Sumber: Arsitektur Hujan (1995)
Analisis Puisi:
Puisi "Buku Harian dari Gurindam Duabelas" karya Afrizal Malna adalah salah satu karya yang menampilkan ciri khas penulisan Afrizal: penuh dengan asosiasi imaji, potongan sejarah, lintasan budaya, dan jejak keseharian yang bertabrakan. Judulnya yang merujuk pada Gurindam Duabelas karya Raja Ali Haji menghadirkan jembatan antara tradisi lama sastra Melayu dengan eksperimen modern puisi kontemporer.
Puisi ini seolah menjadi catatan harian yang menggabungkan sejarah, identitas, dan perjalanan manusia di tengah derasnya arus modernitas.
Tema
Tema utama puisi ini adalah pencarian identitas dan dialog antara tradisi dengan modernitas. Afrizal menampilkan bagaimana bahasa, sejarah, agama, hingga produk modern bercampur dalam pengalaman manusia. Puisi ini juga berbicara tentang perjalanan lintas waktu dan ruang, dari Sungai Siak, Raja Ali Haji, hingga Friedrich Hölderlin, dari Senggigi sampai Piz Gloria, semuanya terhubung lewat benang merah pencarian diri dan cinta.
Puisi ini bercerita tentang sebuah perjalanan batin dan intelektual, yang bergerak antara masa lalu dan masa kini. Sang aku lirik menyinggung:
- Raja Ali Haji dengan Gurindam Duabelas sebagai simbol akar tradisi Melayu-Islam.
- Perjalanan global ke Piz Gloria (sebuah tempat di Swiss), Senggigi, hingga kenangan lokal di halaman rumah.
- Pertemuan antara bahasa lama dan bahasa baru, antara budaya tradisional dan budaya modern yang penuh barang elektronik, kapal, serta suara-suara baru.
Kisah ini bukan narasi linier, melainkan kolase imaji dan pengalaman yang menegaskan bahwa identitas Melayu dan manusia modern terus digugat, dibentuk, dan ditafsir ulang.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik sekaligus refleksi terhadap pergeseran budaya. Afrizal memperlihatkan bagaimana tradisi luhur seperti Gurindam Duabelas kini harus berhadapan dengan derasnya arus modernitas—dari kapal dagang, barang elektronik, hingga bahasa global.
Namun di balik itu, ada pencarian cinta dan kemanusiaan yang universal, yang melampaui sekadar pertarungan antara lama dan baru. Puisi ini seolah mengatakan bahwa identitas bukan sesuatu yang statis, melainkan terus bergerak, seperti sungai, kapal, dan bahasa yang menumbangkan dirinya sendiri.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi terasa melankolis, reflektif, sekaligus penuh riuh imaji. Ada kesepian sungai Siak, ada gerimis yang membawa kota lain, ada Siti yang berlari-lari penuh kehidupan, ada juga “bahasa dari letusan” yang menggambarkan kekacauan modern. Perpaduan suasana ini membuat puisi terkesan kontradiktif sekaligus kaya lapisan emosional.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Pesan yang dapat ditarik dari puisi ini adalah pentingnya merawat tradisi dan sejarah sebagai bagian dari identitas, meski manusia hidup dalam arus modernitas yang serba cepat. Afrizal mengingatkan bahwa bahasa, sejarah, dan tradisi tidak boleh dilupakan, sebab tanpa itu manusia kehilangan akar dalam menghadapi dunia yang penuh letusan dan perubahan.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji visual, geografis, dan historis:
- Sungai Siak, kapal-kapal, dan pelabuhan: menghadirkan imaji perdagangan, arus budaya, dan perjalanan sejarah.
- Piz Gloria, Senggigi, kubah putih: imaji lintas ruang yang global dan spiritual.
- Siti yang berlari-lari, menyapu halaman, jadi buah mangga, apel, dan kecapi: imaji keseharian yang sederhana dan akrab.
- Gerimis, palma, kenangan di jendela: imaji suasana yang melankolis dan intim.
Imaji ini bergerak cepat, seperti kolase yang menumpuk, sehingga menghadirkan kesan dunia yang penuh fragmen.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: “lenganmu, membuat bahasa lain lagi di situ” → bahasa dipersonifikasikan sebagai sesuatu yang lahir dari tubuh.
- Personifikasi: Sungai Siak “jadi lebih dalam lagi dari Gurindam Duabelas” memberi kesan sungai hidup dan memiliki kesadaran.
- Asosiasi simbolik: Perpaduan benda modern (radio, barang elektronik) dengan simbol tradisional (buah mangga, Gurindam Duabelas) menghadirkan benturan makna.
Dengan bahasa yang kaya metafora dan penuh lapisan makna, puisi ini memperlihatkan ketegangan antara yang lama dan yang baru, sambil tetap menyuarakan kerinduan akan cinta, kebersamaan, dan akar budaya.
Puisi: Buku Harian dari Gurindam Duabelas
Karya: Afrizal Malna
Biodata Afrizal Malna:
- Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.
