Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Haiku Penghujan (Karya Beni Setia)

Puisi "Haiku Penghujan" karya Beni Setia bercerita tentang pengalaman manusia menghadapi musim penghujan dengan segala nuansanya: embun di pagi ...
Haiku Penghujan (1)

Semilir. Embun
dini menitik dari
rimbunan bambu.

Haiku Penghujan (2)

Setapak tanah
: denanganan sisa hujan
semalam. Licin.

Haiku Penghujan (3)

Selepas subuh:
hujan; menjelang magrib:
hujan. Mengigigil.

Haiku Penghujan (4)

Terbaring sampai
siang di hari minggu
: hujan menghadang.

Haiku Penghujan (5)

Seperti masuk
halimun: matahari
teraling kabut.

Haiku Penghujan (6)

Katak mendengkung
- tembang gairah. Siang
bertabur mendung.

Haiku Penghujan (7)

Tak ada bias
pelangi, sebab siang
bertabir hujan.

Haiku Penghujan (8)

Lembah dan puncak
berselimut halimun
- embun berkilau.

Haiku Penghujan (9)

Langit menangis.
Dari teritis: titik
(air) gemeritik.

Haiku Penghujan (10)

Berdiang depan
tungku. Beku menunggu
hujan berhenti.

Haiku Penghujan (11)

Menunggu ubi
bakar matang, tak sabar
dikurung kabut.

Haiku Penghujan (12)

Segelas kopi
jahe. Menyesap gigil
bulan November.

Haiku Penghujan (13)

Menyulut rokok
menyalakan jantung di
senyap sendiri.

Haiku Penghujan (14)

Gaung azan. Ruh
tersaruk menjelang di
subuh. Gemetar.

Haiku Penghujan (15)

Kuburan pelan
menjelma kulkas. Arwah
beku. Tak lenyap.

Haiku Penghujan (16)

Angin menebar
tempias. Dan kuburan
berhari lembab.

Haiku Penghujan (17)

Terkadang ingin
pindah ke pantai. Nonton
produksi hujan.

Haiku Penghujan (18)

Bukan di gunung,
bukan di pantai. Ruh
mencari Allah.

2016

Analisis Puisi:

Puisi "Haiku Penghujan" karya Beni Setia merupakan rangkaian 18 haiku yang mengabadikan suasana musim penghujan. Dalam tradisi haiku Jepang, bentuk puisi ini memang ringkas, padat, namun penuh makna dengan kekuatan imaji yang kuat. Beni Setia berhasil menghadirkan pengalaman estetik yang bukan hanya menggambarkan alam, tetapi juga menyelipkan renungan filosofis tentang hidup, kematian, kesepian, hingga pencarian spiritual.

Tema

Tema utama puisi ini adalah kehidupan manusia yang berkaitan erat dengan alam, khususnya musim hujan, serta renungan eksistensial yang muncul darinya. Hujan tidak hanya digambarkan sebagai fenomena alam, tetapi juga sebagai cermin batin, simbol kerinduan, kesendirian, bahkan pencarian makna hidup.

Secara garis besar, haiku-haiku dalam puisi ini bercerita tentang pengalaman manusia menghadapi musim penghujan dengan segala nuansanya: embun di pagi hari, tanah yang licin, mendung, dingin, hingga kebiasaan kecil seperti menyalakan tungku, menunggu ubi bakar, menyeruput kopi jahe, atau menyulut rokok. Namun di balik gambaran keseharian itu, ada juga refleksi spiritual—seperti pada bait tentang ruh yang mencari Allah, kuburan yang menjadi simbol kefanaan, dan azan subuh yang menggugah jiwa.

Makna tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa hujan bukan sekadar peristiwa alam, melainkan juga ruang perenungan manusia tentang hidup, kematian, dan ketuhanan. Musim hujan menghadirkan kesejukan sekaligus kesepian; memberi kesempatan untuk berdiam diri, namun juga memunculkan kegelisahan. Di sini, hujan seolah menjadi medium untuk mengingatkan manusia pada kefanaan dan perlunya mencari sandaran spiritual yang abadi.

Suasana dalam puisi

Suasana yang dihadirkan sangat beragam:
  • Syahdu dan sejuk (Semilir. Embun dini menitik dari rimbunan bambu).
  • Muram dan dingin (Kuburan pelan menjelma kulkas).
  • Hening dan kontemplatif (Ruh mencari Allah).
  • Hangat dan intim (Segelas kopi jahe. Menyesap gigil bulan November).
Semua suasana ini berpadu membentuk panorama musim penghujan yang kaya nuansa emosional.

Amanat / Pesan yang disampaikan puisi

Pesan yang ingin disampaikan penyair adalah bahwa manusia harus belajar merenungi hidup dari hal-hal kecil di sekitar, termasuk hujan yang sering dianggap biasa. Hujan dapat menjadi sumber inspirasi, pengingat akan kefanaan, serta jalan menuju kesadaran spiritual. Selain itu, puisi ini menyarankan agar manusia tidak sekadar sibuk dengan rutinitas, tetapi juga memberi ruang untuk hening, merasakan, dan mencari kedekatan dengan Tuhan.

Imaji

Puisi ini sangat kaya imaji, baik visual, auditif, maupun perasaan:
  • Imaji visual → “Embun dini menitik dari rimbunan bambu”, “Lembah dan puncak berselimut halimun”.
  • Imaji auditif → “Katak mendengkung – tembang gairah”, “Gaung azan. Ruh tersaruk menjelang di subuh”.
  • Imaji perasaan → “Segelas kopi jahe. Menyesap gigil bulan November”, “Menyulut rokok menyalakan jantung di senyap sendiri”.
Kekuatan imaji ini membuat pembaca dapat merasakan langsung atmosfer musim hujan secara indrawi sekaligus batiniah.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi → “Langit menangis” (langit diberi sifat manusia).
  • Metafora → “Kuburan pelan menjelma kulkas” (kuburan menjadi lambang dingin, beku, dan kematian).
  • Hiperbola → “Ruh mencari Allah” (ekspresi yang menggambarkan pencarian spiritual manusia secara mendalam).
  • Simbolisme → hujan sebagai simbol kehidupan, kesedihan, dan perenungan.
Puisi "Haiku Penghujan" karya Beni Setia merupakan karya yang menghadirkan kekuatan reflektif melalui bentuk haiku. Dengan tema kehidupan dan renungan musim hujan, puisi ini bercerita tentang pengalaman keseharian sekaligus spiritual manusia. Melalui imaji alam dan kehidupan sehari-hari, penyair menyelipkan makna tersirat tentang kefanaan dan pencarian Tuhan. Suasana yang hadir pun berlapis, dari sejuk, muram, hingga hening penuh kontemplasi. Lewat penggunaan majas, penyair memperkuat pesan bahwa hujan bukan sekadar peristiwa alam, melainkan juga cermin perjalanan batin manusia.

Beni Setia
Puisi: Haiku Penghujan
Karya: Beni Setia

Biodata Beni Setia:
  • Beni Setia lahir pada tanggal 1 Januari 1954 di Soreang, Bandung Selatan, Jawa Barat, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.