Di Cibeureum
catatan
mati ini malam mati
aku bercerita membaca membaca bercerita
kampung halaman di anganan
padami lampu kita cari mimpi
awal kedinginan malam membuka
mawar bunga speda
speda mawar bunga
sebelum pagi telah tercuri
sebelum hari mengembang wangi
jalan licin kehujanan menahan gelak berhamburan
membuka membuka mata
darah dan darahku serta
menggigil kembali kembali
pecah kaca dari pistol mainan anak
malam dari cerita dan baca dan baca
belum lagi membuka belum lagi
sepi ini mati ini sepi
datanglah padaku nanti sekali dinanti
darah dan darahku menjadi-jadi
dari paduan pertanyaan dan harapan
kita pecahkan malam
mari kita beria lagi kita berspeda dengan ketawa
mari mari mari
mimpilah malam ini
jadi anak keinginan bapak
jadi pahlawan impian bunda
mimpi wangi mawar kucuri
darah dan darahku serta
Cibeureum, 9 Mei 1954
Sumber: Majalah Seni (April, 1955)
Analisis Puisi:
Ajip Rosidi, seorang sastrawan besar Indonesia yang lahir dari rahim budaya Sunda, banyak menulis puisi dengan nuansa reflektif, personal, dan sering kali mengandung pencarian identitas. Salah satu puisinya yang menarik adalah “Di Cibeureum”. Dalam puisi ini, Ajip mengajak pembaca memasuki dunia ingatan, kesepian, sekaligus harapan, dengan bahasa yang padat imaji dan penuh repetisi.
Tema
Tema utama puisi ini adalah kerinduan terhadap kampung halaman yang bercampur dengan refleksi tentang hidup, sepi, dan harapan masa depan. Puisi ini juga menyiratkan pergulatan batin seorang penyair yang berusaha mencari makna di balik kesunyian malam, ingatan masa kecil, dan mimpi yang ingin diwujudkan.
Puisi ini bercerita tentang seorang aku-lirik yang berada di malam sunyi, merenungkan kampung halaman, masa kecil, dan kenangan-kenangan sederhana seperti bersepeda dan bermain. Namun, di balik itu ada pula kegelisahan yang hadir, tergambar dalam kata-kata seperti “darah”, “pecah kaca”, dan “sepi”. Ada percampuran antara nostalgia, kerinduan, dan keresahan hidup yang melahirkan doa serta harapan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang tua (ayah dan ibu).
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah pencarian identitas dan harapan hidup yang lahir dari pengalaman masa lalu. Simbol-simbol seperti “mawar”, “speda”, atau “pistol mainan anak” menghadirkan gambaran masa kecil yang polos, tetapi di sisi lain juga menyiratkan rapuhnya kehidupan. Repetisi kata “darah dan darahku” menandakan adanya pergulatan batin, mungkin juga luka yang belum sembuh. Namun pada akhirnya, penyair tetap menutup puisi dengan nada optimis: sebuah dorongan untuk bermimpi menjadi “anak keinginan bapak” dan “pahlawan impian bunda”.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa kontras: ada kesepian dan kegelapan malam, namun juga ada keriangan anak-anak yang bermain sepeda dan bercanda. Perpaduan itu menciptakan suasana puitis yang kompleks — sepi sekaligus penuh harapan, muram sekaligus penuh mimpi.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang hendak disampaikan adalah bahwa dalam kesepian dan kerinduan, manusia harus tetap berani bermimpi dan memberi makna pada hidupnya. Puisi ini menekankan pentingnya mengingat asal-usul, menghormati orang tua, dan tetap menumbuhkan harapan meski hidup penuh kegelisahan.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji, antara lain:
- Imaji visual: “mawar bunga speda / speda mawar bunga” menggambarkan keceriaan anak-anak bermain.
- Imaji perasaan: “darah dan darahku menggigil kembali” menghadirkan nuansa sakit, dingin, dan luka batin.
- Imaji suara: “menahan gelak berhamburan” menciptakan bunyi tawa anak-anak yang bergema dalam ingatan.
Majas
Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini, di antaranya:
- Metafora: “mimpi wangi mawar kucuri” memetaforakan mimpi sebagai sesuatu yang indah namun rapuh dan harus direbut.
- Personifikasi: “malam dari cerita dan baca” seolah menghadirkan malam sebagai sosok yang bisa bercerita.
Puisi “Di Cibeureum” karya Ajip Rosidi menghadirkan perpaduan antara nostalgia, kerinduan, dan kegelisahan yang kemudian dilabuhkan pada mimpi serta harapan hidup. Lewat simbol-simbol sederhana, Ajip menyampaikan pesan universal: bahwa meski hidup penuh sepi dan luka, manusia tetap harus merawat mimpi, menghormati orang tua, dan terus mencari makna dalam perjalanan hidup.