Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Hati Bunda (Karya Isma Sawitri)

Puisi "Hati Bunda" karya Isma Sawitri menghadirkan perpaduan antara catatan sejarah peradaban dunia yang penuh konflik dan suara nurani kemanusiaan ..
Hati Bunda

daerah daerah periuk mendidih
berpindah tempat dari abad ke abad
bermula di lembah huangho, Mesopotamia purba
lalu ke Jerusalem lewat roma menuju benua baru
        amerika
kemudian Balkan, elzas lotharing, korea, indocina
meloncat ke kuba terus ke berlin tumpah darah
        swastika
detik demi detik, detik demi detik
sang kala memanjat di jantungnya
bergerak merangkak
meraih-raih titik didih

sementara itu setiap bongo di tanah hitam afrika
ditepuk dipalu ke empat penjuru

mengedarkan lagu kemerdekaan, merangkai mimpi
        indah
karena pasti ditemukan sudah
suatu lumbung dolar lain di dunia. satu daerah
        periuk mendidih
begitu kaya begitu jauh tersisih
dan kepadanya seorang bapa perikemanusiaan
telah datang mengukur tangan
dan begitu saja tidak kembali lagi
tapi bongo kemerdekaan di tanah hitam afrika telah
        terlanjur berbunyi

dan akan terus berbunyi
inilah permukaan dunia kini, dunia abad
        keduapuluh
dimegahkan dengan pyramid, menara eifel, pencakar
        langit
warisan para tyran, seniman dan raja uang
inilah kemegahan manusiawi yang hanya bisa tetap 
        megah
bila atasnya dilimpahkan pemenuhan segala titah
yang turun dian dari hati setiap bunda
hari bunda yang dikucilkan tak berdaya
tak berdaya dikucilkan begitu saja karena
ada padanya ketulusan kasih sayang, watak lapang
        dan perasa

Sumber: Antologi Puisi Indonesia (Yayasan Lontar Nusantara, 2017)

Analisis Puisi:

Puisi "Hati Bunda" karya Isma Sawitri adalah sebuah karya yang sarat dengan refleksi sejarah, politik, sekaligus nilai kemanusiaan universal. Melalui simbol-simbol geografis, konflik dunia, hingga representasi kasih sayang seorang ibu, puisi ini memperlihatkan benturan antara ambisi kekuasaan dan kelembutan nurani manusia.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pergolakan dunia yang penuh konflik dan perebutan kekuasaan, serta kebutuhan akan kasih sayang kemanusiaan yang tulus sebagai penyeimbangnya.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan sejarah dunia yang ditandai dengan “daerah periuk mendidih”—sebuah metafora untuk tempat-tempat konflik, peperangan, dan perebutan kekuasaan. Dari peradaban purba di lembah Sungai Huangho dan Mesopotamia, menuju Eropa, Amerika, hingga Afrika, sejarah manusia terus dipenuhi perang, penindasan, dan perebutan sumber daya. Namun, di tengah itu semua, penyair mengingatkan bahwa ada sumber kekuatan lain: hati seorang bunda, yang merepresentasikan kasih sayang, pengorbanan, dan perikemanusiaan.

Makna tersirat

Makna tersirat puisi ini adalah bahwa peradaban manusia sering kali dibangun di atas konflik dan ambisi, tetapi keberlangsungan dunia sejatinya hanya dapat bertahan melalui kasih sayang dan nilai kemanusiaan yang tulus. Hati bunda menjadi simbol peradaban yang sesungguhnya: sederhana, penuh cinta, dan tanpa pamrih.

Suasana dalam puisi

Suasana dalam puisi ini terasa tegang sekaligus reflektif. Ada kesan panas dan penuh gejolak ketika penyair menggambarkan daerah-daerah konflik dunia, tetapi suasana itu kemudian dilunakkan dengan kehadiran “hati bunda” yang memberi harapan pada masa depan kemanusiaan.

Amanat / pesan yang disampaikan puisi

Amanat puisi ini adalah manusia tidak boleh hanya mengandalkan kekuasaan, peperangan, dan kemegahan material untuk membangun peradaban. Dunia akan tetap megah jika didasari kasih sayang, kelapangan hati, dan perikemanusiaan seperti yang dimiliki seorang ibu.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang kuat, di antaranya:
  • Imaji visual: gambaran daerah periuk mendidih, piramid, menara Eiffel, pencakar langit, yang melukiskan perjalanan peradaban.
  • Imaji auditif: “bongo di tanah hitam Afrika ditepuk dipalu ke empat penjuru” menghadirkan bunyi-bunyian yang simbolis tentang semangat kemerdekaan.
  • Imaji perasaan: kelembutan hati bunda yang penuh kasih sayang, menghadirkan rasa damai di tengah kegaduhan dunia.

Majas

Beberapa majas yang menonjol dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: “daerah periuk mendidih” untuk menggambarkan kawasan konflik dunia.
  • Personifikasi: “sang kala memanjat di jantungnya” yang memberi nyawa pada waktu.
  • Repetisi: pengulangan frasa “detik demi detik” menegaskan intensitas waktu yang berjalan di tengah gejolak.
  • Simbolisme: “hati bunda” sebagai simbol kasih sayang universal dan sumber peradaban sejati.
Puisi "Hati Bunda" karya Isma Sawitri menghadirkan perpaduan antara catatan sejarah peradaban dunia yang penuh konflik dan suara nurani kemanusiaan yang diwakili oleh kasih seorang ibu. Dengan tema besar tentang perjuangan, kemegahan, dan kemanusiaan, puisi ini menyiratkan pesan bahwa hanya kasih sayang tulus—seperti hati bunda—yang mampu menjaga kemegahan dunia agar tetap berarti.

Isma Sawitri
Puisi: Hati Bunda
Karya: Isma Sawitri

Biodata Isma Sawitri:
  • Isma Sawitri lahir pada tanggal 21 November 1940 di Langsa, Aceh.
© Sepenuhnya. All rights reserved.