Analisis Puisi:
Puisi “Apakah Kristus Pernah” karya Darmanto Jatman adalah teks yang memadukan ironi sosial, rujukan agama, dan renungan personal. Dalam bentuk dialogik dan berlapis, penyair menempatkan tokoh-tokoh religius, mitos, dan pengalaman manusia biasa dalam satu ruang kebahasaan yang menantang tafsir — antara hujatan, kerinduan, dan kerentanan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah konflik antara kesucian religius dan kemanusiaan yang rentan — bagaimana klaim moral dan bahasa agama berhadapan dengan cerita-cerita kemanusiaan, kesalahpahaman, pengucilan, serta penderitaan yang sebenarnya dialami manusia. Puisi juga menyentuh tema penyimpangan kuasa dan penghakiman sosial, serta kerinduan akan pengertian dan belas kasih.
Secara garis besar puisi ini bercerita tentang sebuah komunitas atau sekelompok manusia yang dilihat—dan diberi label—oleh otoritas religius (ulama) sebagai hina (kata-kata “Jina”, “Iblis”), sementara mereka sendiri hidup dalam keterasingan, kesalahpahaman bahasa, dan kerentanan batin. Penyair menyela narasi ini dengan rujukan kepada figur Yesus/Kristus: pertanyaan retoris tentang pengalaman-Nya (menggigil kehujanan, geram akan kata orang, geram di sinagoge) dipakai untuk menyoal standar penghakiman moral dan untuk mengingatkan kemanusiaan para figur sakral. Di akhirnya narator bergerak secara intim menuju “rumah” dan memanggil “Jinahanku” — sebuah penutup yang personal dan lembut.
Makna tersirat
Beberapa makna tersirat penting dalam puisi ini:
- Hipokrisi penghakiman religius. Ulama yang menuding dengan salib menyuarakan klaim sakral namun tak memahami realitas manusia yang mereka tuduh.
- Kemiripan antara yang “suci” dan yang “binasa”. Penyair memutar balik retorika: malaikat yang menobatkan sebagai raja/ratu Sodom & Gomora; Nimrod dan Babel sebagai simbol ambisi manusia; semua menunjukkan betapa label moral sering terbalik dan ironis.
- Kemanusiaan Kristus sebagai tolok ukur empati. Dengan menanyakan pengalaman Kristus (takut, geram), penyair menegaskan bahwa figur religius juga manusiawi — sehingga tidak layak menjatuhkan hukuman tanpa pengertian.
- Bahasa dan kesalahpahaman. “Saling asing / dan bicara dalam bahasa berbeda” menegaskan jurang komunikasi yang memunculkan pengasingan dan tuduhan.
Suasana dalam puisi
Suasana puisi ini kontras: ada nada sinis dan sarkastik (malaikat jenaka, tuduhan ulama), tetapi juga nada kontemplatif dan lembut (penghitung batu, ingatan Yesus, langkah menuju rumah). Kombinasi ini menciptakan nuansa yang terguncang antara kecaman publik dan kerinduan pribadi.
Amanat / Pesan yang disampaikan
Beberapa pesan yang muncul:
- Jangan cepat menghakimi; ingat kemanusiaan di balik tindakan. Penyair mengajak pembaca menimbang ulang sikap penghakiman moral yang dogmatis.
- Empati lebih penting daripada label moral. Rujukan pada tindakan Kristus (yang pernah geram, pernah takut) menjadi undangan untuk melihat kompleksitas manusiawi dalam tindakan apa pun.
- Bahasa sakral tidak otomatis setara dengan kebijaksanaan. Mereka yang memegang simbol kekuasaan religius bisa tetap buta terhadap realitas manusia.
Imaji
Puisi kaya imaji yang efektif:
- Malaikat menobatkan — gambaran paradoksal, unsur sakral dipadukan dengan ironi.
- Nimrod dari puncak menara Babel — imaji mitis tentang kesombongan bahasa dan ambisi manusia.
- Daun belimbing dan menghitung batu — visual sederhana yang menenteramkan sekaligus memberi nuansa penghakiman (lempar batu).
- Hujan, Gethsemane, sinagoge — imaji religius yang membawa suasana penderitaan, kegelisahan, dan kemarahan suci.
- Langkah menuju rumah, Jinahanku — imaji personal yang menutup puisi dengan keintiman.
Majas
Puisi ini memanfaatkan beberapa majas secara efektif:
- Ironi / Satire: menobatkan kita raja/ratu Sodom & Gomora; malaikat jenaka—mengkritik pembalikan nilai.
- Alusi religius: banyak rujukan ke Kisah Alkitab (Yesus, Gethsemane, menara Babel) untuk memberi bobot etis sekaligus meruntuhkan klaim moral semata.
- Personifikasi: malaikat “bersijingkat jenaka” memberi kehidupan dan sikap pada makhluk surgawi.
- Apostrof: seruan langsung/percakapan retoris seperti “Apakah Kristus pernah…?” yang menegaskan dialog batin penyair.
- Antitesis: pertemuan antara klaim suci (ulama, salib) dan tindakan manusiawi (ketakutan, geram) menegaskan kontras moral.
Puisi “Apakah Kristus Pernah” adalah puisi yang memancing tanya etis: bagaimana kita menilai sesama ketika bahasa, identitas, dan kekuasaan berperan memecah? Darmanto Jatman mengajak pembaca melepas kecenderungan menghakimi dengan simbol-simbol agamawi semata dan, dengan rujukan kepada kemanusiaan Kristus, menuntut empati sebagai pengantar dialog. Di ujungnya, langkah pulang sang narator ke rumah menegaskan bahwa, di luar kecaman publik, ada kebutuhan mendasar untuk keintiman, pengakuan, dan belas kasih.
Karya: Darmanto Jatman
Biodata Darmanto Jatman:
- Darmanto Jatman lahir pada tanggal 16 Agustus 1942 di Jakarta.
- Darmanto Jatman meninggal dunia pada tanggal 13 Januari 2018 (pada usia 75) di Semarang, Jawa Tengah.