Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tua (Karya Abdul Ghafar Ibrahim)

Puisi “Tua” karya Abdul Ghafar Ibrahim bercerita tentang seseorang yang menyadari bahwa ia telah memasuki usia tua, dan bagaimana ketuaan itu ...

Tua


Tua sampai tiada tawaran
tiba-tiba diri semakin datang
dalam ulangalik ombak.
tua berlari ke dalam diri
pintu berkunci
dinding kaca
dunia ronaroni
hari depan tidak payah diiklankan
pagi:
        tik
                tok
                        tik
        tok
meninggalkan bulan,
malam:
                tok
tik
tok
        tik
meninggalkan mentari
daun kalender lepas
                sehelai
.......sehelai
....sehelai

Semenyih, 1973

Sumber: Horison (Desember, 1990)

Analisis Puisi:

Puisi “Tua” karya penyair Malaysia Abdul Ghafar Ibrahim adalah potret reflektif tentang proses menua yang ditulis dengan gaya visual dan ritmis yang khas. Meski tidak panjang, puisi ini penuh dengan simbolisme, repetisi, dan keheningan yang dalam. Melalui baris-barisnya yang sederhana namun sarat makna, penyair berhasil mengajak pembaca menyelami pergulatan antara tubuh, waktu, dan kesadaran.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah ketuaan dan kefanaan hidup manusia. Puisi ini menyoroti perjalanan waktu yang tak terelakkan, datangnya usia tua sebagai bagian dari siklus kehidupan, dan bagaimana seseorang lambat laun menghadapi keruntuhan fisik, mental, serta rasa keterasingan.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang menyadari bahwa ia telah memasuki usia tua, dan bagaimana ketuaan itu datang perlahan namun pasti. “Tua sampai tiada tawaran” menunjukkan bahwa proses menua tidak memberi ruang untuk kembali, menolak, atau menunda. Ia datang “dalam ulangalik ombak” — terus-menerus, berulang, seperti gelombang pasang surut yang membawa tubuh ke dalam kesadaran tentang akhir.

Penyair menggambarkan bagaimana usia tua itu menyusup “ke dalam diri”, mengunci kemungkinan, membatasi ruang (“pintu berkunci, dinding kaca”), dan membuat dunia tampak seperti mozaik warna-warni yang tidak lagi utuh atau mudah dipahami. Dunia “ronaroni” adalah dunia yang semarak namun melelahkan — seperti hidup yang dulu penuh warna namun kini terasa semu.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini menyentuh aspek eksistensial kehidupan. Ketuaan bukan sekadar perubahan fisik, tetapi sebuah kesendirian eksistensial — sebuah ruang batin yang tertutup dari masa lalu dan masa depan. Ketika “hari depan tidak payah diiklankan”, penyair sedang mengatakan bahwa masa depan di usia tua tak lagi menawarkan kejutan, ambisi, atau harapan yang besar.

Jam kehidupan pun terus berdetak, digambarkan lewat ritme “tik tok tik tok”. Bunyi ini menyimbolkan waktu yang berjalan tanpa bisa dihentikan, mengingatkan pembaca bahwa setiap detik membawa kita semakin dekat pada akhir.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang dibangun dalam puisi ini adalah sunyi, kontemplatif, dan melankolis. Ada kesendirian yang tajam dalam cara penyair menyusun ruang dan waktu: antara pagi dan malam, antara mentari dan bulan, antara satu tanggal ke tanggal lain di kalender yang mulai gugur “sehelai demi sehelai”. Imaji ini membawa pembaca pada perasaan perpisahan perlahan-lahan dengan dunia.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat dari puisi ini adalah bahwa setiap manusia akan sampai pada tahap tua, dan hal itu sebaiknya diterima sebagai bagian dari siklus hidup yang alami. Waktu tidak bisa dilawan, dan tubuh akan menua sebagaimana daun kalender yang terlepas satu per satu. Ada nilai dalam menerima kenyataan, dalam menyadari waktu yang tersisa, dan dalam merefleksikan hidup sebelum semuanya benar-benar berakhir.

Puisi ini juga mengingatkan bahwa usia tua bisa menjadi waktu kontemplasi, bukan hanya ketakutan atau penyesalan, meski tetap penuh keterbatasan. Dalam keterasingan dan kesendirian, masih ada ruang untuk memahami diri lebih dalam.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan temporal yang kuat:
  • “Pintu berkunci, dinding kaca” menyiratkan keterasingan yang transparan—seseorang melihat dunia tapi tak bisa menjangkaunya lagi.
  • “Ulangalik ombak” memberikan gambaran waktu yang terus menerus bergulung seperti pasang surut usia.
  • “Tik tok tik tok” adalah imaji auditif yang menggambarkan bunyi jam—penanda waktu yang terus berlalu.
  • “Daun kalender lepas / sehelai / sehelai...” adalah imaji visual kuat tentang waktu yang berlalu secara bertahap dan pasti, seperti gugurnya daun kehidupan.

Majas

Puisi ini menggunakan berbagai majas untuk memperkuat efek puitis dan makna mendalam:
  • Metafora: “Tua sampai tiada tawaran” adalah metafora untuk perjalanan waktu yang final, tak bisa dinegosiasikan.
  • Personifikasi: “tua berlari ke dalam diri” — ketuaan dipersonifikasikan sebagai sesuatu yang aktif masuk ke dalam kesadaran.
  • Simbolisme: “pintu berkunci” dan “dinding kaca” adalah simbol keterbatasan fisik dan mental di usia tua.
  • Repetisi / anafora: Pengulangan “tik tok” menggambarkan derap waktu, menjadi semacam mantera pengingat bahwa waktu tidak bisa dihentikan.
  • Paralelisme: Baris-baris tentang pagi dan malam — “meninggalkan bulan”, “meninggalkan mentari” — membentuk semacam struktur berulang yang memperkuat suasana siklikal hidup dan waktu.
Puisi “Tua” karya Abdul Ghafar Ibrahim adalah refleksi mendalam tentang bagaimana waktu menggerus kehidupan manusia sedikit demi sedikit. Dalam bentuk yang visual dan ritmis, penyair menyampaikan pesan yang kuat: bahwa tua adalah proses alamiah yang tidak perlu ditakuti, tetapi perlu diterima dengan kesadaran penuh.

Dengan tema yang universal dan penyampaian yang puitis, puisi ini bukan hanya tentang usia, melainkan juga tentang eksistensi, kefanaan, dan kesunyian batin. Imaji tentang waktu, simbol keterbatasan, dan repetisi bunyi jam membentuk pengalaman pembacaan yang kontemplatif — menjadikan puisi ini sebagai cermin, bahwa suatu hari, kita semua akan sampai pada tahap ini: meninggalkan mentari, sehelai demi sehelai.

Abdul Ghafar Ibrahim
Puisi: Tua
Karya: Abdul Ghafar Ibrahim

Biodata Abdul Ghafar Ibrahim:
  • Abdul Ghafar Ibrahim lahir pada tanggal 31 Agustus 1943 di Kampung Sesapan Batu Minangkabau, Beranang, Selangor, Malaysia.
  • Disamping menulis puisi, Abdul Ghafar Ibrahim juga melukis.
© Sepenuhnya. All rights reserved.