Ironi Sepi
Aku melihat pusat keramaian beraroma kesepian
Nafas leluhur yang terbungkus masa lalu,
terkunci oleh perjalanan waktu.
Nyala lilin dan mantra tak mampu membuatku
berlari dari angan angan
burung-burung bernyanyi, pepohonan menari
Sungai-sungai mengalir dari mata air matamu
Berpagar jarak aku sembunyi dari kecemasan
demi kecemasan, perjalanan ke masa depan
Anjing-anjing sembahyang, suara alam bertasbih
Sedang kusaksikan punggungku memanggul gunung,
kakiku tenggelam di genang anggur. Seribu ciumku
untuk dahan dahan patah di musim pengharapan.
Anak-anak bermain kecapi, lalu bulan pun
Padam genapi sepi, suara rintih kudengar
samar dari kedalaman pucat dada
lebih pilu dari duka kematian
2015
Sumber: Merapi (12 Agustus 2016)
Analisis Puisi:
Puisi memiliki kemampuan untuk merangkai kata-kata menjadi karya seni yang mendalam dan penuh makna. Puisi "Ironi Sepi" karya Weni Suryandari mengajak pembaca untuk merenung tentang paradoks kehidupan, di mana keramaian dapat mengandung aroma kesepian.
Keramaian yang Beraroma Kesepian: Penyair membuka puisi dengan gambaran yang kuat, "Aku melihat pusat keramaian beraroma kesepian." Ini menciptakan kontras antara keramaian fisik dan kehampaan emosional. Pusat keramaian yang dipenuhi orang-orang tetapi beraroma kesepian menyoroti ironi kehidupan modern di mana terkadang kehidupan sosial tidak dapat mengusir kesepian dalam hati seseorang.
Nafas Leluhur dan Masa Lalu yang Terkunci: Kata-kata, "Nafas leluhur yang terbungkus masa lalu, terkunci oleh perjalanan waktu," memberikan kedalaman pada puisi ini. Penyair menggambarkan hubungan dengan masa lalu yang terasa begitu dekat namun seolah terkunci oleh waktu. Ini menciptakan nuansa nostalgia dan rindu terhadap akar-akar leluhur yang tak terlupakan.
Angan-Angan dan Alam yang Hidup: Penyair melibatkan pembaca dengan angan-angan yang mengelana di antara burung-burung bernyanyi dan pepohonan yang menari. Gambaran sungai-sungai yang mengalir dari mata air matamu memberikan kesan bahwa alam menjadi hidup dan penuh perasaan. Ini menciptakan ironi, di mana alam yang hidup bertentangan dengan kesunyian dalam diri penyair.
Pagaran Jarak dan Kecemasan: Puisi ini menggambarkan pagaran jarak yang menyembunyikan penyair dari kecemasan. Namun, ironisnya, tindakan ini tidak mampu membawa kedamaian, malah membawa rasa kecemasan yang lebih mendalam. Ini menciptakan pemahaman bahwa kecemasan dapat hadir bahkan dalam keadaan terasing.
Gunung yang Dipanggul dan Genang Anggur: Penyair menyajikan gambaran visual yang kuat, "Sedang kusaksikan punggungku memanggul gunung, kakiku tenggelam di genang anggur." Ini bisa diartikan sebagai perjuangan atau beban hidup yang dipikul, sekaligus keinginan untuk tenggelam dalam kenikmatan atau pelarian.
Bulan yang Padam dan Suara Rintih yang Pilu: Puisi ini mencapai puncaknya dengan gambaran bulan yang padam dan suara rintih yang pilu. Ini menciptakan atmosfer kesedihan dan kehilangan yang mendalam, memberikan nuansa melankolis pada kesepian yang dirasakan oleh penyair.
Puisi "Ironi Sepi" karya Weni Suryandari adalah puisi yang memukau dengan penampilan dualitas hidup, di mana keramaian dapat tersembunyi di balik aroma kesepian. Dengan gambaran yang kaya dan kata-kata yang indah, penyair berhasil menyampaikan ironi kehidupan dengan melibatkan pembaca pada perjalanan emosional. Puisi ini memberikan ruang refleksi tentang keseimbangan antara keramaian dan kesepian dalam keseharian, serta bagaimana alam dan kenangan masa lalu dapat membentuk perjalanan hidup seseorang.
Karya: Weni Suryandari
Biodata Weni Suryandari:
- Weni Suryandari lahir pada tanggal 4 Februari 1966 di Surabaya, Indonesia.
