Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Apakah Kristus Pernah (Karya Darmanto Jatman)

Puisi “Apakah Kristus Pernah” karya Darmanto Jatman mengajak pembaca melepas kecenderungan menghakimi dengan simbol-simbol agamawi semata dan, ...
Apakah Kristus Pernah (?)

Malaikat-malaikat
menobatkan kita
sebagai raja dan ratu
Sodom & Gomora.

            Kita pun terasing
            saling asing
            dan bicara dalam bahasa berbeda
            Kita adalah Nimrod-Nimrod kecil
            yang berteriak dari puncak menara Babel:
            Cintailah aku — 
            Hhh
            Nimisi Simini!

Ketika matahari menggeliat
di atas daun-daun belimbing  —
aku menghitung batu satu-satu
dan teringat Yesus:
Yang merasa dirinya tiada berdosa
hendaklah ia melempar batu yang pertama
atas kepala penjinah itu!

Malaikat-malaikat
bersijingkat jenaka
ketika para ulama
dengan menggenggam salib di tangannya
menuding kita
dan dengan serempak berteriak:
"Jina
    Jina
        Jina!"
(Apa yang kita yakin sebagai cinta)
dan
"Iblis
    Iblis"
(Apa yang kita lewati secara wajar saja).

Namun daun-daun belimbing toh luruh
Bunga-bunga belimbing toh gugur
Kita pun tercenung
Tak faham bahasa para ulama
yang membawa berkat-berkat
yang kudus dan penuh cahaya.

Sambil berjalan di antara rumah-rumah tua
serta dongeng-dongeng setan yang melingkupinya
— hujan mengalunkan lagunya
(Apakah Kristus pernah (?))

                Apakah Kristus pernah
                menggigil kehujanan?

Tapi ia memang pernah menggigil ketakutan
di Gethsemane
ketika hendak disalibkan.

                Apakah Kristus pernah
                geram akan kata orang?

Tapi ia memang pernah geram luar biasa
di Sinagoge
ketika melihat orang jualan.

Diam-diam
dengan ringan
aku pun menyanyikan
segala kesukaran
yang menghentikan langkahku.

Satu
    Dua
        Satu
            Dua.

            Aku pun menuju
            ke rumahmu
            Jinahanku.

Sumber: Horison (Juni, 1971)

Analisis Puisi:

Puisi “Apakah Kristus Pernah” karya Darmanto Jatman adalah teks yang memadukan ironi sosial, rujukan agama, dan renungan personal. Dalam bentuk dialogik dan berlapis, penyair menempatkan tokoh-tokoh religius, mitos, dan pengalaman manusia biasa dalam satu ruang kebahasaan yang menantang tafsir — antara hujatan, kerinduan, dan kerentanan.

Tema

Tema utama puisi ini adalah konflik antara kesucian religius dan kemanusiaan yang rentan — bagaimana klaim moral dan bahasa agama berhadapan dengan cerita-cerita kemanusiaan, kesalahpahaman, pengucilan, serta penderitaan yang sebenarnya dialami manusia. Puisi juga menyentuh tema penyimpangan kuasa dan penghakiman sosial, serta kerinduan akan pengertian dan belas kasih.

Secara garis besar puisi ini bercerita tentang sebuah komunitas atau sekelompok manusia yang dilihat—dan diberi label—oleh otoritas religius (ulama) sebagai hina (kata-kata “Jina”, “Iblis”), sementara mereka sendiri hidup dalam keterasingan, kesalahpahaman bahasa, dan kerentanan batin. Penyair menyela narasi ini dengan rujukan kepada figur Yesus/Kristus: pertanyaan retoris tentang pengalaman-Nya (menggigil kehujanan, geram akan kata orang, geram di sinagoge) dipakai untuk menyoal standar penghakiman moral dan untuk mengingatkan kemanusiaan para figur sakral. Di akhirnya narator bergerak secara intim menuju “rumah” dan memanggil “Jinahanku” — sebuah penutup yang personal dan lembut.

