Analisis Puisi:
Puisi "Unsyiah" karya Herman RN mengusung tema kesedihan, kehilangan, dan renungan atas hancurnya simbol pendidikan akibat tragedi kebakaran. Di dalamnya terkandung pula kerinduan akan tokoh panutan dan keterpanggilan sejarah—baik religius maupun kultural. Ini adalah puisi yang memotret trauma kolektif, kekecewaan terhadap respons lambat, sekaligus kerinduan terhadap nilai-nilai luhur yang dirasakan menghilang bersama api.
Secara naratif, puisi ini bercerita tentang peristiwa kebakaran hebat yang melanda gedung Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh, pada 11 September 2008. Keempat bagian puisi menggambarkan tragedi tersebut dari berbagai sudut emosional dan temporal—dari waktu subuh yang biasa untuk sahur Ramadan, hingga pagi yang menyambut abu dan bara, dan akhirnya sebuah seruan untuk mengenang dan mencatat peristiwa lewat puisi seperti yang dulu pernah dilakukan penyair besar WS Rendra.
Puisi ini bukan hanya dokumentasi peristiwa fisik, tetapi juga refleksi atas lenyapnya nilai, kenangan, dan identitas yang melekat pada institusi pendidikan. Herman RN menggambarkan betapa dalamnya luka yang ditinggalkan oleh api yang melahap “gedung putih kebanggaan rakyat kami.”
Makna Tersirat
Puisi ini menyimpan berbagai makna tersirat, antara lain:
- Kebakaran di Unsyiah tidak hanya memusnahkan bangunan fisik, tetapi juga menghancurkan simbol kemajuan, harapan rakyat, dan fondasi kultural Aceh.
- Kritik terhadap lambannya respons aparat (pemadam kebakaran datang “setelah cinta kayu kepada arang tersampaikan”)—menunjukkan sindiran terhadap birokrasi atau ketidakpedulian struktural.
- Kerinduan pada tokoh besar seperti Syeikh Aminuddin dan WS Rendra adalah bentuk kegelisahan akan tidak adanya pemimpin moral atau suara kuat yang bisa menenangkan dan membimbing pasca tragedi.
- Pada bagian keempat, ajakan kepada Rendra untuk datang kembali dan menulis puisi “di sisa kayu yang masih berwujud bara” adalah metafora untuk mengabadikan peristiwa dengan seni, agar tidak lenyap dalam arang dan abu.
Suasana dalam Puisi
Suasana yang dibangun dalam keempat bagian puisi ini sangat kental dengan duka, kehilangan, panik, dan keterkejutan. Ada aura kepedihan dan kehampaan yang meresap terutama pada waktu-waktu sakral seperti subuh Ramadan—yang biasanya penuh khidmat, kini diisi asap dan bara.
Di balik itu, juga ada suasana nostalgia dan spiritualitas, saat nama-nama tokoh Aceh dan kenangan akan Rendra disebut. Suasana tegang pada bagian kedua dan ketiga diredam oleh kontemplasi dan harapan pada bagian keempat.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan utama yang dapat ditarik dari puisi ini adalah:
- Jangan abaikan nilai-nilai luhur yang tersemat dalam bangunan pendidikan. Setiap kebakaran bukan sekadar bencana fisik, tetapi luka sejarah, dan harus dicatat, dikenang, serta direspon dengan kesadaran budaya.
Herman RN mengingatkan bahwa api bisa menghancurkan bangunan, tetapi tidak boleh memusnahkan ingatan. Maka tugas seniman, penyair, dan intelektual adalah menyalakan api kesadaran melalui puisi dan refleksi.
Imaji
Puisi ini penuh dengan imaji visual dan temporal yang kuat:
- “merak merah”, “bara”, “perabungan Unsyiah” → imaji kebakaran yang menyala terang dan menyelimuti bangunan.
- “embun masih semangat berdatangan” → membangun kontras antara kesejukan dan tragedi yang menyusul.
- “ayam belum berkokok”, “subuh masih di barat” → memperkuat suasana dini hari, waktu sakral sahur, yang ternoda tragedi.
- “pemadam kebakaran selalu datang setelah cinta kayu kepada arang tersampaikan” → ironi pahit sekaligus imaji metaforis yang menohok.
Majas
Beberapa majas menonjol dalam puisi ini:
Metafora:
- “merak merah” sebagai simbol dari api yang berkobar, sekaligus menambah sentuhan mitologis atau makhluk liar yang tak terkendali.
- “cinta kayu kepada arang” → menggambarkan relasi antara sesuatu yang dibakar dan hasilnya, dengan ironi menyakitkan.
Personifikasi:
- “bulan sedang puasa”, “embun menerima cinta langit” → memberikan kualitas manusiawi pada benda-benda alam.
Simbolisme:
- Unsyiah sebagai simbol pendidikan, martabat, dan jati diri Aceh. Api menjadi simbol dari kehancuran dan pengabaian.
Repetisi:
- Pengulangan kata “subuh”, “api”, dan “unsyiah” di bagian kedua memperkuat intensitas emosi dan situasi darurat.
Puisi “Unsyiah” karya Herman RN adalah puisi elegi sekaligus kritik sosial, spiritual, dan kultural atas peristiwa tragis yang terjadi pada institusi pendidikan tinggi di Aceh. Dengan empat fragmen waktu dan nada, penyair menarasikan kebakaran yang bukan hanya membakar kayu dan tembok, tapi juga hati, kenangan, dan nilai. Ia memanggil tokoh-tokoh besar—baik religius maupun sastra—untuk kembali bersuara, agar kebakaran ini tidak lenyap begitu saja dalam sejarah.
Puisi: Unsyiah
Karya: Herman RN
Karya: Herman RN
Biodata Herman RN:
- Herman RN lahir pada tanggal 20 April 1983 di Kluet, Aceh Selatan.
