Puisi: Tidak Ada yang Aneh dari Keyakinan Gurumu Itu (Karya Acep Syahril)
Puisi "Tidak Ada yang Aneh dari Keyakinan Gurumu Itu" karya Acep Syahril bercerita tentang seorang guru agama yang tampak religius dengan simbol ...
Tidak Ada yang Aneh dari Keyakinan Gurumu Itu
Tidak ada yang aneh dari perubahan ciri
kumis dan jenggot
yang dicukur gurumu itu apa lagi dengan
beberapa tanda
bulatan hitam di keningnya demi
merendahkan satu
keyakinan akan keberadaan Tuhan di sebelah kiri urat
leher mereka sejak adam merubah wujudnya dari tanah
hingga kemudian kembali ke tanah sebagai keyakinan yang
tak tergoyahkan namun menjadi kontradktif dan lucu ketika
Tuhan mereka bilang mengizinkan
meledakkan diri di jalan.
Tidak ada yang aneh dari keyakinan dan
keseriusan
gurumu itu demi menghancurkan satu
keyakinan yang
populer dengan menggendong Tuhan
kemana-mana untuk
meyakinkan bahwa tuhan dan surga telah menjadi jihad
dalam hidupnya.
Tidak ada yang aneh ketika adonan amonium nitrat
nitrogliserin trinitrotoluene black powder dan anfo
itu melilit di tubuh gurumu lalu
meledakkannya di antara
kursi meja office boy pedagang bakso tukang ojek pengantar
bunga atau resepsionis hotel yang lebih
memahami anatomi
Tuhan dalam tubuhnya yang terbelah.
Lalu kau pun bertanya untuk apa guru
menumbuhkan
kumis dan jenggot sebegitu lama kalau hanya untuk jihad
dengan meledakkan Tuhan yang ada
digendongannya.
Kini gurumu itu telah sampai entah dimana di surga atau
di neraka tapi tidak ada yang aneh dari
perubahan ciri
kumis dan jenggot bekas dicukur itu atau
bulatan hitam
di keningnya sebagai jasad yang dianggap
telah membusukkan
satu keyakinan
padahal mereka tahu tuhan tidak serumit yang gurumu pahami.
Analisis Puisi:
Puisi "Tidak Ada yang Aneh dari Keyakinan Gurumu Itu" karya Acep Syahril merupakan salah satu karya sastra yang penuh kritik, sindiran, sekaligus perenungan tentang cara sebagian orang memahami dan mempraktikkan agama. Melalui bahasa yang lugas, kadang ironis, dan sarat dengan realitas sosial, puisi ini menghadirkan refleksi mengenai wajah keberagamaan yang terdistorsi oleh fanatisme.Tema
Tema utama puisi ini adalah kritik terhadap penyimpangan dalam beragama, khususnya ketika keyakinan berubah menjadi alat pembenaran untuk kekerasan. Acep Syahril menyingkap ironi ketika seseorang yang disebut guru agama, justru menanamkan pemahaman yang keliru hingga rela mengorbankan diri sendiri dan orang lain demi sesuatu yang ia yakini sebagai jihad.
Puisi ini bercerita tentang seorang guru agama yang tampak religius dengan simbol-simbol lahiriah—seperti kumis, jenggot, dan tanda hitam di dahi akibat sering sujud. Namun di balik penampilan itu, sang guru justru mengajarkan pemahaman jihad yang salah kaprah, yakni dengan cara melakukan bom bunuh diri.
Acep Syahril menyoroti bagaimana keyakinan yang seharusnya menjadi jalan ketenangan, justru bisa menjelma menjadi absurditas yang menghancurkan manusia lain, ketika dimaknai secara kaku dan dangkal.Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah agama bukanlah sesuatu yang layak dipelintir menjadi justifikasi kekerasan. Tanda-tanda kesalehan lahiriah—jenggot, kumis, atau jidat hitam—tidak otomatis mencerminkan kesalehan batiniah.
Puisi ini juga menyampaikan bahwa Tuhan dan kebenaran ilahi terlalu agung untuk "dibawa-bawa" sebagai pembenaran bagi tindakan menghancurkan orang lain. Dengan kata lain, penyair mengingatkan bahwa agama yang kehilangan esensi kasih dan kedamaian hanyalah akan melahirkan kehancuran.Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa sarkastis, getir, dan penuh ironi. Ada semacam kemarahan yang ditahan sekaligus kesedihan mendalam melihat kenyataan bahwa agama yang seharusnya membawa rahmat, justru bisa menjadi sumber teror akibat pemahaman yang keliru.Amanat / Pesan yang Disampaikan
Amanat yang bisa ditangkap dari puisi ini adalah:- Jangan terjebak pada simbol lahiriah dalam beragama, sebab kesalehan sejati tidak terletak pada penampilan, melainkan pada hati dan perbuatan.
- Fanatisme buta berbahaya, karena dapat membuat seseorang kehilangan akal sehat dan menjadikan kekerasan sebagai bentuk pengabdian.
- Tuhan tidak serumit yang dibayangkan, sehingga manusia tidak perlu memaksakan tafsir sempit untuk mewakili kehendak-Nya.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji yang kuat, antara lain:- “kumis dan jenggot… bulatan hitam di keningnya” → imaji visual tentang ciri religius lahiriah.
- “adonan amonium nitrat nitrogliserin trinitrotoluene black powder dan anfo” → imaji konkret bahan peledak, menggambarkan teror yang nyata.
- “meledakkannya di antara kursi meja office boy pedagang bakso tukang ojek…” → imaji tragis yang menghadirkan gambaran korban dari kalangan orang biasa.
Imaji-imaji ini membuat puisi terasa hidup, seolah-olah pembaca menyaksikan langsung realitas pahit tersebut.Majas
Beberapa majas yang dapat ditemukan dalam puisi ini antara lain:- Ironi – tampak dari penggambaran guru yang tampak religius, tetapi justru menjerumuskan.
- Sarkasme – penggunaan bahasa tajam untuk mengejek absurditas keyakinan yang salah.
- Metafora – “menggendong Tuhan” adalah metafora yang menunjukkan kesombongan manusia yang merasa membawa Tuhan untuk membenarkan tindakannya.
- Hiperbola – penggambaran tentang ledakan tubuh dengan bahan peledak yang berlebihan, untuk memperkuat kesan tragis.
Puisi "Tidak Ada yang Aneh dari Keyakinan Gurumu Itu" karya Acep Syahril adalah refleksi tajam terhadap fenomena fanatisme agama dan terorisme. Dengan bahasa yang tegas, kadang sarkastis, Acep ingin menyampaikan bahwa agama tidak seharusnya dipersempit menjadi alat pembenaran kekerasan. Esensi ketuhanan seharusnya sederhana: menghadirkan kasih, kedamaian, dan ketulusan, bukan bom dan kematian.
Puisi: Tidak Ada yang Aneh dari Keyakinan Gurumu Itu
Karya: Acep Syahril