Bulan di Kota
Bulan mengembang di langit kota
menyusurlah aku di malam bening muda
jalan-jalan bercemara
Langkah-langkah yang berdesik di batu
menayang cumbu:
ikut daku
Tercium di hidung nafsu
dilenggangnya malam berlagu:
hati yang jemu sepi
ciumlah wangi
sepoi di musim berahi
Mcngembanglah bulan di langit kota
malam membunga
jalan-jalan bercemara
1953
Analisis Puisi:
Puisi "Bulan di Kota" karya Hartojo Andangdjaja menampilkan paduan antara suasana kota pada malam hari dengan pengalaman batin penyair yang meresapi keindahan dan kesepian sekaligus. Dalam larik-lariknya, penyair membingkai bulan, malam, dan jalanan bercemara sebagai lanskap perasaan yang penuh gairah, kerinduan, dan kesunyian. Puisi ini tidak sekadar deskripsi suasana, tetapi juga sebuah perjalanan batin menuju refleksi pribadi.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kesepian dan kerinduan yang diselimuti keindahan malam di kota. Bulan menjadi simbol perasaan batin penyair yang mengembang, menerangi, tetapi juga menegaskan kehampaan dan kerinduan dalam diri.
Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh lirik yang berjalan di kota pada malam hari, di bawah cahaya bulan yang mengembang, merasakan sepi sekaligus terpikat oleh keindahan malam. Suasana malam, wewangian angin, dan cahaya bulan menciptakan nuansa sensual yang membangkitkan ingatan akan kerinduan dan hasrat manusia untuk kedekatan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa keindahan malam dan cahaya bulan bisa menjadi cermin bagi kondisi batin manusia—antara kesepian, kerinduan, dan pencarian cinta. Bulan tidak hanya hadir sebagai benda langit, tetapi juga simbol perasaan yang mengembang, membangkitkan memori akan keintiman dan rasa kehilangan yang mendalam.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini puitis, lirih, sekaligus romantis dengan sentuhan melankolis. Ada rasa damai saat bulan mengembang, namun di balik itu hadir kesepian yang sunyi, seperti hati yang jemu dan sepi. Suasana juga menjadi agak sensual dengan ungkapan “ciumlah wangi sepoi di musim berahi,” seakan menyiratkan kerinduan yang mendesak.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Amanat yang dapat ditangkap adalah bahwa manusia selalu membutuhkan keindahan dan kedekatan emosional di tengah kesepian hidup. Malam dan bulan mungkin memberikan keindahan, tetapi hanya kehadiran cinta atau kedekatan dengan sesama yang bisa mengisi kekosongan batin.
Imaji
Puisi ini penuh dengan imaji visual, auditif, dan olfaktori yang kuat:
- Visual: “Bulan mengembang di langit kota”, “jalan-jalan bercemara”, “malam membunga”.
- Auditif: “Langkah-langkah yang berdesik di batu” menciptakan suasana tenang namun hidup.
- Olfaktori: “Ciumlah wangi sepoi di musim berahi” menghadirkan aroma malam yang puitis dan menggoda.
Imaji ini membuat pembaca bisa membayangkan suasana malam di kota dengan detail yang indah dan mendalam.
Majas
Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi: “malam membunga” → malam diperlakukan seperti makhluk hidup yang bisa berbunga.
- Metafora: “hati yang jemu sepi” → hati disimbolkan sebagai ruang yang diisi kesepian.
- Hiperbola: “malam membunga” → penggambaran yang dilebihkan untuk menekankan keindahan malam.
Puisi "Bulan di Kota" karya Hartojo Andangdjaja adalah cerminan perasaan manusia yang dihadapkan pada kesepian, kerinduan, dan pencarian kehangatan di tengah kehidupan modern. Melalui simbol bulan, jalan bercemara, dan malam yang membunga, penyair menghadirkan suasana romantis sekaligus melankolis. Dengan imaji visual, auditif, dan olfaktori yang kuat, serta majas yang memperindah larik-lariknya, puisi ini mengajak pembaca merenungkan bagaimana keindahan malam di kota bisa menyimpan kerinduan terdalam hati manusia.
Biodata Hartojo Andangdjaja:
- Hartojo Andangdjaja (Ejaan yang Disempurnakan: Hartoyo Andangjaya) lahir pada tanggal 4 Juli 1930 di Solo, Jawa Tengah.
- Hartojo Andangdjaja meninggal dunia pada tanggal 30 Agustus 1990 (pada umur 60 tahun) di Solo, Jawa Tengah.
- Hartojo Andangdjaja adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.