Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Atas Lokomotif Bersama Mao dan Soekarno (Karya Kurniawan Junaedhie)

Puisi "Di Atas Lokomotif Bersama Mao dan Soekarno" bercerita tentang seorang penyair yang berada di atas lokomotif bersama masinis yang membaca ...
Di Atas Lokomotif
Bersama Mao dan Soekarno

Masinis itu membaca Mao dan aku membaca Soekarno. Di loko itu, kami berhadap-hadapan seperti jurang. Di jendela, tiang-tiang listrik melesat seperti air ludah. Kereta terus melolong-lolong dan membelah-belah kabut dan memotong-motong bayangan senja yang mulai jingga. Sesekali kereta berguncang. Gerbong beradu gerbong. Dan kaca mataku goyang.

Masinis itu membiarkan rambutnya berkibar-kibar bersama angin senja yang jingga itu. Dia membuka bukunya. Huruf-huruf dalam buku itu pun serta merta berserakan di udara. Kata-katanya tergulung di bawah bordes, dan tergelincir dalam pusingan angin dekat ketel; lalu tersapu mendung. Ke mana kereta api ini bergegas?

Kita sedang menuju Negeri Entah Berantah, teriak api dari tungku loko dengan mata berkilat-kilat. Loko menjerit-jerit. Asapnya bergulingan tertinggal di dahan dan ranting. Kaca mataku goyang, dan Soekarno-ku melompat ke cerobong uap. Masinis itu lenyap di baliknya. Senja pun semakin jingga.

Jakarta, 14 Desember 2011

Sumber: Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia (2012)

Analisis Puisi:

Puisi "Di Atas Lokomotif Bersama Mao dan Soekarno" karya Kurniawan Junaedhie adalah salah satu karya yang sarat simbol dan imaji. Penyair menghadirkan suasana perjalanan kereta api dengan menyertakan dua figur besar dunia, yaitu Mao Zedong dan Soekarno, sebagai latar batin yang mengiringi pengalaman puitisnya. Melalui perpaduan antara realitas konkret (lokomotif, kabut, senja) dan gagasan ideologis (Mao dan Soekarno), puisi ini membentangkan perenungan tentang arah perjalanan, perbedaan pandangan, dan ketidakpastian masa depan.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah perjalanan ideologi dan pencarian arah hidup. Perjalanan kereta menjadi simbol perjalanan sejarah dan pemikiran, sementara kehadiran Mao dan Soekarno mewakili dua figur besar dengan ideologi berbeda yang pernah memengaruhi dunia, khususnya Asia.

Puisi ini bercerita tentang seorang penyair yang berada di atas lokomotif bersama masinis yang membaca Mao, sementara ia sendiri membaca Soekarno. Situasi itu menimbulkan semacam perbandingan, seolah mereka mewakili dua jurang ideologis. Dalam perjalanan, imaji tentang kabut, senja, asap, dan suara kereta yang melolong menegaskan ketidakpastian arah: ke manakah kereta ini menuju? Apakah ke negeri harapan, atau justru ke negeri entah berantah?

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah keraguan dan kegelisahan tentang perjalanan sejarah bangsa maupun individu dalam mengikuti ideologi. Mao dan Soekarno bukan hanya tokoh, tetapi simbol dari gagasan besar: sosialisme-komunisme di satu sisi, dan nasionalisme-populisme di sisi lain. Perjalanan kereta menggambarkan jalannya sejarah yang penuh guncangan, sedangkan pertanyaan “ke mana kereta api ini bergegas?” menyiratkan kebingungan tentang masa depan dan arah yang dituju.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini adalah tegang, gelisah, dan penuh ketidakpastian. Gambaran kabut, senja jingga, suara kereta yang melolong, dan gerbong yang beradu menghadirkan atmosfer yang menekan, seolah pembaca diajak merasakan perjalanan panjang yang tak jelas tujuannya.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Amanat yang bisa ditangkap adalah bahwa setiap perjalanan ideologis maupun sejarah tidak selalu memberi kepastian arah. Manusia harus kritis dalam membaca situasi, tidak hanya larut dalam simbol-simbol besar, tetapi juga sadar bahwa perjalanan bisa saja berakhir di “negeri entah berantah”. Pesan lain adalah pentingnya kesadaran untuk tidak hanyut dalam fanatisme buta terhadap tokoh atau ideologi.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan auditif:
  • Imaji visual: “tiang-tiang listrik melesat seperti air ludah”, “kabut”, “bayangan senja jingga”, “asap bergulingan di dahan dan ranting”.
  • Imaji auditif: “kereta melolong-lolong”, “gerbong beradu gerbong”, “loko menjerit-jerit”.
Imaji tersebut membuat pembaca seolah benar-benar berada di atas kereta yang menderu menuju tujuan yang tak jelas.

Majas

Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
  • Simile (perbandingan) → “tiang-tiang listrik melesat seperti air ludah”.
  • Personifikasi → “api dari tungku loko berteriak”, “huruf-huruf berserakan di udara”, “Soekarno-ku melompat ke cerobong uap”.
  • Metafora → “kami berhadap-hadapan seperti jurang” yang menyimbolkan perbedaan ideologi.
  • Hiperbola → “kereta terus melolong-lolong dan membelah-belah kabut” yang menekankan suasana dramatis perjalanan.
Puisi "Di Atas Lokomotif Bersama Mao dan Soekarno" adalah refleksi puitis tentang pertarungan ideologi, perjalanan sejarah, dan ketidakpastian arah bangsa maupun individu. Dengan menghadirkan Mao dan Soekarno sebagai simbol, penyair berhasil menciptakan gambaran kompleks yang menggugah pembaca untuk merenung lebih dalam tentang pilihan, arah, dan masa depan. Imaji yang kuat, suasana yang menekan, serta majas yang hidup menjadikan puisi ini tidak hanya sebagai potret perjalanan fisik di atas kereta, tetapi juga perjalanan batin dan sejarah yang tak pernah sederhana.

Kurniawan Junaedhie
Puisi: Di Atas Lokomotif Bersama Mao dan Soekarno
Karya: Kurniawan Junaedhie

Biodata Kurniawan Junaedhie:
  • Kurniawan Junaedhie lahir pada tanggal 24 November 1956 di Magelang, Jawa Tengah, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.