Analisis Puisi:
Puisi "Surat Malam" karya Gunoto Saparie merupakan potret perenungan sunyi yang menyelami lorong waktu antara kata-kata, doa, dan kerinduan. Dalam bait-baitnya, penyair menggambarkan suasana malam sebagai ruang kontemplasi yang melahirkan surat-surat tak terkirim, kata-kata yang mengambang dalam kabut kelabu, serta bayangan misterius yang hadir di sela-sela rindu.
Tema
Tema puisi ini adalah kesunyian dan kerinduan yang terselubung. Penyair menampilkan bagaimana seseorang berulang kali mencoba mengekspresikan perasaannya melalui surat atau tulisan di tengah malam, namun selalu terhenti di antara kata-kata yang tak pernah sampai.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang larut dalam proses menulis di tengah malam. Ia menorehkan kata-kata, menyulam rindu, namun apa yang ia tulis tak pernah terkirim. Malam menjadi saksi dari kabut kelabu pikiran dan perasaan, seolah tulisan itu hanyalah bentuk komunikasi dengan dirinya sendiri atau dengan sosok yang jauh—mungkin nyata, mungkin hanya bayangan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah gambaran keterbatasan manusia dalam menyampaikan isi hati yang terdalam. Ada hal-hal yang hanya bisa diendapkan dalam diam, bukan diucapkan atau dikirimkan. Surat-surat yang tak terkirim menjadi metafora dari perasaan yang terpendam atau cinta yang tak terungkap, sedangkan “kabut kelabu” melambangkan ketidakjelasan perasaan dan nasib hubungan itu sendiri.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang terasa adalah hening, sendu, dan misterius. Malam dalam puisi ini bukan sekadar waktu, melainkan ruang batin yang penuh dengan kerinduan samar dan pertanyaan tanpa jawaban.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang dapat diambil adalah bahwa tidak semua perasaan harus terucap atau sampai kepada orang yang dituju. Ada kalanya kita hanya perlu menuliskannya untuk diri sendiri, sebagai cara untuk berdamai dengan kerinduan, ketidakpastian, atau kehilangan.
Imaji
Puisi ini menyajikan imaji visual dan suasana yang kuat, seperti “menyurat di tengah malam”, “kabut kelabu”, dan “bayangan melintas di lorong waktu”. Pembaca dapat membayangkan seseorang duduk di meja kerja, menulis di bawah cahaya lampu temaram, dikelilingi kabut tipis perasaan yang samar-samar.
Majas
Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
- Majas metafora: “kabut kelabu” sebagai perwujudan suasana hati yang suram dan tidak pasti.
- Majas personifikasi: “bayangan… melintas di lorong waktu” memberikan sifat gerak manusia pada bayangan, sehingga menimbulkan kesan hidup.
- Majas repetisi: Pengulangan frasa “kau pun selalu” memperkuat kesan rutinitas dan kebiasaan yang penuh makna.
Karya: Gunoto Saparie
BIODATA GUNOTO SAPARIE
Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.
Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, dan kolom, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019). Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004). Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain. Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta).
Saat ini ia menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.
Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
