Analisis Puisi:
Puisi “Bincang Pagi di Kedai Kupi Beungoh” karya Dimas Arika Mihardja adalah potret sederhana namun sarat makna tentang kehidupan masyarakat Aceh pascatsunami, yang ditampilkan melalui simbol “kedai kopi” sebagai ruang sosial, spiritual, sekaligus kultural. Dengan bahasa yang cair, penyair menampilkan suasana pagi yang tidak hanya berisi aktivitas keseharian, tetapi juga menyimpan memori luka sejarah, doa, serta semangat kebersamaan.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kehidupan sosial masyarakat Aceh pasca tragedi tsunami, dengan kopi sebagai medium simbolik untuk mengenang, merayakan, dan meneguhkan hidup.
Puisi ini bercerita tentang suasana pagi di sebuah kedai kopi (kupi beungoh), tempat orang-orang berkumpul, berbincang, dan menghidupkan kembali cerita serta memori kolektif. Kehadiran nama-nama seperti Kemalawati, Helmi, Djazlam, dan Dam menunjukkan bahwa kedai kopi menjadi arena berkumpulnya penyair, budayawan, atau orang biasa untuk berbagi kisah. Kedai itu menjadi saksi tentang perjalanan masyarakat Aceh menghadapi duka tsunami dan membangun kembali kehidupan.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa ruang-ruang kecil seperti kedai kopi tidak sekadar tempat bersantai, melainkan juga wadah bagi ingatan, solidaritas, dan penguatan identitas masyarakat. Di balik secangkir kopi, ada kenangan tentang doa yang tak selesai, duka yang pernah menimpa, sekaligus semangat untuk saling merangkul. Puisi ini juga menyinggung tentang kekuatan kebersamaan dalam menghadapi trauma dan tragedi besar.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini terasa hangat, penuh perenungan, namun juga melankolis. Kehangatan muncul dari gambaran orang-orang yang berkumpul, bercengkerama, dan saling berbagi. Sementara nada melankolis hadir melalui bayang-bayang tsunami yang masih menjadi cerita bersama, doa yang bergema, dan kenangan yang terus hidup di antara masyarakat.
Amanat / pesan yang disampaikan
Pesan yang disampaikan puisi ini adalah bahwa dalam hidup, kebersamaan dan solidaritas adalah kunci untuk menghadapi luka sejarah. Kedai kopi sebagai simbol keseharian memberi pelajaran bahwa ruang sederhana dapat menjadi tempat berharga untuk merajut kembali makna hidup.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji yang mampu menghidupkan suasana kedai kopi Aceh:
- Imaji visual: “penjaga warung masih mengenakan sarung”, “senyum perempuan berjilbab”, “iklan-iklan berenang tenang”.
- Imaji rasa: “mentari mereguk kupi”, “secangkir kupi beungoh” yang seolah menghadirkan aroma kopi khas Aceh.
- Imaji spiritual: “sisa doa bergetar di sudut bibirnya”, yang menghadirkan suasana religius.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: “mentari mereguk kupi di Atjeh TV” memberi sifat manusia pada matahari.
- Metafora: “jalan tak lelah meriwayatkan sisa-sisa tsunami” sebagai gambaran sejarah yang terus hidup dalam ingatan.
- Hiperbola: “iklan-iklan berenang tenang melahap setumpuk hasrat” untuk menekankan dinamika sosial di kedai kopi.
- Simbolisme: kopi sebagai simbol kebersamaan, ingatan, sekaligus kehidupan yang terus berjalan.
Puisi “Bincang Pagi di Kedai Kupi Beungoh” karya Dimas Arika Mihardja bukan sekadar catatan tentang kebiasaan minum kopi, tetapi juga permenungan sosial dan spiritual masyarakat Aceh pasca tragedi. Dengan tema kebersamaan dan ingatan kolektif, puisi ini menghadirkan suasana hangat sekaligus melankolis. Imaji yang kuat dan majas yang puitis menjadikannya sebuah karya yang menyimpan pesan: bahwa dari ruang sederhana seperti kedai kopi, kehidupan bisa terus dirayakan, luka bisa diingat dengan ikhlas, dan solidaritas bisa dikuatkan.
Karya: Dimas Arika Mihardja
