Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Aku, Istri, dan Anakku (Karya Tjahjono Widarmanto)

Puisi "Aku, Istri, dan Anakku" karya Tjahjono Widarmanto adalah refleksi mendalam tentang waktu, perubahan, dan pengaruhnya terhadap kehidupan ....
Aku, Istri, dan Anakku
Menatap Senja dari Atas Loteng

senja selalu saja menghadirkan ketiba-tibaan dan ketergesaan
menjadikan semuanya sekadar lanskap yang sulit diingat apalagi dicatat
seperti masa remaja yang sekejap menguap dan mengering menjadi uban
dari loteng ini kutatap senja memulas pohon-pohon dengan warna abu-abu

serupa nisan berderet di makam-makam tak terawat di antara pohon kamboja
yang tak pernah berbunga yang dahan-dahannya terkelupas melepas getah
seperti gadis yang menangis kehilangan perawan sebelum malam pertamanya,
setiap senja menjauhkan segala yang pernah ada dan disimpan di laci ingatan

: bekas luka, pigura, album foto dan bayang hantu yang menyelinap di kamar mandi
dunia lama selalu harus memiliki pintu dan jendela baru sebelum surut menjauh
dari segala catatan nasib baik dan buruk yang berselancar di penanggalan
seperti juga senja, dunia selalu gagap melihat terang memudar menuju warna lain

setiap kali memandangnya selalu merasa menjadi penghuni goa-goa kelam masa silam
di atas loteng melihat senja beranjak menuju tepi tak pasti, istriku selalu bergumam,
"waktu seperti tubuh, tiba-tiba mengkurus atau menggelembung seperti ikan buntal
seperti sim salabim tongkat sihir nenek juru tenung"

aku juga bergumam, setuju dan sekaligus tidak sepakat
senja itu seperti perempuan yang bisa mengubah kecantikan jadi apa saja
: jam kerja, wisuda atau pesta!
sambil bermain puzle anakku menjerit, "sama saja; selintas cuma!"

Analisis Puisi:

Puisi "Aku, Istri, dan Anakku" karya Tjahjono Widarmanto adalah refleksi mendalam tentang waktu, perubahan, dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Melalui imaji senja dan metafora, penyair menggambarkan kerapuhan hubungan manusia dengan masa lalu, sambil menggambarkan dinamika keluarga dan pengalaman individu.

Waktu yang Melampaui Batas: Puisi ini mengawali dengan deskripsi senja yang datang dengan "ketiba-tibaan dan ketergesaan," menggambarkan bagaimana waktu sering kali datang tanpa terduga dan membawa perubahan. Penggunaan kata "seperti" dalam deskripsi masa remaja yang menguap dan mengering menjadi uban mengindikasikan bagaimana waktu dapat mengubah hal-hal dengan cepat dan tak terelakkan.

Metafora Pohon Kamboja dan Makam: Penyair menggambarkan pohon kamboja yang tak pernah berbunga dan makam-makam tak terawat sebagai simbol kehilangan dan lupa. Metafora ini menggambarkan bagaimana kenangan dan masa lalu dapat terlupakan seiring berjalannya waktu, seperti "gadis yang menangis kehilangan perawan sebelum malam pertamanya."

Keterhubungan dengan Dunia Lama: Puisi ini menggambarkan perlunya menciptakan "pintu dan jendela baru" dalam dunia lama untuk dapat menghadapi perubahan. Konsep ini mengajak pembaca untuk memahami bagaimana manusia harus beradaptasi dengan perubahan dan mencari cara baru untuk melihat dan menghadapi dunia.

Imaji Senja dan Perempuan: Imaji senja digunakan sebagai perbandingan dengan perempuan, menggambarkan bagaimana keduanya memiliki kemampuan mengubah dan membentuk diri sesuai situasi. Seperti senja yang bisa mengubah kecantikan menjadi berbagai hal, perempuan juga memiliki kekuatan dan peran yang serupa dalam mengubah diri dan dunia di sekitarnya.

Pandangan Anak dan Keterbatasan Manusia: Dalam kalimat anak yang menjerit, "sama saja; selintas cuma!" penyair menggambarkan pandangan anak yang melihat dunia dengan sederhana dan tanpa beban. Hal ini mencerminkan pemahaman bahwa pandangan anak mungkin lebih murni dan tidak terbebani oleh kompleksitas manusia dewasa.

Bahasa dan Gaya Penulisan: Puisi ini menggunakan bahasa yang sederhana dan imaji yang kuat untuk menggambarkan perubahan dan keterbatasan manusia dalam menghadapi waktu dan masa lalu. Penggunaan imaji senja, pohon kamboja, dan makam menghasilkan efek visual yang mengesankan, sementara dialog antara suami, istri, dan anak memberikan dimensi emosional pada puisi.

Puisi "Aku, Istri, dan Anakku" karya Tjahjono Widarmanto adalah pengamatan yang dalam tentang perubahan waktu, pengaruh masa lalu, dan dinamika keluarga. Melalui penggunaan imaji dan metafora, penyair mengajak pembaca merenung tentang kerapuhan hubungan manusia dengan waktu dan bagaimana kita beradaptasi dengan perubahan dalam hidup.

Tjahjono Widarmanto
Puisi: Aku, Istri, dan Anakku
Karya: Tjahjono Widarmanto

Biodata Tjahjono Widarmanto:
  • Tjahjono Widarmanto lahir pada tanggal 18 April 1969 di Ngawi, Jawa Timur, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.