Makna tersirat

Beberapa makna tersirat penting dalam puisi ini:
  • Hipokrisi penghakiman religius. Ulama yang menuding dengan salib menyuarakan klaim sakral namun tak memahami realitas manusia yang mereka tuduh.
  • Kemiripan antara yang “suci” dan yang “binasa”. Penyair memutar balik retorika: malaikat yang menobatkan sebagai raja/ratu Sodom & Gomora; Nimrod dan Babel sebagai simbol ambisi manusia; semua menunjukkan betapa label moral sering terbalik dan ironis.
  • Kemanusiaan Kristus sebagai tolok ukur empati. Dengan menanyakan pengalaman Kristus (takut, geram), penyair menegaskan bahwa figur religius juga manusiawi — sehingga tidak layak menjatuhkan hukuman tanpa pengertian.
  • Bahasa dan kesalahpahaman. “Saling asing / dan bicara dalam bahasa berbeda” menegaskan jurang komunikasi yang memunculkan pengasingan dan tuduhan.

Suasana dalam puisi

Suasana puisi ini kontras: ada nada sinis dan sarkastik (malaikat jenaka, tuduhan ulama), tetapi juga nada kontemplatif dan lembut (penghitung batu, ingatan Yesus, langkah menuju rumah). Kombinasi ini menciptakan nuansa yang terguncang antara kecaman publik dan kerinduan pribadi.

Amanat / Pesan yang disampaikan

Beberapa pesan yang muncul:
  • Jangan cepat menghakimi; ingat kemanusiaan di balik tindakan. Penyair mengajak pembaca menimbang ulang sikap penghakiman moral yang dogmatis.
  • Empati lebih penting daripada label moral. Rujukan pada tindakan Kristus (yang pernah geram, pernah takut) menjadi undangan untuk melihat kompleksitas manusiawi dalam tindakan apa pun.
  • Bahasa sakral tidak otomatis setara dengan kebijaksanaan. Mereka yang memegang simbol kekuasaan religius bisa tetap buta terhadap realitas manusia.

Imaji

Puisi kaya imaji yang efektif:
  • Malaikat menobatkan — gambaran paradoksal, unsur sakral dipadukan dengan ironi.
  • Nimrod dari puncak menara Babel — imaji mitis tentang kesombongan bahasa dan ambisi manusia.
  • Daun belimbing dan menghitung batu — visual sederhana yang menenteramkan sekaligus memberi nuansa penghakiman (lempar batu).
  • Hujan, Gethsemane, sinagoge — imaji religius yang membawa suasana penderitaan, kegelisahan, dan kemarahan suci.
  • Langkah menuju rumah, Jinahanku — imaji personal yang menutup puisi dengan keintiman.

Majas

Puisi ini memanfaatkan beberapa majas secara efektif:
  • Ironi / Satire: menobatkan kita raja/ratu Sodom & Gomora; malaikat jenaka—mengkritik pembalikan nilai.
  • Alusi religius: banyak rujukan ke Kisah Alkitab (Yesus, Gethsemane, menara Babel) untuk memberi bobot etis sekaligus meruntuhkan klaim moral semata.
  • Personifikasi: malaikat “bersijingkat jenaka” memberi kehidupan dan sikap pada makhluk surgawi.
  • Apostrof: seruan langsung/percakapan retoris seperti “Apakah Kristus pernah…?” yang menegaskan dialog batin penyair.
  • Antitesis: pertemuan antara klaim suci (ulama, salib) dan tindakan manusiawi (ketakutan, geram) menegaskan kontras moral.
Puisi “Apakah Kristus Pernah” adalah puisi yang memancing tanya etis: bagaimana kita menilai sesama ketika bahasa, identitas, dan kekuasaan berperan memecah? Darmanto Jatman mengajak pembaca melepas kecenderungan menghakimi dengan simbol-simbol agamawi semata dan, dengan rujukan kepada kemanusiaan Kristus, menuntut empati sebagai pengantar dialog. Di ujungnya, langkah pulang sang narator ke rumah menegaskan bahwa, di luar kecaman publik, ada kebutuhan mendasar untuk keintiman, pengakuan, dan belas kasih.

Puisi Darmanto Jatman
Puisi: Apakah Kristus Pernah
Karya: Darmanto Jatman

Biodata Darmanto Jatman:
  • Darmanto Jatman lahir pada tanggal 16 Agustus 1942 di Jakarta.
  • Darmanto Jatman meninggal dunia pada tanggal 13 Januari 2018 (pada usia 75) di Semarang, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.