Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Di Tanjung Aan (Karya Abdul Wachid B. S.)

Puisi "Di Tanjung Aan" tidak hanya menggambarkan keindahan alam, tetapi juga menggali aspek sosial dan emosional dari pengalaman di tempat tersebut.
Di Tanjung Aan

begitu turun dari mini bus terhuyung
gadis-gadis kecil lontarkan pujian
menawarkan selendang dan sarung
ibu-ibu muda giliran kemudian

rayuan dagangan begitu jeli
tak pergi-pergi bila satu tak terbeli
tidak ada pengemis satu pun di sini
di tanjung aan yang landai

pantai putih digelar
lakon kau aku pun digelar
memberi warna langit yang lain
memulas kesedihan demi kesedihan

seperti tanah dan rerumputan
ladang dan bukit ditinggalkan
seperti pemiliknya juga ditinggalkan
oleh jatuhnya kekuasaan

kulihat sedari tadi kau ingin berbagi recehan
tetapi tidak satu pun bocah-bocah itu
menerimanya “mari kakak kupotret
berpose menyunggi bukit

atau loncatlah
maka ombak akan menjadi selancar”
bocah-bocah itu begitu piawai memainkan
kamera padahal mereka tak pernah punya

kau kembali ingin sekali berbagi recehan
sekaligus airmata yang
melarung angan dan kecemasan yang
tak berkesudahan

seperti orang lombok begitu yakin
warna putih pasir ombak dan angin yang kuat
membuat pertengkaran batin kau aku tamat
air mata larut laut kebiruan di tanjung aan.

Yogyakarta, 29 Oktober 2017

Analisis Puisi:

Puisi "Di Tanjung Aan" karya Abdul Wachid B. S. menggambarkan sebuah pemandangan di Tanjung Aan yang menyentuh hati dan menggugah perasaan.

Deskripsi Lokasi: Tanjung Aan digambarkan sebagai sebuah tempat yang tenang dan indah dengan pantai putihnya yang menakjubkan. Namun, di balik keindahan alamnya, terdapat lapisan-lapisan kesedihan dan kenangan yang mendalam.

Interaksi Manusia: Puisi ini menyoroti interaksi antara pengunjung, terutama turis, dengan penduduk setempat. Turis merasa terpesona dengan penjualan dan rayuan dagangan para penduduk setempat, sementara penduduk setempat mencoba bertahan hidup dengan menjual barang dagangan mereka.

Kritik Sosial: Penyair menunjukkan ketidakadilan yang terjadi di Tanjung Aan, di mana penduduk setempat terpaksa menghadapi kesulitan hidup sementara para turis menikmati keindahan alamnya. Puisi ini mencerminkan ketidakseimbangan dalam distribusi kekayaan dan kesempatan di masyarakat.

Keindahan Alam dan Pertengkaran Batin: Pemandangan alam Tanjung Aan yang memesona, dengan pasir putih, ombak, dan angin, menjadi latar belakang bagi pertarungan batin yang dialami oleh pelaku puisi dan masyarakat setempat. Warna putih yang mendominasi Tanjung Aan juga menjadi simbol pertengkaran batin yang melibatkan mereka.

Pertimbangan Emosional: Puisi ini menyajikan pertimbangan emosional yang mendalam, terutama melalui interaksi antara turis dan penduduk setempat. Ada perasaan simpati dan kecemasan yang tercampur aduk dalam puisi ini, mencerminkan kompleksitas hubungan manusia dan lingkungan.

Puisi "Di Tanjung Aan" tidak hanya menggambarkan keindahan alam, tetapi juga menggali aspek sosial dan emosional dari pengalaman di tempat tersebut. Dengan kata-kata yang indah dan kuat, Abdul Wachid B. S. mengajak pembaca untuk merenungkan dampak dari interaksi antara manusia dan alam, serta kompleksitas hubungan antarmanusia di tengah-tengah keindahan dan kesulitan kehidupan.

Abdul Wachid B. S.
Puisi: Di Tanjung Aan
Karya: Abdul Wachid B. S.
© Sepenuhnya. All rights reserved.