Sumber: Malam Cinta (2007)
Analisis Puisi:
Puisi "Ode untuk Penunggang Kuda" memiliki tema utama tentang perjalanan hidup manusia, kelelahan usia, serta perenungan batin menjelang senja kehidupan. Kuda tua dan penunggangnya dihadirkan sebagai simbol kehidupan yang telah lama berpacu, penuh perjuangan, namun kini mendekati akhir dengan rasa letih sekaligus keinginan untuk memahami makna terdalam dari pengalaman hidup.
Puisi ini bercerita tentang seorang penunggang kuda yang menua, digambarkan lewat metafora kuda tua yang letih di jalanan berbatu. Penunggang itu tampak masih memeluk mimpi, tetapi waktu dan usia menuntutnya untuk melepaskan sebagian dari ambisi tersebut. Ada rasa haus akan kehidupan (“arak menunggu kau reguk”), ada catatan perjalanan yang abadi (“namamu terpahat di guci tua”), dan ada pula peringatan bahwa kekuatan fisik tak lagi sama (“utas tali kekang pun putus kau hentak”).
Namun, dalam keletihan itu, ada ajakan untuk menemukan kembali keindahan hidup secara sederhana: melalui dendang anak-anak, siulan di tebing, dan senja yang kembali.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa hidup adalah perjalanan panjang yang pada akhirnya mengajarkan kerendahan hati dan penerimaan. Manusia tidak selamanya bisa berpacu dalam ambisi, sebab pada titik tertentu, usia, waktu, dan alam akan memaksa untuk berhenti sejenak, merenung, dan merasakan hal-hal kecil yang sesungguhnya lebih tulus dan membahagiakan.
Puisi ini juga menyiratkan bahwa setiap manusia meninggalkan jejak — “namamu terpahat di guci tua itu” — yang berarti warisan, pengalaman, atau kenangan akan tetap hidup, meski raga dan tenaga tak lagi sekuat dulu.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini terasa melankolis, reflektif, sekaligus penuh harapan sederhana. Ada nada letih dari penunggang kuda tua, namun suasana menjadi hangat ketika penyair menghadirkan imaji anak-anak desa yang bernyanyi dan siulan yang menggema di tebing. Kontras antara kelelahan hidup dan kebahagiaan sederhana menjadi warna khas dalam puisi ini.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Amanat puisi ini adalah bahwa hidup tidak hanya tentang berlari dan berpacu dalam ambisi, tetapi juga tentang kemampuan untuk berhenti, merenung, serta menikmati kebahagiaan sederhana. Wayan Jengki Sunarta seolah menegaskan bahwa meski usia terus mendera, hati yang mampu menghargai nyanyian sederhana, tawa anak-anak, dan keindahan alam akan tetap menemukan makna hidup yang sejati.
Imaji
Puisi ini menghadirkan banyak imaji yang kuat dan simbolik:
- Imaji visual: “kuda tua meringkik letih di jalanan berbatu” menghadirkan gambaran perjalanan berat seorang manusia di usia senja.
- Imaji suara: “nyanyi anak-anak di jalanan desa” dan “siulmu di tebing-tebing cadas” memberi nuansa riang sekaligus kontras dengan keletihan sang penunggang.
- Imaji simbolis: “namamu terpahat di guci tua itu” melambangkan jejak sejarah, kenangan, atau warisan yang tetap abadi.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
- Metafora – penunggang kuda tua adalah simbol manusia dalam perjalanan hidup, sedangkan kuda tua melambangkan tubuh atau waktu yang semakin renta.
- Personifikasi – “kuda tua meringkik letih” memberi sifat manusiawi pada kuda, sebagai representasi rasa lelah dalam diri manusia.
- Simbolisme – “guci tua” melambangkan warisan, sejarah, atau catatan kehidupan yang tidak akan hilang.
- Hiperbola – “gemakan siulmu di tebing-tebing cadas” menggambarkan kekuatan kecil (siul) yang bisa menggema luas, simbol dari pengaruh sederhana namun bermakna.
Puisi "Ode untuk Penunggang Kuda" karya Wayan Jengki Sunarta adalah refleksi puitis tentang perjalanan hidup manusia yang dipenuhi ambisi, kelelahan, dan akhirnya penerimaan. Dengan tema kehidupan dan usia, puisi ini bercerita tentang keletihan seorang penunggang kuda tua yang tetap harus belajar melepaskan mimpi, menemukan makna batin, serta menikmati keindahan sederhana.
Makna tersiratnya mengajarkan pembaca untuk tidak hanya mengejar ambisi, tetapi juga menghargai warisan hidup dan kebahagiaan kecil. Dengan imaji yang kuat dan majas penuh simbol, puisi ini berhasil menghadirkan suasana melankolis yang berubah menjadi hangat, menegaskan bahwa hidup selalu punya cara untuk memberi arti, bahkan di penghujung senja.
Karya: Wayan Jengki Sunarta
Biodata Wayan Jengki Sunarta:
- Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
