Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Suluk Sibuta-Bisu (Karya Aprinus Salam)

Puisi "Suluk Sibuta-Bisu" karya Aprinus Salam bercerita tentang pengalaman transendental seorang aku lirik yang, dalam keterbatasan fisiknya (tidak ..
Suluk Sibuta-Bisu

saat kau padamkan suaraku
aku hanya menyebut namamu

saat aku tak mendengar
aku mendengar suaramu

saat kau tutup mataku
aku melihatmu

ketika padam suaraku
ketika aku tak mendengar
ketika kau tutup mataku
aku menjadi dirimu.

Analisis Puisi:

Puisi berjudul "Suluk Sibuta-Bisu" karya Aprinus Salam menyuguhkan perenungan eksistensial yang halus dan dalam. Dengan diksi yang ringkas, repetitif, dan sarat makna, puisi ini mengajak pembaca merenungi makna kehadiran, identitas, dan relasi manusia dengan sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya—entah itu Tuhan, kekasih, atau kebenaran itu sendiri.

Tema

Puisi ini mengangkat tema tentang perjalanan spiritual dan peleburan identitas. Istilah suluk sendiri dalam tradisi sufistik merujuk pada perjalanan ruhani menuju Tuhan, sedangkan kata sibuta-bisu menunjukkan kondisi keterbatasan inderawi: tidak melihat, tidak mendengar, tidak bicara. Maka, puisi ini berbicara tentang pencarian hakikat yang justru dimungkinkan ketika manusia melampaui batas-batas indrawi.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman transendental seorang aku lirik yang, dalam keterbatasan fisiknya (tidak bisa bicara, tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat), justru mengalami kedekatan dan peleburan dengan sosok "kau". “Kau” dalam puisi ini bisa ditafsirkan sebagai Tuhan, sebagai sumber kebenaran, atau sebagai sesuatu yang mutlak. Melalui pemadaman fungsi-fungsi lahiriah, “aku” justru memasuki kedalaman makna dan relasi spiritual.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa keterbatasan lahiriah tidak menghalangi, bahkan bisa menjadi jalan masuk menuju penyatuan dengan yang ilahi atau yang esensial. Dalam diam, ada pengucapan terdalam. Dalam ketidakmampuan melihat, ada penglihatan batin. Dalam tuli, justru terdengar suara hakikat. Puisi ini menyiratkan bahwa pengalaman spiritual bukan terletak pada kemampuan fisik, melainkan pada keheningan, penerimaan, dan keikhlasan untuk melebur dalam yang lain.

Tiga bait pertama menunjukkan paradoks-paradoks spiritual, sedangkan bait terakhir menjadi klimaks: saat semua indera dimatikan, “aku menjadi dirimu”. Sebuah bentuk penyatuan total atau fana dalam konteks tasawuf.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah hening, kontemplatif, dan mistis. Setiap larik menyiratkan ketenangan yang dalam, seperti seseorang yang berada dalam ruang meditasi atau zikir, dalam keheningan yang justru penuh makna. Kesunyian bukan kekosongan, tetapi kedalaman. Puisi ini seperti gema dari ruang batin yang terhubung dengan semesta atau entitas yang lebih tinggi.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa:
  • Manusia bisa menemukan makna terdalam ketika ia melepaskan ketergantungan pada penglihatan, pendengaran, dan suara lahiriah. Dalam keterbatasan, ada kemungkinan untuk mencapai pencerahan dan penyatuan dengan yang ilahi.
Puisi ini mengajarkan keikhlasan dalam kehilangan, dan mengarahkan kita pada pemahaman bahwa kebenaran sejati bukan ditemukan melalui logika dan indera, melainkan lewat kesadaran batin dan penyerahan diri.

Imaji

Puisi ini meskipun singkat, sarat dengan imaji paradoksal dan spiritual:
  • Imaji pendengaran: “saat aku tak mendengar / aku mendengar suaramu” → paradoks ini menciptakan kesan bahwa suara yang paling dalam justru terdengar dalam keheningan.
  • Imaji penglihatan: “saat kau tutup mataku / aku melihatmu” → ini menciptakan imaji penglihatan batin, melihat bukan dengan mata jasmani, tetapi dengan hati atau ruh.
  • Imaji penyatuan: “aku menjadi dirimu” → ini bukan sekadar visual, melainkan imaji transendental yang menggambarkan peleburan eksistensial.

Majas

Puisi ini kaya akan majas paradoks, yaitu pernyataan yang tampaknya kontradiktif tetapi justru mengandung kebenaran yang dalam. Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini:

Paradoks:
  • "saat aku tak mendengar / aku mendengar suaramu"
  • "saat kau tutup mataku / aku melihatmu"
  • "saat kau padamkan suaraku / aku hanya menyebut namamu"
Tiga baris ini membangun nuansa spiritual dengan menekankan bahwa pengalaman hakiki terjadi justru di luar logika indrawi.

Repetisi:
  • Pengulangan struktur kalimat “saat…” dan “ketika…” memberi ritme yang khas, menegaskan perjalanan bertahap dari pemadaman fungsi hingga peleburan diri.
Metafora spiritual:
  • "aku menjadi dirimu" merupakan metafora peleburan identitas, mirip dengan konsep fana’ dalam sufisme, yaitu lenyapnya diri dalam Tuhan.
Puisi "Suluk Sibuta-Bisu" karya Aprinus Salam adalah puisi pendek yang padat makna. Ia menyelami kedalaman spiritual manusia, menggambarkan bagaimana kesunyian, kebisuan, dan kebutaan dapat menjadi pintu masuk ke pengalaman yang melampaui indra. Dalam keterbatasan, ada kemungkinan peleburan. Dalam diam, ada gema ilahi. Dalam “aku”, ada “kau”.

Dengan kesederhanaan bentuk namun kedalaman makna, puisi ini mengingatkan kita bahwa hakikat tidak selalu terletak pada yang tampak atau terdengar, tetapi seringkali ditemukan dalam keheningan, kehilangan, dan keikhlasan. Sebuah suluk yang bukan hanya untuk si buta dan bisu, tetapi untuk siapa pun yang ingin memahami dirinya dan semesta lebih dalam.

Aprinus Salam
Puisi: Suluk Sibuta-Bisu
Karya: Aprinus Salam
© Sepenuhnya. All rights reserved.