Analisis Puisi:
Puisi "Etnofotografi" mengangkat tema konflik identitas dan manipulasi sosial. Melalui gambaran sekelompok etnik yang digerakkan oleh simbol, media, dan narasi sejarah, puisi ini menyoroti bagaimana identitas kerap digunakan sebagai alat untuk kepentingan tertentu.
Puisi ini bercerita tentang sekelompok etnik yang digambarkan sedang mengasah pisau dan menaikkan panji. Adegan ini melambangkan persiapan menghadapi konflik atau perjuangan. Namun, penyair memperlihatkan paradoks: sejarah yang lapuk tak terbaca, kisah Musa yang dijadikan acuan setengah paham, serta pengaruh media massa dan ceramah yang membentuk kesadaran kolektif mereka. Pada akhirnya, penyair menyatakan bahwa “sekerumun etnik sama sekali bukan etnik,” sebuah kritik terhadap kondisi ketika identitas kelompok kehilangan makna autentiknya.
Makna tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah kritik terhadap bagaimana identitas etnis dan agama sering dipolitisasi, dimanipulasi, atau direduksi menjadi alat konflik. Penyair menunjukkan bahwa klaim kebenaran sejarah, berita media, dan ceramah bisa membentuk sikap massa, tetapi semua itu berpotensi menjauhkan mereka dari jati diri sebenarnya. Ada refleksi bahwa identitas sejati tidak semestinya hanya menjadi kerumunan yang digerakkan, melainkan harus berakar pada kesadaran kritis dan kemanusiaan.
Suasana dalam puisi
Suasana dalam puisi ini terasa tegang, satiris, dan penuh kritik sosial. Ada bayangan konflik, penghasutan, dan kegelisahan, seolah-olah pembaca diajak menyaksikan kerumunan yang bergerak tanpa arah pasti.
Amanat / pesan yang disampaikan puisi
Pesan yang bisa ditangkap dari puisi ini adalah bahwa identitas seharusnya tidak direduksi menjadi alat konflik atau propaganda. Penyair ingin mengingatkan bahwa manusia harus berhati-hati terhadap pengaruh sejarah yang ditafsirkan sepotong, media yang memprovokasi, dan ceramah yang meninabobokan. Identitas yang sejati lahir dari kesadaran, bukan kerumunan yang dimanipulasi.
Imaji
Puisi ini menghadirkan imaji visual yang kuat dan kontras:
- “Sekerumun etnik mengasah pisau” — imaji ancaman, seolah sedang mempersiapkan kekerasan.
- “Buku sejarah lapuk berdebu / orang tidak membaca” — imaji visual tentang pengetahuan yang terlupakan.
- “Menaikkan panji” — simbol pergerakan massa, perjuangan, atau perang.
Majas
Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
- Repetisi: pengulangan frasa “sekerumun etnik” menekankan ironi dan kritik penyair.
- Metafora: “mengasah pisau” bukan hanya gambaran literal, melainkan simbol persiapan konflik.
- Sarkasme: ketika penyair menyebut “seseorang menceramahi kami, seseorang menafkahi kami,” terdapat nada sindiran pada ketergantungan kerumunan pada pihak luar.
- Ironi: penutup “sama sekali bukan etnik” menghadirkan ironi bahwa meskipun mereka disebut etnik, yang tersisa hanyalah kerumunan tanpa identitas sejati.
Puisi "Etnofotografi" karya Amien Wangsitalaja adalah cerminan kritik sosial yang tajam. Melalui imaji kerumunan, pisau, panji, sejarah, media, dan ceramah, penyair memperlihatkan bagaimana identitas bisa tereduksi menjadi kerumunan yang rentan dimanipulasi. Tema, suasana, dan majas dalam puisi ini memperkaya pesan bahwa manusia perlu menjaga jati diri agar tidak terseret dalam pusaran konflik dan propaganda. Identitas sejati seharusnya tumbuh dari kesadaran, bukan dari kerumunan yang kehilangan arah.
Karya: Amien Wangsitalaja