Tak Setara
Bapak dia mau dia sama yang lebih sempurna
Sedangkan saya jauh dari kesempurnaan
Saya cacat, dan berasa hina
Dan memang demikian kenyataannya
Ingin kusesali kecacatan ini namun tak bisa
Ingin kulupakan cinta ini
Namun senyumanmu masih terukir dengan dalam di hati
Analisis Puisi:
Puisi "Tak Setara" karya Roman Adiwijaya menghadirkan potret perasaan cinta yang terhalang oleh ketidakpercayaan diri. Melalui bahasa yang lugas dan emosional, penyair menyampaikan pergulatan batin seseorang yang merasa dirinya tidak pantas mencintai karena kekurangan fisik dan beban psikologis yang menyertainya.
Tema
Tema utama puisi ini adalah cinta yang terhalang oleh rasa rendah diri akibat kekurangan fisik. Tema ini juga bersinggungan dengan isu penerimaan diri, harga diri, dan ketidaksetaraan yang dirasakan oleh tokoh lirik dalam hubungan asmara.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh lirik yang mencintai seseorang, tetapi merasa cinta itu tidak mungkin terbalas. Alasannya adalah karena ia memiliki cacat fisik dan memandang dirinya hina dibandingkan orang lain yang dianggap “lebih sempurna” oleh pihak keluarga sang pujaan hati. Meski berusaha menyesali atau melupakan perasaan itu, ia tetap terikat oleh kenangan manis—terutama senyuman orang yang ia cintai—yang membekas dalam hatinya.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa rasa cinta tidak selalu sejalan dengan kenyataan atau penerimaan sosial. Puisi ini juga menyiratkan kritik terhadap pandangan masyarakat yang kerap mengukur kelayakan seseorang dalam hubungan berdasarkan kesempurnaan fisik, bukan ketulusan hati. Selain itu, ada pesan bahwa luka batin dan trauma karena penolakan sulit dihapus meskipun seseorang berusaha melupakannya.
Suasana dalam puisi
Suasana puisi ini dipenuhi rasa sedih, getir, dan pasrah. Ada kesan bahwa tokoh lirik tidak hanya berduka karena cintanya tak terbalas, tetapi juga karena ia terjebak dalam perasaan hina diri yang membuatnya sulit bangkit.
Amanat / Pesan yang disampaikan puisi
Amanat yang dapat diambil adalah bahwa cinta seharusnya tidak diukur dari kesempurnaan fisik. Selain itu, penting untuk menerima dan menghargai diri sendiri meskipun memiliki kekurangan, karena harga diri bukan semata-mata ditentukan oleh penilaian orang lain.
Imaji
Puisi ini memunculkan imaji visual yang kuat, seperti “senyumanmu masih terukir dengan dalam di hati” yang menggambarkan betapa kenangan akan senyum sang pujaan hati membekas dalam batin tokoh lirik. Ada pula imaji emosional yang mengajak pembaca merasakan rasa hina diri dan ketidakberdayaan yang dialami tokoh.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Hiperbola – “Senyumanmu masih terukir dengan dalam di hati” melebih-lebihkan betapa kuatnya kenangan itu melekat.
- Metafora – “Terukir di hati” menjadi simbol dari kenangan yang tidak akan hilang.
- Litotes – “Saya jauh dari kesempurnaan” sebagai ungkapan merendahkan diri secara berlebihan untuk menunjukkan ketidakyakinan diri.