Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Kangaroo Valley (Karya Linus Suryadi AG)

Puisi "Kangaroo Valley" karya Linus Suryadi AG menggambarkan keindahan alam yang tersembunyi di balik kesunyian dan keterasingan padang rumput ....
Kangaroo Valley (1)

Padang rumput
penuh ilalang
Angin semiyut
kering kerontang

Pada keluasan
jagad beredar
Dalam sepuhan
matahari bersinar

Seperti kemarin
tahun sekarang
Hujan dingin
pun ingkar datang!

Di atas dahan
pohon Ekaliptis
Ada kegelisahan
mengais-kais

Burung Kukabara
di ketinggian
Serak terbata-bata
menagih awan:

"Welcome, welcome
come, come, come, ..."

Kangaroo Valley (2)

Kita pandang
matahari bundar
Mirip tampah
tembaga terbakar

Hawa panas
gurun mati
Lintas lepas
bersuhu tinggi

Hutan pinus
berhektar-hektar
Gelisah aus
angin menggelepar

Kuda dan sapi
haus dan lapar
Mencari kali
hijau semak belukar

Di kota-kota
tepian benua
Orang pun kungkum
di pantainya

Kangaroo Valley (3)

Angin gunung
terus turun
Bergelombang
di daerah Farm

Rumputan ranggas
oleh musim
Nasib naas
bangsa Aborigin

400 Celsius
suhu tercapai
Hutan pinus
tinggal bangkai!

Ah, di mana
gema kharismamu
Sedang Victoria
lama nunggu

Di mana mantram
nenek moyangmu
Di New South Wales
di Kangaroo Valley.

1983

Sumber: Tirta Kamandanu (1997)

Analisis Puisi:

Puisi "Kangaroo Valley" karya Linus Suryadi AG menggambarkan keindahan alam yang tersembunyi di balik kesunyian dan keterasingan padang rumput Australia. Melalui tiga bagian puisi ini, Linus tidak hanya memotret lanskap alamiah dari Kangaroo Valley, tetapi juga menyelami pengalaman emosional dan refleksi tentang kehidupan yang ada di dalamnya. Dalam setiap baris puisinya, kita dapat merasakan bagaimana sang penyair menyentuh relung-relung kesadaran, memperlihatkan kesatuan antara alam dan manusia dalam konteks lingkungan yang keras namun penuh makna.

Bagian Pertama: Kering dan Sunyi di Tengah Luasnya Alam

Pada bagian pertama, Linus Suryadi AG membuka puisinya dengan deskripsi padang rumput yang kering dan penuh ilalang, dibelai oleh angin yang terasa sepoi-sepoi namun membawa nuansa kekeringan. Gambaran tentang “angin semiyut kering kerontang” menunjukkan betapa kondisi alam di Kangaroo Valley yang digambarkan sangat tandus, menyiratkan perjuangan kehidupan yang harus terus bertahan di tengah-tengah lingkungan yang tidak bersahabat.

Penyair juga menekankan pada ketidakpastian cuaca dengan baris “Hujan dingin pun ingkar datang!” yang menandakan bahwa meski harapan akan datangnya hujan ada, namun alam sering kali tidak memenuhi ekspektasi tersebut. Ini mencerminkan bagaimana kehidupan di daerah seperti Kangaroo Valley tidak hanya dipenuhi oleh kesunyian, tetapi juga oleh tantangan yang terus menerus.

Bagian Kedua: Panasnya Gurun dan Lapar yang Menghantui

Pada bagian kedua, puisi ini melanjutkan penggambarannya terhadap kekerasan alam dengan fokus pada panas gurun yang mencekam. Baris “Kita pandang matahari bundar, Mirip tampah tembaga terbakar” memperlihatkan betapa terik dan menyengatnya matahari di Kangaroo Valley. Kehidupan di sini digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, di mana “Hawa panas gurun mati, Lintas lepas bersuhu tinggi” menunjukkan betapa sulitnya bertahan hidup di tengah suhu ekstrem.

