Iring-Iringan di Bawah Matahari (1)
matahari di depan pintu. bajang-bayangmu,
seperti bermimpi, mendengarnya kembali
(bisik-bisik di balik tembok, langkah-langkah
bergegas turun-naik tangga, siut angin
di kain jendela, gaung detik jam:
nyanyian yang menggugurkan
kelopak demi kelopak bunga) nyaring sekali
kaupun tiba-tiba melepaskan topi, begitu
hati-hati, sebelum menyusur gua siang
sepanjang matahari berdesakan bayang-bayang
"selamat jalan,
musafir, barangkali di antara kita
menghalang sudah sorga itu
semenjak hari ini"
ketika upacara dimulai
semakin jauh bintang kecil
di langit yang tinggi, semakin asing
surat-surat cinta, tersesat
di bawah matahari purba
Iring-Iringan di Bawah Matahari (2)
iring-iringan bunga, iring-iringan bangkai; matahari:
dicucinya angkasa dari bau busuk
mimpimu siang ini,
dan tak diajaknya bercakap kau
perihal cuaca. diam-diam kau pun
mengancingkan leher bajumu
: alangkah dingin
cahaya ini, memantul di keranda, memercik......
bukankah bagai nyanyian-bersama
cahaya menyilaukan itu (yang selalu terucap
dalam igauanmu, yang tak pernah meninggalkan
jejak, yang selalu tiba-tiba gaib
setiap kali
kau begitu rindu)
Iring-Iringan di Bawah Matahari (3)
tiba-tiba angin kemarau
tiba-tiba debu dan sobekan-sobekan kertas (barangkali
surat-kelahiran, barangkali
lelayu, barangkali......) tiba-tiba saja
sempurna
lingkaran itu
upacara bunga
dung dung drek-dek-dung
upacara bangkai
dung dung drek-dek-dung
tiba-tiba kau pun menjelma sunyi
ruang kosong antara bumi
dan matahari; sebelum tikungan
seorang menyapa:
tapi kau pergi kemana, saudara
dung dung drek-dek-dung
("kapan kau berangkat, saudara"
"hai, ini sudah jam berapa"
"kalau hujan sudah jatuh nanti"
"ya, tapi......"
seseorang diam berdiri di ambang pintu
kemarin: menunggu, atau ditunggu,
atau menunggu, atau......
"hei, ini hari apa, saudara")
Iring-Iringan di Bawah Matahari (4)
sebelum tikungan itu, harus kau kerjakan sesuatu
barangkali melihat arloji, barangkali
menerka letak matahari, barangkali memungut
bunga yang rontok
dari peti mati; wahai, sebelum tikungan
harus tersusun kembali pikiranmu
yang keriput di bawah matahari, gugup
di antara gumam iring-iringan ini
tetapi tiada nina bobok hari ini
hanya cahaya gilang gemilang
yang sejak dulu menyisir debu, sobek-sobekan kertas,
menyisir rambutmu yang mulai memutih
di pelipis itu
tiba-tiba kau merasa dahaga sekali
sebelum tikungan itu
Iring-Iringan di Bawah Matahari (5)
barangkali terdengar gerit engsel pintu
menutup ketika kau pun harus memilih
ketika kau pun harus segera memutuskan
pilihan itu
jam yang sudah ditetapkan
bumi yang dulu melahirkanmu
dan berturutan suara pintu, menutup
di belakangmu, di depanmu, di atasmu......
(seperti ada yang mengajakmu bercakap
yang menyentuh-nyentuh bahumu
yang mengulang-ulang pertanyaan itu
yang berbisik
yang nafasnya di telingamu) ketika kau
tiba-tiba mengerti sudah sepenuhnya berdiri
di anak tangga penghabisan - tiba-tiba
sepenuhnya mengerti
bahwa masih juga
harus memilih
dongengan itu
......(daun terakhir pohon kedondong gugurlah
di puncak kemarau, tanda bahwa segera
bermuatan bunga-bunga –
ketika ia berkata:
"kutinggalkan Rumah itu
setelah tak berjumpa Siapa pun
di sana; barangkali kau ingat Pembunuhan itu
wahai, berkas-bekas darah di telapak tangan kita
barangkali memang tiada
jemputan itu"
telanjang ia ketika bayang-bayangnya rebah,
siap bermuat bunga-bunga) ......
