Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Batas Kesanggupan (Karya Muhammad Rois Rinaldi)

Puisi "Di Batas Kesanggupan" adalah refleksi puitis tentang pergulatan batin manusia ketika berhadapan dengan penantian, kesabaran, dan rasa ...
Di Batas Kesanggupan

Aku tak tahu, apakah ini disebut penantian. Detik-detik begitu nyeri, lembaran napas seperti robekan kertas yang diremas-remas dan inikah ruang tunggu? Amat ramai tapi sepi mengigau sendiri.

Aku tak tahu, inikah kesabaran. Jantung kehilangan debar, suara-suara datang hampa kabar, yang terkapar di atas tembikar menyuir tubuhnya sendiri: itukah aku? Tengadah pada pusat gelap malam. Yang mengalir itu darah, airmata tak punya warna merah.

Aku tak tahu tak tahu bagaimana menjawab semua tanya yang kuajukan sendiri. Inikah penantian, ini ruang tunggu, inikah perih, inikah, kasih... ! Selepas pergi bukankah mestinya kembali?

Cilegon, Banten, 15 Mei 2012

Analisis Puisi:

Puisi "Di Batas Kesanggupan" karya Muhammad Rois Rinaldi adalah refleksi puitis tentang pergulatan batin manusia ketika berhadapan dengan penantian, kesabaran, dan rasa kehilangan. Melalui bahasa yang intens dan penuh pertanyaan, puisi ini menghadirkan suasana getir yang menyentuh pembaca.

Tema

Tema utama puisi ini adalah penantian dan kesanggupan manusia menanggung perih batin. Penyair menyoroti bagaimana waktu, kesabaran, dan kehilangan bisa menguji batas daya tahan seseorang.

Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh liris yang merasakan perihnya penantian. Ia berada dalam ruang tunggu kehidupan yang penuh kesepian meski ramai di sekelilingnya. Tokoh ini juga mempertanyakan kesabaran dirinya, rasa kehilangan, serta ketidakpastian akan sebuah kembalinya yang ditunggu.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah keterbatasan manusia dalam menghadapi penderitaan. Penantian yang panjang bisa melahirkan keputusasaan, dan kesabaran yang dituntut terkadang membuat manusia merasa hampa. Di balik itu, puisi ini juga menyinggung persoalan eksistensi: bagaimana manusia terus bertanya pada dirinya sendiri tanpa menemukan jawaban pasti.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini terasa muram, getir, dan penuh keheningan yang mencekam. Ada rasa sepi yang menyesakkan, meskipun dunia di sekitar digambarkan ramai.

Amanat / pesan yang disampaikan

Pesan yang dapat ditarik dari puisi ini adalah pentingnya memahami batas kesanggupan manusia sekaligus menerima kenyataan hidup. Penantian, kehilangan, dan rasa sakit adalah bagian dari perjalanan manusia yang harus dijalani, meski kerap tidak terjawab.

Imaji

Beberapa imaji yang kuat dalam puisi ini antara lain:
  • “lembaran napas seperti robekan kertas yang diremas-remas” → menghadirkan gambaran napas yang tidak lagi tenang, melainkan perih dan tersiksa.
  • “yang terkapar di atas tembikar menyuir tubuhnya sendiri” → menghadirkan kesan tragis dan menyayat.
  • “darah, airmata tak punya warna merah” → menghadirkan imaji yang absurd, menekankan penderitaan yang tidak lagi bisa dibedakan.

Majas

Puisi ini memanfaatkan beberapa majas, antara lain:
  • Majas simile: “lembaran napas seperti robekan kertas yang diremas-remas”, membandingkan napas dengan benda rapuh.
  • Majas personifikasi: “suara-suara datang hampa kabar”, seakan suara bisa datang membawa pesan.
  • Majas repetisi: pengulangan frasa “Aku tak tahu” menegaskan kebingungan batin tokoh liris.
  • Majas hiperbola: “airmata tak punya warna merah”, dilebih-lebihkan untuk menggambarkan rasa sakit yang tak tertampung.
Puisi "Di Batas Kesanggupan" karya Muhammad Rois Rinaldi adalah potret kegetiran manusia dalam menghadapi penantian dan kesabaran. Melalui citraan yang kuat dan pertanyaan-pertanyaan retoris, penyair berhasil membangun suasana batin yang rapuh namun mendalam. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan bahwa setiap manusia memiliki batas dalam menanggung derita, dan terkadang, penantian hanyalah cara lain dari merasakan kehilangan.

Muhammad Rois Rinaldi
Puisi: Di Batas Kesanggupan
Karya: Muhammad Rois Rinaldi

Biodata Muhammad Rois Rinaldi:
  • Muhammad Rois Rinaldi lahir pada tanggal 8 Mei 1988 di Banten, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.