Tak hanya alam yang mengalami kesulitan, tetapi juga hewan-hewan yang ada di sana. Kuda dan sapi yang “haus dan lapar” mencerminkan kekurangan sumber daya alam yang mereka hadapi. Puisi ini seolah mengajak pembaca untuk merenungkan nasib makhluk hidup yang harus bertahan di tempat yang keras ini, dan bagaimana mereka harus menghadapi kondisi alam yang menantang.

Bagian Ketiga: Kerusakan Alam dan Kehilangan Budaya

Pada bagian ketiga, Linus Suryadi AG menggambarkan kehancuran yang diakibatkan oleh suhu yang ekstrem. “400 Celsius suhu tercapai, Hutan pinus tinggal bangkai!” menunjukkan betapa parahnya efek panas di daerah tersebut, hingga hutan-hutan yang ada pun tak mampu bertahan. Bagian ini seolah menjadi klimaks dari ketidakberdayaan alam dalam menghadapi perubahan iklim yang ekstrim.

Selain itu, puisi ini juga menyentuh tentang kehilangan budaya dengan menyebutkan “Nasib naas bangsa Aborigin.” Ini adalah pengingat akan bagaimana perubahan lingkungan dan modernisasi telah mengikis budaya asli dan tradisi nenek moyang mereka. Baris “Di mana mantram nenek moyangmu” menunjukkan kerinduan dan kesedihan terhadap hilangnya warisan budaya yang dulunya menjadi bagian integral dari kehidupan di Kangaroo Valley.

Simbolisme dan Pesan yang Terkandung

Puisi "Kangaroo Valley" sarat dengan simbolisme yang menggambarkan keterkaitan antara manusia dan alam. Linus menggunakan elemen-elemen alam seperti padang rumput, angin, dan panas untuk menggambarkan perjuangan hidup dan hilangnya budaya. Penggunaan simbolisme ini memperkuat pesan tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara alam dan budaya, serta betapa rapuhnya keduanya jika tidak dipelihara dengan baik.

Kehadiran burung Kukabara yang “menagih awan” menambah nuansa tragis dari kondisi alam yang digambarkan. Burung ini, yang biasanya dikenal dengan suara tawa khasnya, dalam puisi ini justru menjadi simbol dari harapan yang tidak pernah terwujud, mencerminkan suasana putus asa yang meliputi seluruh puisi.

Potret Tragis Kangaroo Valley

Melalui puisi "Kangaroo Valley," Linus Suryadi AG berhasil menangkap esensi dari keindahan yang terperangkap dalam kegetiran dan kesulitan. Puisi ini bukan hanya sebuah gambaran alam yang indah, tetapi juga sebuah renungan tentang bagaimana kehidupan, budaya, dan alam semuanya saling terhubung, dan bagaimana perubahan dalam satu elemen dapat membawa dampak yang mendalam bagi yang lainnya.

Dalam dunia modern yang sering kali terputus dari alam, puisi ini mengingatkan kita akan pentingnya hubungan manusia dengan lingkungannya, serta dampak yang dapat timbul dari ketidakpedulian terhadap keseimbangan ini. Puisi "Kangaroo Valley" adalah sebuah karya yang mengajak kita untuk merenung, bukan hanya tentang alam yang jauh di Australia, tetapi juga tentang bagaimana kita menjaga alam yang ada di sekitar kita sendiri.

Linus Suryadi AG
Puisi: Kangaroo Valley
Karya: Linus Suryadi AG

Biodata Linus Suryadi AG:
  • Linus Suryadi AG lahir pada tanggal 3 Maret 1951 di dusun Kadisobo, Sleman, Yogyakarta.
  • Linus Suryadi AG meninggal dunia pada tanggal 30 Juli 1999 (pada usia 48 tahun) di Yogyakarta.
  • AG (Agustinus) adalah nama baptis Linus Suryadi sebagai pemeluk agama Katolik.
© Sepenuhnya. All rights reserved.