Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Srandil (Karya Badruddin Emce)

Puisi "Di Srandil" karya Badruddin Emce bercerita tentang rakyat yang hidup sederhana namun selalu menjadi korban sistem yang timpang. Sosok Semar ...
Di Srandil

Siapa bilang di srandil ada makam Semar?
Lihat, beliau masih bugar
Menghampar impian kami tak merasa hina
cuma bisa nyithak bata

Dan iri, dewa-dewa berubah bajingan.
Membubuh ucapan palsu di kertas segel.
Tak sedikit yang pura-pura kere.

Kata siapa ki lurah Semar memanggil turun
para dewa? –
Ayunlah beliau tetap bayi –

Tak pernah menuntut ataupun menafikan
lapar dunia.

Dan biarlah terpingkal-pingkal
bila si berkopiah menyatakan kata-katanya
kata-kata kami.

"Tapi di mana nggali pasir lagi, Semar?"
"Apa-apa yang kami kumpulkan
bukan empunya kami lagi!"
"Namun dituntut ikhlas
dan malu memiliki!"

"Semar. Kentutlah, Semar!"

Kroya, 1997/1998

Sumber: Diksi Para Pendendam (2012)

Analisis Puisi:

Puisi “Di Srandil” karya Badruddin Emce adalah karya yang penuh kritik sosial, menghadirkan sosok Semar—tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa—sebagai simbol kearifan rakyat kecil sekaligus perlawanan terhadap kebusukan moral para penguasa. Melalui gaya bahasa yang satir dan lugas, penyair menampilkan ketegangan antara kesederhanaan rakyat dengan kemunafikan mereka yang berkuasa.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kritik sosial dan ketidakadilan. Semar dijadikan representasi suara rakyat kecil yang tetap sederhana, tidak menuntut banyak, namun terus menghadapi tekanan, penindasan, dan kebohongan para “dewa” (simbol penguasa dan elit).

Puisi ini bercerita tentang rakyat yang hidup sederhana namun selalu menjadi korban sistem yang timpang. Sosok Semar yang dikira sudah “dimakamkan” ternyata masih hadir sebagai lambang ketabahan, kesederhanaan, dan kebenaran. Sementara itu, para dewa digambarkan berubah menjadi bajingan, memalsukan ucapan dengan dokumen resmi, berpura-pura miskin, dan menuntut rakyat kecil untuk selalu ikhlas meskipun haknya dirampas.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap kepalsuan kekuasaan dan kepura-puraan moral para pemimpin. Semar melambangkan rakyat kecil yang jujur dan tabah, sedangkan para dewa menggambarkan elit yang munafik. Ada sindiran tajam terhadap mereka yang menggunakan agama, jabatan, atau simbol kebaikan untuk menutupi kerakusan.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi terasa satir, getir, namun juga jenaka. Ada campuran antara nada serius dalam mengkritik keadaan dan nada humor khas rakyat (misalnya pada seruan “Kentutlah, Semar!”). Hal ini menunjukkan bahwa meski rakyat menderita, mereka masih bisa melawan dengan tawa dan ejekan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah pentingnya kejujuran dan ketulusan dalam hidup bermasyarakat, serta kritik agar para pemimpin tidak berkhianat pada rakyat. Penyair juga ingin menyampaikan bahwa meski rakyat kecil sering dianggap lemah, mereka tetap memiliki kekuatan berupa solidaritas, keluguan, dan keberanian untuk bersuara.

Imaji

Puisi ini menampilkan imaji sosial yang kuat, antara lain:
  • Imaji visual: “nyithak bata” menggambarkan rakyat kecil yang bekerja keras dengan cara sederhana.
  • Imaji ironis: “dewa-dewa berubah bajingan” memberikan kontras tajam antara citra luhur dan kenyataan busuk.
  • Imaji verbal: “Semar. Kentutlah, Semar!” menghadirkan suara rakyat yang spontan, kasar, namun penuh makna sebagai bentuk perlawanan.

Majas

Beberapa majas yang tampak dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi, Semar yang digambarkan masih hidup, bugar, dan berinteraksi dengan rakyat.
  • Metafora, dewa-dewa sebagai lambang elit penguasa yang munafik.
  • Sarkasme, pada ungkapan “dewa-dewa berubah bajingan” yang merupakan kritik tajam terhadap moralitas elit.
  • Repetisi, pengulangan seruan kepada Semar yang memperkuat nada emosional puisi.
Puisi "Di Srandil" karya Badruddin Emce adalah kritik sosial yang cerdas sekaligus jenaka. Dengan menghadirkan sosok Semar, penyair menunjukkan kekuatan simbol budaya Jawa dalam membaca realitas sosial-politik. Di tengah kepalsuan dan kemunafikan elit, Semar hadir sebagai lambang kesederhanaan, kejujuran, dan suara rakyat yang tak pernah benar-benar padam.

Badruddin Emce
Puisi: Di Srandil
Karya: Badruddin Emce

Biodata Badruddin Emce:
  • Badruddin Emce lahir di Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, pada tanggal 5 Juli 1962.
© Sepenuhnya. All rights reserved.