Suara melodi, mengetuk detak jantung dan langkah kaki": gabungan imaji pendengaran dan perasaan, menyampaikan bagaimana alam berkomunikasi secara emosional.

Majas

Berbagai majas puitik menghiasi puisi ini, memperkuat nuansa spiritual dan simboliknya:

Metafora:
  • "Pohon bertelur" dan "aku nyiur itu" adalah metafora eksistensial—mengidentifikasi diri sebagai bagian dari siklus alami dan makna yang tak harfiah.
  • "Menjadi tubuhmu, dalam lambaimu” adalah metafora puncak penyatuan antara “aku” dan kekasih, atau manusia dan semesta.
Personifikasi:
  • "Bulan menghampiri, siluet pun terbayang” memberi bulan peran seperti makhluk hidup yang menyapa dan menciptakan bayangan.
  • "Pohon-pohon hadir mengasah hari” menggambarkan pohon sebagai entitas yang aktif membentuk waktu dan kehidupan.
Repetisi:
  • Kalimat “tak ada” diulang untuk menekankan penolakan atas konstruksi eksternal yang mengekang pertumbuhan alami diri.
Simile dan irama lembut:
  • Meskipun tidak eksplisit menggunakan simile (seperti, bagai), irama puitik dan paralelisme larik-lariknya menciptakan suasana serupa suluk atau dzikir sunyi—meditatif, perlahan, dan berulang.
Puisi "Suluk Nyiur Melambai" karya Aprinus Salam adalah sebuah renungan eksistensial dan spiritual tentang tumbuh, menjadi, dan menyatu. Dalam nyiur yang melambai, dalam pucuk yang tumbuh tanpa komando, dan dalam suara yang mengetuk hati tanpa memaksa, penyair menghadirkan narasi kehadiran yang lembut tapi bermakna.

Puisi ini mengajak kita untuk mendengar suara sunyi dunia—suara yang tumbuh dalam kesendirian dan keikhlasan. Ia menjadi pelajaran bahwa tidak semua yang kuat itu bersuara keras; kadang yang paling dalam adalah yang melambai dengan angin dan bergetar di dada pembaca.

Aprinus Salam
Puisi: Suluk Nyiur Melambai
Karya: Aprinus Salam
© Sepenuhnya. All rights reserved.