Taufan
Kepada Ilya Ehrenburg
Dan aku tenggelam dalam taufanmu
taufan yang menderu di perang lalu
taufan yang merobohkan segala.
Aku bersama Pepe di malam itu
malamkasih intan kenangan
aku bersama mereka di Stalingard
alangkah dingin salju di Wolga
detik fajar menembus muram mesiu
dan mayat yang gelimpangan saksi bisu
von Paulus bersimpuh renyah.
Aku adalah dendam yang mengempedu
pahit menanar di dalam darah
ke Berlin! Ke goa Nazi!
kita maju mulut mengunci
sekeliling rumah abu, kekasih mati
sumpah Pepe putera Perancis:
kali ini hati tidak kenal ampun
Ukrania, Polandia, Lemberg, Auschwitz
tengkorak menghiasi fasis lari
mulut makin mengunci: Jerman!
Hitler! Engkau bikin kita gila
pemburu haus darah kasta Aria
kali ini kasih sudah kiamat.
Dan aku disamping putera Wolga
partisan Cheko dan Yugo
ah, mengapa bayonet ini lumpuh
dan peluru tak mengobral maut
mengapa mata sayu ibu Saksen
pandangharu anak berlin itu
memusnahkan empedu dendam .......
Ilya, aku bangkit dari taufanmu
taufan yang melahirkan kasih baru
taufan yang menegakkan Dunia Satu.
Sumber: Majalah Budaya (April, 1957)
Analisis Puisi:
Puisi "Taufan" karya Adi Sidharta merupakan karya yang sarat dengan narasi sejarah, emosi peperangan, serta harapan akan masa depan yang lebih baik. Puisi ini mengisahkan pengalaman pahit dan getir selama masa Perang Dunia II, serta menggambarkan kemarahan dan dendam yang membara, namun pada akhirnya juga membawa pesan tentang kebangkitan dan harapan akan dunia yang bersatu.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah perang dan perjuangan, dendam terhadap penindasan, serta kebangkitan harapan baru untuk dunia yang lebih baik. Puisi ini menggambarkan pergulatan batin para pejuang yang terlibat dalam perang, serta bagaimana pengalaman pahit tersebut membentuk tekad untuk melawan kezaliman.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman dan perasaan para pejuang di tengah peperangan hebat, khususnya menggambarkan suasana Perang Dunia II di Eropa Timur—mulai dari Stalingrad, Wolga, hingga Auschwitz—dan perjuangan melawan rezim Nazi yang kejam. Penyebutan tokoh dan tempat historis seperti Pepe (putera Perancis), von Paulus, dan lokasi seperti Lemberg, Ukraina, Polandia, serta Auschwitz, memperkuat konteks sejarah dan emosi yang diangkat dalam puisi ini.
Makna Tersirat
Makna tersirat puisi ini menyiratkan bahwa meskipun perang membawa kehancuran, penderitaan, dan dendam yang membara, perang tersebut juga menjadi proses pembentukan solidaritas dan lahirnya cinta baru yang menginginkan dunia bersatu tanpa penindasan. Puisi ini juga mengandung pesan bahwa kemarahan dan dendam yang dirasakan harus diarahkan menjadi kekuatan perjuangan yang membangun, bukan hanya untuk membalas, tapi juga untuk menegakkan keadilan dan perdamaian.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi Taufan terasa gelap, mencekam, penuh kemarahan dan kepedihan, namun diakhiri dengan semangat bangkit dan harapan baru. Kata-kata seperti “taufan yang menderu,” “mayat yang gelimpangan,” dan “dendam minta meledak” menegaskan betapa berat dan brutalnya suasana perang yang digambarkan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang disampaikan adalah pentingnya keberanian dan tekad untuk melawan kezaliman dan penindasan, serta harapan bahwa dari kehancuran perang, dapat lahir dunia yang lebih adil dan bersatu. Puisi ini mengajak pembaca untuk tidak melupakan sejarah dan belajar dari penderitaan agar masa depan lebih baik.
Imaji
Puisi ini penuh dengan imaji visual dan emosional yang kuat, misalnya:
- “taufan yang menderu di perang lalu” menggambarkan kekacauan dan kekuatan destruktif perang;
- “mayat yang gelimpangan saksi bisu” menghadirkan gambaran mengerikan tentang korban perang;
- “dingin salju di Wolga,” “mulut mengunci,” dan “tengkorak menghiasi fasis lari” menyajikan pemandangan nyata pertempuran dan kehancuran.
Majas
Penggunaan majas dalam puisi ini antara lain:
- Metafora “taufan” sebagai lambang kekuatan dahsyat perang;
- Personifikasi “dendam yang mengempedu,” memberi sifat hidup pada perasaan dendam;
- Apostrof kepada “Ilya” (Ehrenburg) sebagai sapaan langsung yang memberi kesan dialog batin;
- Hiperbola dalam penggambaran dendam dan peperangan yang sangat intens.
Puisi "Taufan" karya Adi Sidharta bukan hanya sebuah ungkapan kemarahan dan kesedihan atas pahitnya perang, tetapi juga sebuah peringatan dan harapan bagi masa depan. Dengan menyapa Ilya Ehrenburg, seorang wartawan dan penulis Soviet yang dikenal dengan karya-karya terkait Perang Dunia II, puisi ini menghubungkan pengalaman dan rasa yang sama dalam melawan kekejaman perang dan mendambakan dunia yang damai.
Karya: Adi Sidharta
Biodata Adi Sidharta:
- Adi Sidharta (biasa disingkat A.S. Dharta) lahir pada tanggal 7 Maret 1924 di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2007 (pada usia 82 tahun) di Cibeber, Cianjur, Jawa Barat.
- Adi Sidharta memiliki banyak nama pena, antara lain Kelana Asmara, Klara Akustia, Yogaswara, Barmaraputra, Rodji, dan masih banyak lagi.
