Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Badai dalam Ransel (Karya Frans Nadjira)

Puisi "Badai dalam Ransel" karya Frans Nadjira bercerita tentang perjalanan manusia yang dihadapkan pada realitas sosial penuh kebohongan, konflik, ..
Badai dalam Ransel

Sesungguhnya kita dilahirkan dari satu akar
Mengapa agak tergesa saling membakar?
(Cao Zhi/Zhou Fuyuan)

Petualangan jarum  detik itu Detak jantung kita
Bulan seperti busa sabun Kita tak sadar hal itu.
Seorang pemuda menanyakan jam
Kita lupa wajah pemuda yang merengut
karena beban ranselnya.
Pidato berapi-api di televisi memoles malam
Jadi mentega di wajah roti dan asap rokok.

Kita putarbalikkan fakta sesuai kehendak mereka
Tidak sadar bahwa badai telah menemukan kita.
Kisah yang sama: Jerapah besi membongkar
gubuk-gubuk liar dekat jembatan
Saudaramu berlari mengangkat roknya kemudian
terjun kesungai banjir.
Kini badai menemukan kita 
Badai dalam ransel menemukan tenggorokan kita.
Pemuda pucat itu seumur anak bungsu kita
Hal ini benar Kenyataan ini nyata
Ajal kita berada dalam kapal yang sama
Kapal kita berlayar di laut berkabut yang sama.

Di kaca jendela kita tampak kesepian, kurus dan tua
Sepi merangkak di meja Dalam gelas-gelas kristal
di bawah cahaya lampu temaram
Gelisah meringkuk di ransel menunggu badai.
Ketika kau dengar detak jantungmu berhenti
di sebuah persimpangan jalan.
Aku dengar gelisah ombak bergema dalam irama jazz
Kita hirup bau sengit asap menguap dari anggur
Dalam benak orang-orang setengah mabuk.
BUM! Badai api dalam ransel Kita tak butuh tidur
Kita tak butuh teman untuk bercakap Kita tersebar
Menjadi bagian dari lelap  Menjadi serpihan dengkur.

Kucari pemuda dan ransel itu  
Kau cari suara-suara yang memanggilmu.
Suara jerit dan lolong sirene Malam menggelepar
Astaga, betapa kita saling mencari
Berteriak tanpa suara Serpihan daging
Badai panas                          Potongan roti dalam daging
Kental dan panas
Tiga pohon bermantel hitam dekat jendela
Memandang cuka langit
Menatapmu Menatapku Jalan berlubang
Tangan berbalut ruby                     Siam memeluk pohon hitam.

Kita berpelukan tapi tidak saling kenal
Kita tahu bahwa badai dalam ransel
menyapa setiap orang
Mengucapkan kata perpisahan    
Darah adalah jalan mulia Berangkat malam hari
Daging api Daging bara Daging sembilu
Daging yang koyak oleh raung asap. 
Kita menjadi liar Menjadi ganas
Menggelepar di pucuk bunga-bunga rumput
Tak seorang pun menyebut nama kita.

Analisis Puisi:

Puisi "Badai dalam Ransel" karya Frans Nadjira menghadirkan imaji yang pekat, penuh kegelisahan, dan sarat simbol. Puisi ini bukan sekadar rangkaian kata indah, melainkan refleksi tentang kehidupan modern yang diguncang oleh ketidakpastian, kekerasan, dan absurditas peradaban. Frans Nadjira menyajikan gambaran yang kompleks dengan gaya surealis, namun tetap menancap ke dalam pengalaman batin pembaca.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kegelisahan manusia di tengah badai kehidupan sosial dan politik yang penuh kekacauan. Ada simbol ransel yang menandai beban, badai yang menjadi ancaman, serta gambaran tentang dunia yang dikuasai ketidakpastian, kekerasan, dan ketidakberdayaan.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan manusia yang dihadapkan pada realitas sosial penuh kebohongan, konflik, dan penderitaan. Ada pemuda yang menanggung ransel berat, pidato di televisi yang menipu, hingga badai yang akhirnya menghantam semua orang tanpa terkecuali. Ransel menjadi metafora dari beban hidup yang tidak hanya fisik, tetapi juga mental dan eksistensial.

Makna tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik terhadap kondisi sosial yang penuh kepalsuan serta ingatan kolektif tentang penderitaan manusia akibat ketidakadilan. Frans Nadjira mengingatkan bahwa badai bisa datang dari mana saja: dari tipu daya media, dari beban politik, dari perang, bahkan dari diri kita sendiri yang menutup mata pada kenyataan. Badai dalam ransel melambangkan kenyataan pahit yang selalu kita bawa, entah kita sadari atau tidak.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini penuh kecemasan, tegang, dan muram. Dari awal hingga akhir, puisi membawa pembaca ke dalam dunia yang gelap: pemuda pucat, asap rokok, kapal di laut berkabut, sirene malam, hingga darah yang tumpah. Semua menghadirkan atmosfer yang sesak, seakan badai memang selalu mengintai.

Amanat / pesan yang disampaikan puisi

Amanat puisi ini adalah kesadaran bahwa kita semua berada dalam “kapal yang sama” menghadapi badai kehidupan. Tidak ada seorang pun yang bisa menghindar dari kenyataan. Frans Nadjira seolah mengingatkan pembaca untuk tidak larut dalam kebohongan dan euforia palsu, melainkan waspada bahwa badai bisa menghancurkan kapan saja. Ada juga pesan solidaritas: meskipun kita sering tidak saling mengenal, penderitaan membuat kita berada dalam takdir yang sama.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan auditif:
  • “Bulan seperti busa sabun” → gambaran absurd namun kuat.
  • “Saudaramu berlari mengangkat roknya kemudian terjun ke sungai banjir” → imaji tragis yang dramatis.
  • “Aku dengar gelisah ombak bergema dalam irama jazz” → menghadirkan imaji auditif yang kontras antara musik dan kegelisahan.
  • “Serpihan daging / Badai panas / Potongan roti dalam daging” → imaji grotesk yang menegaskan kekerasan.

Majas

Beberapa majas yang dominan dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – “Badai dalam ransel menemukan tenggorokan kita” sebagai simbol beban hidup dan ancaman yang membunuh.
  • Personifikasi – “Sepi merangkak di meja”, “Gelisah meringkuk di ransel”, memberi sifat manusiawi pada benda mati.
  • Hiperbola – “Bulan seperti busa sabun”, sebuah perbandingan yang dilebih-lebihkan namun puitis.
  • Simbolik – Ransel sebagai simbol beban kehidupan, badai sebagai ancaman besar, darah sebagai penderitaan dan pengorbanan.
Puisi "Badai dalam Ransel" karya Frans Nadjira adalah gambaran tentang dunia yang penuh badai: badai sosial, politik, eksistensial, dan batiniah. Tema, makna tersirat, suasana, hingga imaji dan majas yang digunakan menghadirkan pengalaman membaca yang intens dan mencekam. Pesan penting yang bisa dipetik adalah kesadaran kolektif: kita semua membawa badai masing-masing, dan pada akhirnya, kita berada dalam perjalanan yang sama di kapal kehidupan ini.

Frans Nadjira
Puisi: Badai dalam Ransel
Karya: Frans Nadjira

Biodata Frans Nadjira:
  1. Frans Nadjira lahir pada tanggal 3 September 1942 di Makassar, Sulawesi Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.