Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Matahari Senja (Karya Dimas Arika Mihardja)

Puisi "Di Matahari Senja" karya Dimas Arika Mihardja merupakan karya kontemplatif yang mengajak
Di Matahari Senja
(: Ayat 48, sebelum kalender tanggal)

Taman mulai temaram
adakah yang kutunggu di bangku kayu jati?
Warna kupu-kupu, angin lalu:
Ngilu!

Gelap merayap
adakah yang berlagu di ujung jalan itu?
Bunga kertas, hujan deras:
Lemas!

Di bawah matahari merendah
sajadah menghitam basah
adakah yang lebih indah di antara puisi yang kaugubah?
Dzikir!

23 Maret 2007

Analisis Puisi:

Puisi "Di Matahari Senja" karya Dimas Arika Mihardja menampilkan suasana senja dengan kepekaan spiritual dan emosional yang khas. Penyair menulis dengan gaya ringkas, penuh simbol, dan menghadirkan kesan lirih sekaligus religius. Senja dijadikan ruang refleksi antara kerinduan, kefanaan, dan kesadaran akan kehadiran Yang Ilahi.

Tema

Tema utama puisi ini adalah perenungan hidup menjelang senja dengan nuansa religius. Senja menjadi simbol waktu yang hampir habis, mengingatkan manusia pada kefanaan dan kebutuhan untuk kembali pada Sang Pencipta melalui dzikir.

Puisi ini bercerita tentang seorang aku-lirik yang duduk merenung di bangku kayu jati pada waktu senja. Ia merasakan suasana temaram, perubahan alam, dan kerisauan batin. Kupu-kupu, angin, bunga kertas, hingga derasnya hujan menjadi bagian dari penggambaran suasana. Semua itu berpuncak pada kesadaran spiritual: bahwa keindahan sejati bukan pada alam semata, melainkan pada dzikir yang menghubungkan manusia dengan Tuhan.

Makna Tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah ajakan untuk merenungkan arti hidup menjelang “senja usia”. Alam dengan segala keindahannya hanya sementara; rasa ngilu, lemas, dan gelap adalah metafora kefanaan. Pada akhirnya, keindahan sejati lahir ketika manusia mengingat Tuhan, karena dzikir menjadi sumber ketenangan dan pengharapan di tengah kefanaan dunia.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi terasa lirih, reflektif, dan spiritual. Diawali dengan kerinduan hening, bergeser menjadi lemas dan murung, lalu ditutup dengan suasana teduh yang religius. Transisi suasana ini menggambarkan perjalanan batin dari kerisauan menuju ketenangan iman.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat ditangkap dari puisi ini adalah: hidup tidak hanya berhenti pada keindahan alam atau kerisauan batin, melainkan harus berlabuh pada kesadaran spiritual. Dzikir menjadi jalan untuk menemukan keindahan sejati dan mengatasi kefanaan dunia.

Imaji

Puisi ini penuh dengan imaji sederhana namun kuat:
  • “Taman mulai temaram” → imaji visual senja yang mulai redup.
  • “Warna kupu-kupu, angin lalu: Ngilu!” → imaji visual dan perasaan ngilu yang hadir dari suasana alam.
  • “Bunga kertas, hujan deras: Lemas!” → imaji visual dan sensasi tubuh yang merasakan kelemahan.
  • “Sajadah menghitam basah” → imaji visual yang menggambarkan ketekunan ibadah, seakan sajadah menjadi saksi dzikir.

Majas

Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “gelap merayap” memberikan sifat gerak manusia pada kegelapan.
  • Metafora: “matahari merendah” bukan hanya keadaan alam, tetapi lambang usia senja manusia.
  • Repetisi: pengulangan pertanyaan retoris “adakah yang …” memperkuat efek kontemplatif.
  • Interjeksi: kata-kata seperti “Ngilu!”, “Lemas!”, “Dzikir!” memberi kekuatan ekspresif dan emosional.
Puisi "Di Matahari Senja" karya Dimas Arika Mihardja merupakan karya kontemplatif yang mengajak pembaca merenung tentang kefanaan hidup. Lewat simbol-simbol senja, bunga, kupu-kupu, hingga sajadah, penyair menunjukkan perjalanan batin manusia: dari kerinduan duniawi yang rapuh menuju ketenangan sejati dalam dzikir. Dengan gaya puitis sederhana namun sarat makna, puisi ini menegaskan bahwa keindahan paling luhur bukan sekadar ada pada alam, tetapi pada hubungan spiritual antara manusia dengan Sang Khalik.

"Puisi Dimas Arika Mihardja"
Puisi: Di Matahari Senja
Karya: Dimas Arika Mihardja
© Sepenuhnya. All rights reserved.