Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Catatan yang Tertinggal (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Catatan yang Tertinggal" karya Diah Hadaning bercerita tentang upaya manusia dalam menapaki kehidupan, mengingat perjalanan umur, dan ...
Catatan yang Tertinggal (1)

Menghitung langkah ke langkah
memasuki ruang dan waktu
menata jejak ke jejak
menjadi peta perjalanan umur
tak peduli jaman tebar api
langit tebar hujan belati.

Bunga-bunga kecil
di beranda kehidupan
mekar wangi pagi senja
petik harumnya simpan dalam kalbu
jadi pengantar kidung persembahan
setiap purnama lingkar sempurna.

Sadarnya hadir di puncak musim
bukan lagi pasang teratak bicara-bicara
tapi melakukan yang bisa dilakukan
memasuki ruang dan waktu.

Catatan yang Tertinggal (2)

Tak hitung windu
sampai gunung longsor patah penjor
sampai lindu guncang gapura hilang
ada yang tak tereja
angka di langit warna di mosaik
selalu ada yang tak tereja.

Tak hitung musim
sampai beburung lintasi awan
sampai pohon-pohon meditasi musim
ada yang tak tereja
langit sesudah malam sisakan pucat bulan
selalu ada yang tak tereja.

Teratak Gondosuli, Desember 2005

Analisis Puisi:

Puisi "Catatan yang Tertinggal" karya Diah Hadaning terdiri dari dua bagian yang sama-sama merefleksikan perjalanan hidup manusia, kesadaran akan waktu, serta keterbatasan dalam memahami makna semesta. Dengan bahasa simbolik dan kaya imaji, puisi ini menyuguhkan catatan kehidupan yang bersifat kontemplatif sekaligus spiritual.

Tema

Tema utama puisi ini adalah refleksi kehidupan dan keterbatasan manusia dalam memahami makna waktu dan semesta. Penyair menekankan bahwa hidup adalah perjalanan panjang dengan jejak-jejak yang ditinggalkan, namun selalu ada hal yang tak bisa dijelaskan atau dimengerti sepenuhnya.

Puisi ini bercerita tentang upaya manusia dalam menapaki kehidupan, mengingat perjalanan umur, dan merekam pengalaman yang bersifat fana maupun abadi. Bagian pertama menggambarkan langkah-langkah manusia menata hidup meski dunia penuh gejolak, sementara bagian kedua menegaskan bahwa masih banyak hal di luar jangkauan pemahaman, yang “tak tereja” meski waktu terus berjalan.

Makna tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah bahwa hidup tidak hanya soal perhitungan umur atau musim, melainkan soal kesadaran untuk melakukan yang terbaik di setiap waktu. Selain itu, penyair mengingatkan bahwa meski manusia berusaha menafsirkan hidup, selalu ada misteri semesta yang tidak mampu dijangkau akal dan kata-kata.

Dengan kata lain, puisi ini mendorong pembaca untuk rendah hati dalam menghadapi kehidupan dan mengakui keterbatasan manusia di hadapan waktu dan alam.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini bersifat kontemplatif, hening, dan penuh permenungan. Pada bagian pertama ada nuansa optimisme dalam merangkai hidup meski dunia penuh badai, sementara pada bagian kedua terasa lebih melankolis karena menyoroti hal-hal yang tidak terjelaskan dalam kehidupan.

Amanat / Pesan yang disampaikan puisi

Pesan yang disampaikan dalam puisi ini adalah bahwa manusia sebaiknya menjalani hidup dengan penuh kesadaran, melakukan apa yang bisa dilakukan tanpa harus terlalu larut dalam misteri yang tidak terpecahkan. Kehidupan adalah perjalanan yang patut dihargai, meski tidak semua hal dapat dimengerti.

Imaji

Imaji dalam puisi ini kuat dan beragam:
  • Imaji visual: “bunga-bunga kecil di beranda kehidupan”, “langit tebar hujan belati”, “gunung longsor patah penjor”, “pohon-pohon meditasi musim”.
  • Imaji penciuman: “mekar wangi pagi senja, petik harumnya simpan dalam kalbu”.
  • Imaji auditif: “jadi pengantar kidung persembahan setiap purnama lingkar sempurna”.
Imaji ini memperkuat nuansa perjalanan hidup sekaligus keterhubungan manusia dengan alam.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “langit tebar hujan belati” memberi sifat manusiawi pada langit yang seakan menebarkan senjata.
  • Metafora: “menjadi peta perjalanan umur” menggambarkan jejak hidup sebagai sebuah peta.
  • Repetisi: “selalu ada yang tak tereja” menegaskan keterbatasan manusia dalam memahami kehidupan.
  • Hiperbola: “sampai gunung longsor patah penjor” sebagai penggambaran ekstrem berjalannya waktu.
Puisi "Catatan yang Tertinggal" karya Diah Hadaning adalah karya yang penuh refleksi tentang perjalanan hidup, keterbatasan manusia, dan misteri semesta. Dengan tema mendalam, imaji yang kaya, serta majas yang kuat, puisi ini mengajak pembaca untuk menghargai setiap langkah kehidupan sambil menyadari bahwa tidak semua hal bisa dimengerti oleh akal dan bahasa.

Diah Hadaning
Puisi: Catatan yang Tertinggal
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.