Iring-Iringan di Bawah Matahari (6)
tinggal matahari. dicucinya angkasa
dari bau busuk sementara kau menoleh
lupa akan namamu sendiri: yang kemarin,
yang kemarin dulu, yang selalu mencoretkan
lambang-lambang gaib
di kalender tua itu: yang senantiasa kautolakkan
dan kauterima kembali
dalam gelap
utuh dan lengkap
"ampunilah hamba-Mu ini
antara pasti dan tak pasti
beranjak dari tepi ke tepi
tiba di sini"
tinggal matahari. sementara kau menoleh:
isyarat-isyarat buta
di batas mimpi dan terjaga
kau pun tak menyahutnya
sebab kata dipermainkan angin kemarau
sebab mata berkedip di cahaya silau
"ampunilah hamba-Mu ini
di balik pintu terkunci"
kini matahari. kau sepenuhnya sendiri
Analisis Puisi:
Puisi "Iring-Iringan di Bawah Matahari" karya Sapardi Djoko Damono merupakan sebuah karya sastra yang kaya akan simbolisme, nuansa alam, dan refleksi eksistensial. Puisi ini terbagi dalam enam bagian yang saling melengkapi untuk menggambarkan perjalanan emosional dan spiritual seorang individu dalam konteks alam dan kehidupan.
Keindahan dan Ketegangan Alam
Bagian pertama puisi menampilkan gambaran alam yang indah namun penuh dengan ketegangan. Matahari yang berdiri di depan pintu menjadi simbol kehadiran yang menuntun dan memberi tanda dalam kehidupan manusia. Suara-suara seperti bisikan di balik tembok, langkah-langkah, dan siut angin menciptakan suasana yang penuh misteri dan keintiman dengan alam.
Eksistensi Manusia dan Alam
Bagian kedua hingga keenam menggambarkan perjalanan batin seorang individu dalam mencari makna keberadaannya di dunia ini. Kata-kata yang dipilih dengan hati-hati menggambarkan perasaan rindu, kegelisahan, dan pemikiran filosofis tentang kehidupan dan kematian.
Simbolisme dan Metafora
Sapardi menggunakan simbolisme yang kuat seperti matahari, bunga, bangkai, dan upacara untuk merentangkan tema-tema yang kompleks. Matahari melambangkan kehidupan dan pencerahan, sementara bunga dan bangkai melambangkan siklus kehidupan dan kematian. Upacara bunga dan bangkai menggambarkan perjalanan spiritual yang melintasi garis-garis antara dunia yang dikenal dan gaib.
Bahasa yang Puitis
Dengan penggunaan bahasa yang puitis, Sapardi berhasil menggambarkan kekayaan emosional dan estetis dari setiap kata yang digunakan. Metafora yang terpelihara dengan baik dan keindahan gambaran alam memberikan dimensi yang dalam pada puisi ini.
Refleksi Eksistensial
Puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan eksistensi manusia di tengah-tengah alam semesta yang luas dan misterius. Pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang waktu, ruang, dan takdir mengalir melalui setiap bagian puisi, menuntun pembaca untuk menjelajahi kompleksitas dan kedalaman makna yang tersembunyi di balik kata-kata.
Puisi "Iring-Iringan di Bawah Matahari" karya Sapardi Djoko Damono adalah sebuah karya sastra yang menggugah dan memikat, menawarkan pengalaman estetis yang mendalam dan refleksi yang dalam tentang kehidupan dan eksistensi manusia. Dengan menggunakan simbolisme yang kuat dan bahasa yang indah, Sapardi berhasil menciptakan sebuah karya yang tidak hanya menggambarkan keindahan alam, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan makna kehidupan dan peran manusia di dunia ini.
Karya: Sapardi Djoko Damono
Biodata Sapardi Djoko Damono:
- Sapardi Djoko Damono lahir pada tanggal 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Tengah.
- Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada tanggal 19 Juli 2020.
