Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Elegi Kota (Karya Hijaz Yamani)

Puisi "Elegi Kota" karya Hijaz Yamani bercerita tentang sebuah kota yang tidak pernah tidur, selalu sibuk dengan transaksi, perdagangan, dan ...
Elegi Kota


Kotaku yang tak pernah lagi tidur
malam-malam selalu menerima nasib
orang-orang di sepanjang jalan
dalam alur yang deras

Orang-orang pun membangun transaksi
di pasar-pasar di puncak malam
di balik musik instrumentalia

Jalan licin telah memberi warna manis
mereka yang memacu angin
membangun deru memecah malam
Mereka tak pernah lagi ingat
punya satu rangka rumah
dan penghuni satu jiwa

Ah, seperti tak ada malam lagi
pada kota yang tak sempat tertidur
dan tak ada bisik yang mengetuk pintu hati
Tuhan pun telah jauh dari anak-anak Adam
yang tak pernah menekur dan diam

Banjarmasin, 1992

Sumber: Percakapan Malam (1997)

Analisis Puisi:

Puisi "Elegi Kota" karya Hijaz Yamani menampilkan potret kehidupan urban yang bising, riuh, dan kehilangan ketenangan spiritual. Penyair menyajikan gambaran tentang kota yang tidak pernah tidur, dengan segala kesibukan dan hiruk pikuk manusia yang terjebak dalam pusaran modernitas. Dengan gaya bahasa yang puitis sekaligus kritis, puisi ini membuka ruang renungan bagi pembaca untuk melihat wajah kota dari sisi yang lebih dalam.

Tema

Puisi ini mengangkat tema tentang kehidupan kota modern yang kehilangan spiritualitas dan ketenangan. Kota digambarkan sebagai ruang yang terus bergerak tanpa henti, tempat manusia larut dalam transaksi, kesibukan, dan gemerlap malam hingga melupakan hakikat keberadaannya.

Secara sederhana, puisi ini bercerita tentang sebuah kota yang tidak pernah tidur, selalu sibuk dengan transaksi, perdagangan, dan hiburan malam. Orang-orang larut dalam aktivitas yang seakan tidak mengenal waktu, bahkan melupakan rumah, keluarga, dan jiwanya sendiri. Kota yang semestinya menjadi tempat manusia beristirahat justru menjelma menjadi arena kelelahan tanpa akhir, hingga membuat hubungan manusia dengan Tuhannya semakin menjauh.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap gaya hidup modern yang serba cepat dan materialistis. Kota digambarkan sebagai simbol peradaban manusia yang maju secara teknologi dan ekonomi, tetapi mundur dalam hal spiritualitas dan kemanusiaan. Ada pesan bahwa manusia semakin terasing dari diri sendiri, keluarga, dan Tuhan karena terjebak dalam kesibukan tanpa jeda. Puisi ini juga menyiratkan kegelisahan penyair terhadap hilangnya waktu untuk merenung, berdoa, dan mendekatkan diri pada hal-hal esensial dalam hidup.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini terasa riuh, padat, sekaligus muram. Pada satu sisi, kota tampak penuh aktivitas dan keramaian. Namun di sisi lain, ada nuansa getir dan kehilangan—sebuah kesibukan yang justru menimbulkan kehampaan.

Amanat / Pesan yang disampaikan puisi

Amanat yang dapat diambil dari puisi ini adalah perlunya manusia kembali mengingat esensi hidup, tidak larut sepenuhnya dalam kesibukan kota, dan tetap menjaga hubungan dengan Tuhan serta sesama. Kesibukan tanpa keseimbangan hanya akan menjauhkan manusia dari kedamaian batin.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji yang membangun suasana kota malam hari:
  • “Kotaku yang tak pernah lagi tidur / malam-malam selalu menerima nasib” → imaji visual kota yang terus hidup tanpa henti.
  • “Orang-orang pun membangun transaksi / di pasar-pasar di puncak malam” → imaji aktivitas ekonomi yang berlangsung bahkan saat larut malam.
  • “Jalan licin telah memberi warna manis / mereka yang memacu angin” → imaji gerak, menggambarkan kendaraan atau aktivitas malam yang riuh.
  • “Tak ada bisik yang mengetuk pintu hati / Tuhan pun telah jauh dari anak-anak Adam” → imaji religius sekaligus melankolis, menghadirkan rasa keterasingan spiritual.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi → “Kotaku yang tak pernah lagi tidur” (kota digambarkan seperti manusia yang kehilangan waktu istirahat).
  • Metafora → “membangun deru memecah malam” (aktivitas kota yang riuh disamakan dengan suara yang merobek keheningan malam).
  • Hiperbola → “Tuhan pun telah jauh dari anak-anak Adam” (penggambaran berlebihan tentang manusia yang semakin jauh dari nilai spiritual).
  • Simbolisme → kota yang tidak pernah tidur melambangkan gaya hidup modern yang penuh kesibukan, sementara “anak-anak Adam” merujuk pada manusia yang kehilangan arah hidup.
Puisi "Elegi Kota" karya Hijaz Yamani adalah refleksi kritis terhadap kehidupan urban yang kehilangan keseimbangan antara materi, kesibukan, dan spiritualitas. Dengan tema tentang keterasingan manusia modern, puisi ini bercerita tentang kota yang riuh namun hampa, menyiratkan makna tersirat bahwa manusia perlu kembali pada kedamaian batin. Lewat kekuatan imaji dan penggunaan majas, penyair berhasil membangun suasana yang riuh sekaligus getir, mengingatkan pembaca pada amanat penting: jangan sampai kesibukan menghilangkan makna hidup yang sesungguhnya.

Hijaz Yamani
Puisi: Elegi Kota
Karya: Hijaz Yamani

Biodata Hijaz Yamani:
  • Hijaz Yamani lahir pada tanggal 23 Maret 1933 di Banjarmasin.
  • Hijaz Yamani meninggal dunia pada tanggal 17 Desember 2001 (pada umur 68 tahun) dan dimakamkan di Taman Makam Bahagia di Kota Banjarbaru.
© Sepenuhnya. All rights reserved.