Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Jam Kerja Telepon (Karya Afrizal Malna)

Puisi "Jam Kerja Telepon" karya Afrizal Malna bercerita tentang seorang narator yang mencoba berkomunikasi dengan sosok bernama Merlin melalui ...
Jam Kerja Telepon

Ini bicara dengan Merlin. Saya Merlin. Tetapi Merlin 
tak ada di mana-mana. Merlin sedang jadi bintang. 
Merlin sedang jadi bintang. Saya ciptakan orang-orang 
dari obat tidur. Tetapi suaramu parau, Merlin. Saya 
menelanjangi diri sendiri, seperti menelanjangi dunia 
yang minta saya jadi Merlin.

Tetapi Merlin tak ada di mana-mana, seperti dunia tak 
ada di mana-mana, seperti orang tak ada di mana-mana. 
Merlin telah jadi pamflet dari keinginan jadi manusia. 
Tolong sambungkan saya dengan dunia mana pun, 
Merlin. Saya Merlin. Tetapi Merlin tak ada di mana-mana. 
Merlin sedang jadi bintang, mengubah dunia jadi obat 
tidur. Kau menangis, Merlin. Saya menyaksikan orang-
orang lahir dari telepon. Mereka memaksa saya jadi 
Merlin. Mereka memaksa saya jadi Merlin. Dan saya 
meneguknya dalam putaran: Pil!

Saya mencium bau busuk dari telepon. Saya
 kehilangan kontak. Saya tercekik. Saya bukan Merlin. 
Merlin telah jadi ibu, Merlin telah jadi ibu, dalam TV-TV 
merah kuning hijau biru dan sepi.

1986

Sumber: Kalung dari Teman (1999)

Analisis Puisi:

Puisi "Jam Kerja Telepon" karya Afrizal Malna menampilkan narasi yang kompleks dan eksperimental, khas gaya sastrawan ini. Dengan bahasa yang kacau, repetitif, dan imajinatif, puisi ini mengajak pembaca menyelami dunia batin yang absurd sekaligus kritis terhadap tekanan sosial, identitas, dan komunikasi manusia modern.

Tema

Tema utama puisi ini adalah alienasi manusia di era komunikasi modern. Puisi ini menyentuh ketidakmampuan individu untuk terhubung dengan dunia nyata, identitas yang terpecah, serta kesepian di tengah hiruk-pikuk eksistensi modern.

Puisi ini bercerita tentang seorang narator yang mencoba berkomunikasi dengan sosok bernama Merlin melalui telepon, namun sosok Merlin selalu tidak ada. Merlin digambarkan sebagai entitas yang telah menjadi “bintang” atau simbol transformasi menjadi sesuatu yang lebih besar dari manusia biasa. Narator merasa terjebak dalam tekanan orang-orang di sekitarnya dan kesadaran diri sendiri yang terbentur oleh tuntutan menjadi sosok tertentu, dalam hal ini Merlin.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kegelisahan identitas dan ketidakmampuan manusia untuk memenuhi ekspektasi sosial. Merlin yang “tidak ada di mana-mana” dapat dimaknai sebagai simbol ketidakmungkinan mencapai ideal diri atau sosok sempurna yang diharapkan dunia. Repetisi dan absurditas yang terjadi mencerminkan kebingungan narator dalam menghadapi dunia yang mengharuskan manusia “menjadi” sesuatu, sementara kenyataannya identitasnya terfragmentasi.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini tegang, absurd, dan kacau, dengan campuran humor gelap dan kegelisahan eksistensial. Ada rasa tercekik, teralienasi, dan putus asa, yang diperkuat oleh narasi repetitif dan penggunaan bahasa yang mengaburkan batas antara kenyataan dan imajinasi.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan puisi ini dapat dipahami sebagai kritik terhadap tuntutan sosial, alienasi komunikasi modern, dan pencarian identitas manusia yang tertekan oleh ekspektasi eksternal. Puisi ini juga mengingatkan kita bahwa identitas sejati tidak dapat dipaksakan dan seringkali tersesat di antara keinginan diri sendiri dan tekanan orang lain.

Imaji

Afrizal Malna menggunakan imaji absurd dan surealis untuk memperkuat kesan kacau dan menekan:
  • “Merlin sedang jadi bintang” → imaji transformasi dan ketidakmampuan mencapai sosok ideal.
  • “Saya menelanjangi diri sendiri, seperti menelanjangi dunia” → imaji introspektif yang ekstrem.
  • “Saya mencium bau busuk dari telepon” → imaji sensorik yang menghadirkan ketidaknyamanan dan alienasi.
  • “Orang-orang lahir dari telepon” → imaji surealis tentang kontrol sosial dan tekanan komunikasi.

Majas

Puisi ini kaya dengan majas eksperimental dan repetitif:
  • Repetisi: Pengulangan “Merlin tak ada di mana-mana” menekankan absurditas dan ketidakmampuan narator.
  • Metafora: “Merlin telah jadi pamflet dari keinginan jadi manusia” melambangkan harapan dan ekspektasi yang dipaksakan.
  • Personifikasi: Telepon diberikan sifat menekan dan membahayakan narator (“Saya tercekik. Saya bukan Merlin”).
  • Paradoks/Absurd: Narator menjadi Merlin, namun Merlin selalu tidak ada, menghadirkan kontradiksi eksistensial.
Puisi "Jam Kerja Telepon" karya Afrizal Malna adalah refleksi absurd tentang identitas, tekanan sosial, dan alienasi manusia dalam era komunikasi modern. Dengan bahasa yang repetitif, imaji yang kuat, dan majas surealis, puisi ini menghadirkan pengalaman membaca yang menegangkan sekaligus mengundang refleksi mendalam tentang hubungan manusia dengan diri sendiri dan dunia sekitarnya.

Puisi Afrizal Malna
Puisi: Jam Kerja Telepon
Karya: Afrizal Malna

Biodata Afrizal Malna:
  • Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.